Kamis, 02 Desember 2010

Dagang dan Dakwah


Dagang dan Dakwah

Oleh Ahmad Barjie B.

Tersebarnya Islam di berbagai pelosok Nusantara, selain karena jasa para wali dan ulama, besar pula jasanya para pedagang. Baik pedagang dari Arab dan Gujarat (India) maupun pedagang domestik sama-sama menyertakan tugas berdakwah dalam aktivitas perdagangannya.
Di dalam INIS Newsletter (Vol IX l993: l0) diterangkan : In the l5th century, when the Malacca kingdom became a centre of trading activities in Nusantara, it became
a hub of merchants. The Straits of Malacca were visited by these traders as they plied back and forth between India and China. The Arab traders were Moslems, who came with to intentions in mind ; to become a successful trader and a successful preacher. They were not  interested in political power and they were unarmed. (Pada abad ke-l5, ketika kerajaan Malaka menjadi sebuah pusat kegiatan perdagangan di Nusantara, ia menjadi tempat berkumpulnya para  saudagar. Selat Malaka banyak dikunjungi oleh para pedagang yang pulang pergi menjalankan dagangannya antara India dan Cina. Para pedagang Arab yang beragama Islam, mereka datang dengan dua tujuan, yaitu menjadi pedagang yang sukses dan  juru dakwah yang sukses pula.  Mereka tidak tertarik menggunakan kekuatan politik dan tidak pula kekuatan senjata).
Pernyataan di atas menunjukkan, para pedagang muslim tempo dulu mengemban dua misi dalam kegiatan bisnisnya, yaitu berdagang sekaligus berdakwah.  Tidak mengherankan atas jasa mereka banyak kawasan Nusantara, khususnya daerah pesisir yang begitu cepat menerima Islam.Usaha ini diteruskan pula oleh pedagang lokal, mereka ini menjelajahi berbagai pelosok pedalaman untuk berdagang sambil berdakwah. Ini terlihat misalnya  dari penyebaran Islam di Kalsel dan Kalteng. Pedagang muslim mendekati penduduk asli suku  Banjar, Dayak atau suku lain, lalu ada sebagian yang tertarik masuk Islam, termasuk lewat perkawinan. Lalu muncul perkampungan dengan komunitas muslim yang lama kelamaan terus bertambah. Namun mengingat dakwah Islam mesti disiarkan dengan bijaksana dan damai, maka keyakinan dan kepercayaan lain tetap dihormati. Komunitsas muslim dan nonmuslim tetap hidup rukun dan harmonis hingga sekarang.

Dakwah Langsung

Bila melihat kiprah para pedagang di atas yang mampu berdagang sambil berdakwah, diperkirakan mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki ilmu agama di samping naluri berdagang. Perkiraan ini ada benarnya, karena saat itu sudah lama berdiri sejumlah kerajaan di dunia Islam.seperti Turki Usmani di Timur Tengah dan sebagian Eropa, Kesultanan Delhi dan Kerajaan Mughul (Mugal) di India bahkan di Cina dengan berkuasanya dinasti Ming dimana banyak petinggi kerajaan yang beragama Islam. Di Nusantara juga demikian, banyak kerajaan Islam bermunculan seperti Demak, Mataram, Makassar, Ternate dan Tidore, Aceh, Banjar dan  sebagainya. Adanya kerajaan-kerajaan Islam tersebut diperkirakan berpengaruh terhadap keberagamaan rakyatnya, sehingga maereka merasa berkewajiban pula untuk terus mendakwahkannya.
Di sisi lain bangsa Arab jauh sebelum Nabi Muhammad lahir juga sudah terkenal sebagai bangsa pedagang, tidak saja dalam skala lokal tapi sudah internasional, yang melampaui batas negara dan bergaul antar bangsa. Di musim panas para saudagar Arab berdagang ke negeri Syam di Utara dan di musim dingin berdagang ke negeri Yaman di Selatan.
Sesudah datangnya Islam, aktivitas perdagangan tidak dimatikan, melainkan terus dipacu. Ini terbukti dengan banyaknya ayat alquran dan hadits yang memuji pekerjaan berdagang. Di dalam surat Albaqarah : 275 dan Al-Nisa : 29, berdagang (berjual beli) dihalalkan, asalkan barang dan jasa yang diperjualbelikan halal, bermanfaat, dilakukan transparan, tidak mengandung dusta dan penipuan, dan berlaku saling rela antara penjual dengan pembeli.  Nabi SAW juga mengatakan : Afdlalul kasbi ‘amalur rajuli biyadihi wa kullu bay’in  mabruurun (Pekerjaan paling utama adalah hasil karya tangan sendiri dan jual beli yang mabrur. HR Ahmad).  Jual beli yang mabrur di sini maksudnya yang memenuhi syarat dan rukun, tidak mengandung  tipuan dan sumpah, dll, sehingga kehalalannya tidak diragukan dan penuh berkah.
Berbeda dengan petualang Eropa yang datang kemudian, mulanya ingin berdagang, tapi kemudian memonopoli, mengeksploitasi bahkan menjajah anak negeri. Pedagang muslim lebih dalam rangka menjalin persaudaraan dan hubungan saling menguntungkan, simbiosis mutualis, sambil mendakwahkan Islam.
Mereka terpanggil mendakwahkan Islam karena dorongan agama yang sangat jelas dan sederhana : ballighuu anni walau ayah… (sampaikan olehmu dari ajaranku (Nabi) walaupun hanya sepatah kata). Yang dilarang dalam Islam adalah berdusta dengan sengaja atas nama Nabi (HR. Bukhari). Karena itu untuk menjadi dai dalam Islam tidak perlu harus menunggu menjadi ulama. Mengetahui satu dua potong ayat/hadits saja sudah bisa disampaikan kepada orang lain.  K.H Zainuddin MZ mengatakan, menjadi dai tidak harus sebagai muballigh profesional, tapi dapat dilakukan melalui profesi masing-masing dengan menyelipkan ajaran Islam, seperti sebagai petani, pedagang, dokter, dan seterusnya.  Orang yang mendengar pesan dakwah dalam suatu majelis berkewajiban menyampaikannya kepada orang lain yang belum mendengar, demikian seterusnya sehingga ada rantai dakwah yang berlanjut. Tidak dibenarkan  seorang juru dakwah melarang pesan dakwahnya disampaikan kepada orang lain, baik intinya maupun lewat rekaman. Pendapat dan pertimbangan pribadi tidak boleh mengalahkan nash yang sudahshahih  (kuat) dan sharih (jelas).

Dakwah Tak Langsung

Saat ini meski para pedagang masih mungkin untuk sambil berdakwah ketika menjalankan aktivitasnya, namun peran paling startegis adalah melalui dakwah tak langsung.  Caranya, pertama dengan mempraktikkan etika berdagang yang islami, seperti tidak mau menjual sesuatu yang mendatangkan dosa, misalnya  pakaian yang minim dan ketat yang  disenangi sebagian wanita. Ajaran Islam sudah sangat jelas dan rinci mengatur masalah ini, karena hampir di semua kitab fiqih ada pembahasannya dalam kitabul buyu’. Bila etika itu ditaati seorang pedagang hakikatnya sudah berdakwah. Sebaliknya bila tidak ditaati, itu berlawanan dengan semangat dakwah.
Dewasa ini etika itu sudah banyak diabaikan. Tidak sedikit pedagang muslim terlibat dalam jual beli gharar (tipuan), main-main, memaksa, mengandung riba dan sebagainya. Ini tentu kontraproduktif dilihat dari kacamata dakwah, apalagi jika nonmuslim sebagai konsumennya. Memasuki era persaingan bebas di mana dunia bisnis semakin menuntut etika profesi dan kejujuran, pengabaian etika itu akan menghambat laju perkembangan ekonomi umat, khususnya mereka yang berprofesi sebagai pedagang.
Kedua, peran tidak langsung dapat dilakukan melalui partisipasi aktif pedagang dalam mendanai kegiatan dan gerakan dakwah.  Pedagang sibuk di segi waktu, namun umumnya punya kelebihan di segi kekayaan. Semua itu mestilah dialokasikan sebagian untuk kepentingan dakwah Islam dalam arti seluas-luasnya, dengan menjadi motivator, donator dan fasilitator dakwah.
Keberhasilan sebuah kesebelasan, tidak mesti semua pemain aktif menyerang, melainkan ada sebagai kapten, penyerang, bertahan dan penjaga gawang. Sama seperti dalam perjuangan merebut kemerdekaan dahulu, tidak semua anak bangsa turut memanggul senjata, tapi ada yang berjuang melalui dukungan lainnya. Dalam sebuah obrolan dengan Bupati Tapin H. Knach Noor Ajie, SH, beliau sempat bernostalgia dengan masa kecilnya di masa revolusi fisik. Paman beliau H.M. Hammy AM yang dijuluki Banteng Borneo merupakan pejuang lapangan bersama  Bapak Gerilya Kalimantan H Hassan Basri cs.  Ayah beliau M. Aini Rasul yang sibuk berdagang tidak ikut berjuang di lapangan, namun sebagai pedagang obat ayah beliau aktif menjadi donator dan mensuplai obat-obatan untuk pejuang di hutan. Sementara ibu beliau Hj. Acil yang juga berdagang di Pasar Rantau ikut mendukung dengan sering mengantar bahan makanan dan logistik untuk para pejuang di tempat-tempat persembunyian. Dengan sinergi demikian, maka perjuangan kala itu cukup berhasil, meski tidak semua harus memanggul senjata, sebab logistik, dana, obat-obatan dan sebagainya sama pentingnya dalam perjuangan.
Salah satu kelemahan  dakwah Islam adalah di segi dana dan logistik, sedangkan kelebihan gerakan agama lain lebih pada dua komponen ini. Lemahnya dana dan logistik dakwah tidak terlepas dari masih rendahnya kontribusi dari pedagang dan pengusaha muslim.  Ada muslim kaya yang doyan pergi haji berulang kali, namun amat pelit ketika menyumbang untuk keperluan dakwah. Ada pula muslim kaya yang tidak mau mengambil bunga depositonya karena takut termakan riba. Padahal tidak mengapa bunga itu diambil tapi dialokasikan untuk kepentingan dakwah.
Memang kita lihat sudah banyak  pedagang dan pengusaha muslim yang aktif mendanai gerakan dakwah, tidak segan merogoh saku ratusan ribu bahkan jutaan rupiah sekali menyumbang. Tapi tidak bisa dipungkiri masih banyak yang pelit, yang kalau menyumbang amat sedikit, tidak seimbang dengan total asset kekayaannya.
Apabila para pedagang dan pengusaha muslim sekarang ingin menuruti jejak pendahulunya, yakni menjadi a successful trader and a successful preacher dalam arti luas, maka kontribusi dana mesti lebih dimaksimalkan lagi.  Rendahnya gaji guru agama honorer, guru TK/TP Alquran, kurangnya dai di pedalaman dan lokasi transmigrasi/ekstrans, banyak masjid, langgar, sekolah, mandrasah dan pondok pesantren yang terabaikan. Banyak fakir miskin yang terkendala sekolah karena tak punya biaya, banyak orang miskin tidak bias berobat, dan sebagainya. Bantuan para dermawan dan hartawan terhadap semua itu bernilai dakwah. Di akhirat kelak banyak orang yang menyesal karena harta yang disedekahkannya masih sedikit dibandingkan dengan harta yang tertinggal. Seandainya mereka tahu besarnya nilai sedekah, nyaris habis kekayaannya akan ia sumbangkan, kecuali disisakan sekedarnya untuk ahli warisnya.









2 komentar: