Jumat, 18 November 2011

Menyusuri Nagari Budaya




Minang Nagari Budaya

Oleh: Ahmad Barjie B

Ranah Minang boleh dikata nagari budaya. Bahkan budaya Minang dianggap sebagai budaya yang sangat dominan dan terbesar kedua di Nusantara sesudah Jawa.  Orang Minang baik yang menetap di daerahnya maupun yang tersebar di sejumlah kota di Nusantara termasuk Banjarmasin Kalsel, bahkan hingga ke Singapura dan Malaysia dikenal sangat kuat memegang adat istiadatnya. Banyak yang menjadi pejabat, pengusaha, ulama, penulis/pengarang, seniman dan cendikiawan, tetapi mereka tidak kehilangan jatidiri bahkan tetap mempertahankan budaya leluhurnya.
Berbagai aspek kehidupan masyarakat sangat kental dengan nuansa budaya. Mulai bentuk atau arsitektur bangunan rumah dan gedungnya, kehidupan sosial ekonomi, seni budaya hingga agama. Kesemuanya diberi buhul dalam satu relasi dan ikatan: dengan ungkapan: Adat basandi syara’ dan syara’ basandi kitabullah. Adat yang hidup di tengah masyarakat dijadikan subordinat untuk merealisasikan ajaran syariat. Ungkapan mereka:  Syara’ mengato, adat memakai. 

Asal sebutan
Sebutan Minangkabau terdiri dari beberapa versi. Di antaranya ada yang menyebut Minangkabau berasal dari kata “menang” dan “kerbau’. Ada suatu legenda khas Minang, konon pada suatu masa dulu satu kerajaan asing (kemungkinan Majapahit) datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduk kecilnya. Dalam adu kerbau, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut dan akhirnya kerbau besar itu kalah dan lari.
Kemenangan anak kerbau itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan 'manang kabau' (artinya menang kerbau). Namun pewaris Kerajaan Pagaruyung Rajo Mudo Mahkota Alam Muhammad Taufik Taib, dalam pidatonya menyambut rombongan Kesultanan Banjar pimpinan Pangeran H Khairul Saleh kurang setuju dengan asal-usul nama ini. Ia lebih setuju dengan versi, bahwa Minang Kabau ini berasal dari istilah Mu’minan kan-Nabawiyah, artinya orang Minangkabau itu semuanya beragama Islam dan berusaha untuk menuruti pola hidup Nabi  (sirah Nabawiyah).
Nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Versi lainnya, “Minang" adalah kerajaan Minanga, hal itu disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 M dan berbahasa Sansekerta. Dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga". Kata  Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri. Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama 1365 M, menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya.
Adanya perbedaan versi ini wajar saja. Tak berbeda dengan sebutan Banjarmasin. Ada yang menyebutnya berasal dari istilah Bandar Masih (kota pelabuhan yang dahulu dipimpin oleh Patih Masih). Ada juga yang menyebut kota ini kalau banjir airnya masin, menjadi Bandjermasin, lalu oleh lidah Belanda disebut Bandjermash, atau Bandjermassing, dll.

Sebutan nagari
Istilah lain yang menonjol di ranah Minang adalah nagari (negeri). Pembentukan  suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah: Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto, dan seterusnya menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.
Adanya tingkatan sebutan suatu kawasan ini mendorong warganya berlomba meningkatkan status dan martabatnya. Taratak tak lebih sekadar ladang untuk bertani atau berkebun. Orang yang tinggal di Taratak belum berhak membangun rumah gadang, dengan arsitektur khas Minang (rumah dengan atap bagonjong/tanduk kerbau). Tanduk kerbau ini bermakna doa dengan mengangkat kedua belah tangan ke langit. Mereka berusaha agar daerahnya semakin tertib, teratur, tertata, baik lingkungan fisik maupun nonfisik, termasuk budaya dan agama. 
Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan penghulu atau datuk bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama.
Kedudukan para penghulu atau datuk sangat kuat. Pada banyak daerah ada balai kerapatan adat, yang dibangun khusus untuk melaksanakan rapat atau musyawarah yang berkaitan dengan masalah keluarga dan kemasyarakatan. Jadi di sana peran tokoh informal sangat menonjol, dan kelihatannya melebihi pejabat formal pemerintahan, khususnya di lingkungan nagari. Para pemimpin nonformal itu berusaha agar berperilaku arif supaya ucapannya didengar dan dapat diteladani. Menaati adat sangat penting dan sebutan tidak beradat atau menyalahi adat menjadi pukulan psikologis yang berat bagi setiap warga dan keluarga. Apalagi kalau sampai pindah agama, maka dia dianggap bukan orang Minang lagi. 



Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: November 2011

Nagari Sastrawan dan Seniman Nasional



Nagari Sastrawan dan Seniman Nasional

Oleh: Ahmad Barjie B

Dunia sastra tanah air tentu tidak asing dengan sejumlah karya sastra besar, seperti Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) karya Marah Rusli, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka,  Salah Asuhan karya Abdul Muis, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana, dan  Robohnya Surau Kami karya Ali Akbar Navis, dll. Novel-novel karya sastrawan Minang tersebut telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia. Tak sedikit karya sastra asal Minang dijadikan kisah film kolosal, serial dan sinetron, bahkan sampai ke tingkat dunia.
Wikipedia menyebutkan, penulis Minang banyak memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, Hamka, dan A.A Navis berkarya melalui novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang, tercatat sebagai penulis novel Indonesia paling produktif. Chairil Anwar dan Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi. Sutan Takdir Alisjahbana, novelis sekaligus ahli tata bahasa, melakukan modernisasi bahasa Melayu-Indonesia sehingga menjadi bahasa persatuan nasional.
Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan jurnalis Minang, antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Abdul Rivai yang dijuluki Perintis Pers Indonesia, dan Rohana Kudus yang menerbitkan Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.
Banyak pula orang Minang sukses di dunia hiburan, sebagai sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal yang bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan karya. Tidak kurang 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkan Arizal. Film-film karya sineas Minang seperti Lewat Djam Malam, Gita Cinta dari SMA, Naga Bonar, Pintar-pintar Bodoh, dan Maju Kena Mundur Kena, menjadi film terbaik yang banyak digemari penonton.
Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal di antaranya Ade Irawan, Eva Arnaz, Nirina Zubir, dan Titi Sjuman. Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Karyanya seperti kuis Berpacu Dalam Melodi, Gita Remaja, Siapa Dia, dan Tak Tik Boom menjadi acara favorit keluarga Indonesia.

Dorongan karya sastra
Mengapa di ranah Minang karya-karya sastra begitu hidup, dan kemudian merambah ke tingkas nasional bahkan regional, sehingga sangat terkenal. Hal ini diduga disebabkan beberapa faktor. Sambil ngobrol di sebuah rumah makan, tidak jauh dari Istana Si Linduang Bulan Pagaruyung Batusangkar Tanah Datar, saya mendiskusikan hal ini kepada budayawan Kalsel Adjim Arijadi, mantan Rektor Unlam Prof Kustan Basri dan DCH Taufik Arbain.
Di antara praduga kami, karena karya sastra mereka itu memiliki ketinggian dan kehalusan bahasa. Hasilnya, pembaca sangat tersentuh dan sangat menjiwai isi cerita. Menurut Kustan Basri di masa mudanya dahulu, sampai-sampai orang yang membaca novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck atau novel lainnya tak bisa tidur.
Orang Minang lebih dahulu mengenal dan menggunakan bahasa Melayu, sebagai akar bahasa Indonesia. Karena itu mereka mudah melahirkan karya sastra dengan bahasa yang sama. Tambahan lagi, dunia sastra nasional di masa itu sedang booming, sehingga karya sastra selalu dibaca dan dinanti kehadirannya. Kalau tak bisa membeli, minimal orang antri meminjam dari perpustakaan atau teman .
Patut pula diduga, budaya Minang yang khas, seperti sistem matrilinier yang kadang memunculkan konflik internal keluarga dan adat, keterbatasan pergaulan muda-mudi, serta rumah gadang yang menuntut remaja putra tak lagi tinggal di rumah tapi bermalam di surau, ikut mendorong satsrawan untuk berkarya dengan mendramatisasi konflik yang terjadi. Roman Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sabai Nan Aluih dan sejenisnya, boleh jadi didorong faktor ini.
Kecenderungan orang Minang merantau juga memacu banyaknya karya sastra. Banyak melihat, mendengar dan mengalami pahit manis kehidupan, mendorong orang mengaktualisasikannya dalam karya sastra. Hamka dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Salah Asuhan Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang, dalam hal ini persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang berhasil.
A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halaman yang banyak ditinggal pergi merantau. Gara-gara asyik merantau surau di kampung ada yang roboh. Dari pengamatan kami, memang banyak masjid dan surau yang secara fisik kurang representatif.  Beda  dengan banua Banjar di mana banyak masjid dan surau yang bangunan fisiiknya mewah, belum usang direhab lagi. Novel yang bercerita tentang adat dan perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang yang sebagian dianggap konservatif.
Panorama alam yang indah juga memacu sastrawan lokal dan nasional berkarya. Panoroma alam Bukit Barisan, Gunung Singgalang, Merapi, Lembah Anai, Ngarai Sianok, Pantai Muara (ingat legenda Malin Kundang), makam Siti Nurbaya, pelabuhan Teluk Bayur dll, memang sangat inspiratif.
Di kota besar dan kecil terdapat banyak taman budaya yang aktif dengan kegitan kesastraan. Pagelaran seni, tari, lukis, sandiwara, drama, baca puisi dll, banyak dilakukan. Selain didorong SDM sastrawan muda dan senior, juga karena pemerintah daerah menaruh perhatian, dengan menyediakan dana APBD untuk pengembangannya. 

Khazanah Kalsel
Apabila Kalsel, termasuk Kesultanan Banjar ingin memajukan sastra dan seni daerah,  iklim yang kondusif perlu dihidupkan, misalnya dengan menyediakan dana melalui APBD provinsi dan kabupaten/kota. Jika itu diwujudkan maka kekurangan dana operasional untuk penyelenggaraan aruh sastra ataupun pemberian hadiah-hadiah untuk karya sastra dan seni bermutu, tak akan terkendala seperti sering dikeluhkan selama ini. Kondisi yang kondusif memotivasi para sastrawan lebih kreatif dan produktif.
Banua Banjar sebenarnya kaya dengan cerita menarik, baik yang sifatnya historis aktual, legenda maupun cerita rakyat yang cukup edukatif. Dalam obrolan sambil makan pagi di Hotel Pangeran Pekanbaru, beberapa anggota rombongan Kesultanan Banjar seperti Pangeran H Khairul Saleh, HM Said,  Gt Tamrani, Gt Rahmadi, Gt Ruspan Noor dan penulis, mengakui bahwa banua Banjar sebenarnya memiliki  banyak peristiwa yang patut diangkat ke permukaan, baik melalui tulisan, bahkan film.
Raja Muda Banjar Pangeran Khairul Saleh misalnya setuju jika tenggelamnya Kapal Onrust selama perang Banjar - Barito difilmkan karena sangat heroik dan dramatik. HM Said menekankan, peristiwa itu merupakan strategi perang yang hebat, hasil kolaborasi antara pejuang Banjar dengan Dayak, sehingga mengakibatkan banyak sekali serdadu Belanda tewas. Peristiwa itu memaksa Kerajaan Belanda menjadikannya hari berkabung nasional. Jarang sekali ada perang sebesar itu terjadi di masa penjajahan dulu. Apabila peristiwa demikian bisa difilmkan, tentu akan mengangkat citra daerah (Kalsel dan Kalteng) ke tingkat nasional.  Perang Diponegoro (Pahlawan Goa Selarong), Padri (Tuanku Imam Bonjol), Aceh (Tjut Nyak Dien) dll, umumnya sudah difilmkan.
Eksistensi Lembaga Adat Kekerabatan dan Kesultanan Banjar saat ini kita harapkan dapat mendorong perkembangan sastra dan seni daerah. Tentu dengan membangun sinergisitas dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, Taman Budaya, Disporabudpar, Museum Wasaka dan Lambung Mangkurat, dan para pihak terkait. Kerjasama budaya antarprovinsi dan kabupaten/kota juga penting dilakukan. Kita harapkan akan lahir banyak karya sastra dan seni dari daerah.  Minimal bisa menjadi tuan di daerahnya sendiri. 



Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: November 2011

Nagari Banyak Tokoh Nasional



Nagari Banyak Tokoh Nasional

(Radar Banjarmasin, 29 Oktober 2011)

Banyak daerah di Indonesia punya tokoh yang mampu berkiprah di kancah nasional,  sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Tetapi di antara sejumlah daerah itu, ranah Minang termasuk yang terbanyak. 
Wikipedia mencatat, periode 1920 - 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, tahun 1923 Tan Malaka (nama aslinya Sutan Ibrahim) terpilih menjadi wakil Komunis Internasional wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, pelopor Sumpah Pemuda 1928 yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda dan tokoh BPUPKI/PPKI jelang merdeka.
 Di dalam Volksraad (DPR era kolonial), politisi asal Minang paling vocal, antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim dan Abdul Muis. Mohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Dekat Jam Gadang Bukititinggi sekarang terdapat Istana Bung Hatta. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai pejabat presiden (Mr Assaat), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), dan seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh). Beberapa museum dan perkantoran di Sumatra Barat juga memajang foto para tokoh tersebut.
Di era ordebaru ada puluhan orang Minang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal Emil Salim, Azwar Anas dan Fahmi Idris. Emil Salim menjadi orang terlama duduk di kementerian RI. Minang, salah satu dari dua etnis selain Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet. Selain di pemerintahan, di masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi politisi Minang. Mereka tergabung ke dalam aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis. Di era refromasi tercatat Mendagri Gamawan Fauzi, mantan gubernur Sumbar dan bupati Solok.
Di samping menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat, orang-orang Minang juga duduk sebagai gubernur provinsi lain. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Daan Jahja (Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani (Sumatera Selatan), Eni Karim (Sumatera Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).
Beberapa partai politik didirikan politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Deliar Noer, oposan ordebaru dan pendiri Partai Umat Islam yang banyak menulis buku politik keislaman juga berdarah Minang.
Selain mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku yang menjadi bacaan wajib aktivis pergerakan. Buku-buku bacaan utama itu antara lain, Naar de Republiek Indonesia, Madilog, dan Massa Actie karya Tan Malaka, Alam Pikiran Yunani dan Demokrasi Kita karya Hatta, Fiqhud Dakwah dan Capita Selecta karya Natsir, serta Perjuangan Kita karya Sutan Sjahrir.
Di luar negeri, orang Minangkabau juga dikenal kontribusinya. Di Malaysia dan Singapura, antara lain Tuanku Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), dan Sheikh Mudzaphar Shukor (astronot pertama Malaysia). Di negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, satu-satunya orang Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota parlemen. Di Arab Saudi, hanya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, orang non-Arab yang pernah menjadi imam besar Masjidil Haram, Mekkah.

Ulet dan Idealis
Menurut Wikipedia, orang Minang terkenal sebagai kelompok terpelajar. Sebab  itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan mancanegara dalam berbagai macam profesi dan keahlian; politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Meski jumlah populasi relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minang menjadi salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Majalah Tempo edisi khusus 2000 mencatat, 6 dari 10 tokoh penting Indonesia abad ke-20 orang Minang, dan 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.
Mengapa banyak putra Minang menjadi tokoh nasional dan regional, ada banyak penyebabnya. Mereka lebih dahulu terpelajar di segi pendidikan umum dan agama, banyak yang menguasai bahasa asing (Arab, Belanda, Inggris). Ketika rombongan Kesultanan Banjar melewati dan singgah di beberapa kota di ranah Minang, seperti Padang, Padang Panjang, Maninjau, Bukittinggi, dll, suasana pendidikan cukup terasa. Anak-anak remaja berpakaian sederhana, menutup aurat, banyak yang berjalan kaki pergi dan pulang sekolah/kuliah. Tak tampak berHP ria atau tampil keren seperti anak /remaja Banjar. Kalau  berhibur mereka memilih yang tidak mengeluarkan biaya.
Adat Minang yang melarang keras menjual harta pusako tinggi (harta bawaan milik keluarga besa), tetapi untuk kepentingan sekolah tinggi harta itu boleh digadaikan. Nanti kalau sudah bekerja dan berhasil maka prioritas utama adalah menebus harta yang tergadai itu. Perantau Minang yang sukses di perantauan juga diminta mengirim sebagian rezekinya agar keluarga di kampung asal bisa sekolah tinggi.  Berbeda dengan perantau Banjar yang banyak madam (perantau permanen) yang putus hubungan dengan kampung halaman), perantau Minang masih menjalin hubungan dengan daerah asal. Orang Minang tidak pragmatis dan cepat merasa puas dengan keberhasilan yang ada lalu menikmatinya sendiri. Sebagian orang Banjar yang berhasil, cenderung sugih saurangan, enggan membantu keluarga yang miskin, baik bantuan ekonomi maupun pendidikan.
Orang Minang lebih berani meninggalkan kampung halaman. Sosiolog Dr Mochtar Naim (penulis pernah mewawancarainya tahun 1999 di Banjarmasin) menyatakan, tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatra Barat. Tahun  1971 meningkat menjadi 44 %. Berdasarkan sensus tahun 2010, etnis Minang yang tinggal di Sumatra Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir separuh orang Minang berada di perantauan.
Perantau Minang ada yang memilih menjadi pedagang/pengusaha dan ada yang menjadi aktivis, ulama, cendikiawan. Sebagai perantau etos kerja dan etos belajar mereka lebih tinggi daripada orang tempatan. Walau dengan modal materi awal pas-pasan, karena keuletan akhirnya mereka sukses. Kaum pria dewasa yang secara adat tidak mendapatkan harta warisan, kecauli sebatas harta pusaka rendah hasil kerja ayahnya, mendorong mereka mencari penghidupan di daerah lain.
Mereka loyal sekaligus kritis terhadap pemerintah. Dulu ketika RI diserang Belanda melalui agresi I dan II dan ibukota pindah ke Yogyakarta, para tokoh Minang mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Bukittinggi sebagai ibukotanya. Dan ketika Presiden Soekarno dianggap tidak konsisten dengan Pancasila dengan mengusung konsep Nasakom yang memberi angin kepada PKI, mereka juga sempat memberontak melalui PRRI/Permesta. Pemberontakan itu tidak dimaksudkan untuk memisahkan diri dari NKRI, tetapi memberi pelajaran kepada pemerintah agar konsisten. Meski begitu Partai Masyumi yang didirikan dan banyak diisi tokoh Minang tetap dibubarkan Soekarno. Keinginan mendirikan kembali Masyumi di era awal orde baru usai jatuhnya Bung Karno tetap tidak direstui. 
Tampak bahwa idealisme bagi orang Minang sama pentingnya dengan kemajuan dan kesejahteraan hidup. Karena itu idealisme masih dipelihara agar hidup lebih maju dan bermanfaat bagi banyak orang. Idealisme itu pulalah yang menyemangati para putra Minang gigih berkiprah di kancah nasional sejak era penjajahan. Kita semua termasuk orang Banjar perlu saling belajar, antarorang, antarkelompok, antarsuku dan antarbangsa. Kekurangan yang kita miliki perlu diperbaiki dan kelebihan yang dimiliki pihak lain tidak salahnya kita jadikan masukan.




Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: November 2011

Korelasi Umara - Ulama di Kesultanan Banjar



Korelasi Umara - Ulama di Kesultanan Banjar

Oleh: Ahmad Barjie B

Suksesnya dakwah Islam di mana saja hampir pasti disebabkan adanya andil kekuasaan (power). Saat Rasulullah saw berdakwah di Mekkah, dakwah berjalan lambat, bahkan berada dalam tekanan dan ancaman. Hal itu karena kekuasaan belum dimiliki, dan pemeluk Islam umumnya kelas menengah bawah dan hanya beberapa gelintir kalangan elit. Giliran Rasulullah saw dan para sahabat berkuasa di Medinah, maka kemajuan Islam pun berlangsung pesat dan hampir tidak terbendung oleh kekuatan mana pun. Bahkan Imperium Persia dan Romanum kewalahan menghadapi kekuatan Islam.
Dakwah di Nusantara juga demikian. Suksesnya islamisasi di Sumatra, disebabkan para ulama berhasil menjalin kerjasama dengan kesultanan Samudra Pasei (SP) dan Aceh.  Abdurrauf Singkel (SP) dan Nuruddin Al-Raniri (Aceh) adalah contoh ulama besar yang sukses menjalin hubungan harmonis dengan kekuasaan untuk kepentingan dakwah. Begitu juga para Walisongo dan ulama lainnya sukses berdakwah di tanah Jawa karena dukungan Kesultanan Demak, Mataram, Banten dan seterusnya.

Islamisasi di tanah Banjar
Keberhasilan serupa terlihat dalam Islamisasi di tanah Banjar Kalimantan Selatan. Menurut Ahmad Basuni (1984), Islam sudah masuk ke Kalimantan sejak abad ke-14, yang dibawa oleh para pedagang Cina, Arab dan India. Namun perkembangan Islam  berjalan lambat, sebab yang menganutnya hanya masyarakat biasa yang tinggal di pinggir pantai dan pelabuhan. Dakwah Islam baru berkembang pesat setelah Pangeran Samudra (bergelar Sultan Suriansyah) tahun 1495 berhasil naik tahta Kerajaan Banjar atas bantuan tentara Kerajaan Demak, sehingga mampu mengalahkan pamannya Pangeran Tumenggung yang beragama Hindu, yang sebelumnya membunuh ayahnya Pangeran Mangkubumi. Islamisasi besar-besaran terjadi periode ini, sebab masyarakat Banjar yang paternalistik mudah sekali melakukan konversi agama meniru agama rajanya.
Perkembangan Ialam semakin pesat di masa hidupnya ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M). Beliau mulanya  anak warga biasa yang diangkat anak oleh Sultan Banjar, kemudian disekolahkan ke tanah suci (Mekkah dan Medinah). Sebagai orang biasa saat itu mustahil untuk bisa menuntut ilmu agama sampai ke luar negeri. Tetapi karena peranan Kerajaan Banjar yang bersedia membantu dan membiayai secara penuh, Muhammad Arsyad bisa berangkat ke sana sampai menuntaskan pelajarannya. Beliau seangkatan dengan beberapa ulama besar Nusantara saat itu yaitu Syekh Abdul Wahab Bugis (asal Makassar), Syekh Abdurrahman Masri (Jakarta) dan Syekh Abdussamad Falimbani (asal Palembang). Mereka disebut Empat Serangkai Ulama Jawi, sebutan Indonesia saat itu (Halidi, 1982).
Setelah menuntut ilmu selama 30 tahun di Mekkah dan 5 tahun di Medinah, empat serangkai ini pulang ke tanah air. Setelah dijamu oleh pemerintah Hindia Belanda yang menaruh hormat pada mereka, selanjutnya kembali ke daerah asal masing-masing. Syekh Muhammad Arsyad kembali ke banua Banjar Kalimantan Selatan, yaitu ke ibukota Kerajaan Banjar yang sata itu berpusat di Martapura.

Dakwah monumental
Ada beberapa gerakan dakwah monumental yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari selama hidupnya. Di antaranya; Pertama, beliau membangun pusat pendidikan dan dakwah di Dalam Pagar-Martapura, tempat di mana beliau giat membuka pengajian agama dan pendidikan nonformal sambil mengkaderkan anak cucu  dan murid-muridnya dan mengirimnya ke berbagai daerah pedalaman untuk terus menyebarkan Islam. Kedua, beliau diberi Sultan Banjar lahan perkebunan dan pertanian untuk dikembangkan sistem irigasi dan tata pertaniannya agar lebih produktif, belakangan daerah itu dinamai Sungai Tuan yang subur untuk pertanian dan perkebunan. Ketika wafat, beliau juga dimakamkan di kawasan ini begitu juga istri-istri dan anak keturunannya, yang dikenal dengan Makam Datu Kalampayan Astambul yang selalu ramai diziarahi orang dari berbagai daerah di Indonesia bahkan Asia Tenggara hingga sekarang.
Ketiga,  Syekh Muhammad Arsyad berhasil menjadikan Islam sebagai hukum Positif di Kerajaan Banjar, dengan mendirikan Mahkamah Syariah, dengan beliau dan anak keturunannya sebagai Qadhi Besarnya. Keempat, salah seorang Sultan Kerajaan Banjar yaitu Sultan Adam al-Watsikbillah kemudian membukukan aturan syariat tersebut dalam Undang-Undang Sultan Adam (UU-SA), yang memuat aturan pidana dan perdata yang berlaku untuk seluruh kekuasaan Kerajaan Banjar yang saat itu selain mencakup seluruh wilayah Kalimantan Selatan, juga sampai ke Tanah Grogot Kaltim, Bulungan, Kotawaringin Sampit dan Pangkalan Bun (Kalteng) dan Sambas Kalimantan Barat. UU-SA beserta Kerajaan Banjar ini kemudian dihapuskan oleh Belanda.
Kelima, atas permintaan dan fasilitasi Sultan, Syekh Muhammad Arsyad menyusun sebuah kitab fikih besar yang bernuansa Banjar (Nusantara), bernama Sabilal Muhtadin. Kitab ini disebarkan ke tengah masyarakat Banjar dan terus menjadi rujukan hingga sekarang, bahkan persebarannya sampai ke wilayah Asia Tenggara lainnya (Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand Selatan/Fatani). Kitab ini menggunakan bahasa Arab Melayu dan sudah diterjemahkan (disalin) ke dalam bahasa Indonesia, di antaranya oleh alm Prof Drs HM Asywadie Syukur, Lc (mantan Rektor IAIN Antasari Banjarmasin dan Ketua MUI Kalsel). Kitab ini versi kecilnya dalam bahasa kampung Banjar disusun dalam kitab Parukunan Basar oleh Shafiyah, salah seorang putri Syekh Muhammad Arsyad.
  Keenam, Syekh Muhammad Arsyad berhasil menyelamatkan keislaman masyarakat Banjar, terutama golongan awam, dari aliran yang dikategorikan sesat tasawuf yang dibawa oleh Abdul Hamid Abulung. Ia mengajarkan aliaran sufi wihdah al-wujud (manunggaling kawula gusti). Sultan Banjar menghukum mati Abdul Hamid Abulung setelah minta fatwa dari Syekh Muhammad Arsyad.
Ketujuh, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan ulama keturunannya berhasil menjadikan penguasa Kerajaan Banjar bersama rakyatnya militan ketika berhadapan dengan penjajah Belanda, sehingga terjadi Perang Banjar yang berkepanjangan (1859-1905), yang membawa risiko dibakarnya istana dan dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh kolonial Belanda. Hampir semua elit Kerajaan Banjar berjuang bersama rakyat dengan segala risikonya yang berat, meskipun ada juga segelintir elit yang memihak Belanda akibat politik adu domba.


Andil kekuasaan
Jelas, di luar bantuan Sultan Banjar menyekolahkan al-Banjari ke tanah suci sehingga ia menjadi ulama besar, minimal ada tujuh poin besar keberhasilan dakwah al-Banjari yang kesemuanya dikatakan tercapai karena dukungan penguasa Kerajaan Banjar. Di samping tentunya kebesaran keulamaan beliau sendiri yang sangat dikagumi dan dihormati masyarakat.
Sekiranya tidak mendapat dukungan dari Kerajaan Banjar, boleh jadi beberapa usaha besar Syekh Arsyad tidak akan berhasil, misalnya dalam melembagakan Mahkamah Syariah, memberlakukan UU-SA, juga dalam membasmi aliran sempalan, yang kesemuanya sangat membutuhkan peran dan power dari pemegang kekuasaan.
Kesulitan ini dirasakan pasca Indonesia merdeka hingga sekarang,  misalnya betapa sulitnya dalam mendirikan Kementerian Agama dahulu karena adanya golongan nasionalis sekuler yang menolaknya (Deliar Noer, 1982). Betapa sulitnya mendirikan Mahkamah Syariah yang hingga kini belum terbentuk, betapa banyaknya penolakan terhadap formalisasi hukum Islam sebagai hukum Positif, dan juga sulitnya dalam membubarkan sesuatu aliran yang dikategorikan sesat dan menodai Islam semisal Ahmadiyah. Semua itu karena pemerintah yang berkuasa tidak memberi dukungan, sehingga para ulama baik perorangan maupun kelembagaan tidak berhasil mengaplikasikan ajaran Islam secara komprehensif.  Praktik dan tempat-tempat maksiat serta penyakit masyarakat sulit dibasmi kalau komitmen penguasa kurang.  
Meskipun demikian tidak semua usaha dakwah Syekh Muhammad Arsyad berhasil optimal. Pada ranah akidah, Syekh Arsyad atas insiatif sendiri menyusun kitab Tuhfah al-Raghibin. Kitab ini berisi penolakan dan pelurusan kepercayaan masyarakat Banjar yang berbau animis dan sinkretis warisan kepercayaan pra Islam. Di antara yang sangat ditentang oleh Syekh Arsyad adalah kepercayaan sebagian masyarakat Banjar saat itu bahwa asal-muasal Raja Banjar adalah makhluk gaib. Pangeran Suryanata adalah makhluk gaib yang dihadiahkan oleh Raja Majapahit, kemudian istrinya Putri Junjung Buih berasal dari alam gaib pula yang muncul dari “buih” (pusaran air). Ketika keduanya meninggal tidak dikuburkan sebagaimana mestinya tetapi menghilang ke Gunung Pematon (sekitar wilayah Taman Hutan Raya Sultan Adam Martapura - Banjarbaru). Beberapa keturunannya juga menghilang (moksa), sehingga tidak diketahui di mana kuburnya. Kepercayaan ini masih hidup hingga sekarang, dan untuk mengenang dan menghormati napak tilasnya, banyak masyarakat Kalsel yang suka berziarah ke situs Candi Agung Amuntai yang di situ dipercaya merupakan bekas Istana Kerajaan Banjar pra Islam (Gusti Masyur, 1990).
Usaha dakwah Syekh Arsyad untuk meluruskan akidah umat ini kelihatannya kurang berhasil karena tidak tampak dukungan optimal dari penguasa saat itu dan kemudiannya. Hal ini diduga karena para raja Banjar beroleh keuntungan politis dari kepercayaan masyarakat tersebut. Masyarakat Banjar masa lalu percaya bahwa orang yang berkuasa tidak boleh rakjat jelata, melainkan harus titisan dewa atau makhluk gaib seperti halnya para Raja Banjar dan keturunannya. Kalau rakyat jelata yang berkuasa, maka akan terjadi kemalangan dan kesialan bagi wilayah kerajaan. Karena kepercayaan ini maka hampir selama berkuasanya kerajaan Banjar, baik Banjar Hindu (1438-1595) maupun Banjar Islam (1595-1860) tidak pernah terjadi pemberontakan oleh rakyat, yang ada hanya krisis internal di lingkungan istana.


Kesimpulan sementara
Sulit disangkal, keberhasilan dakwah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari banyak didukung oleh kekuasaan, dan sebaliknya ketika kekuasaan kurang mendukung, ada aspek dakwah yang tidak berhasil optimal. Kenyataan ini fenomena yang penting untuk dijadikan pembelajaran di masa sekarang dan kemudian. Artinya, jika dakwah ingin sukses, maka harus punya dana, power, atau minimal dekat dengan kekuasaan. Begitu juga kekuasaan jika ingin kuat dan lestari harus dengan dukungan dakwahnya para ulama, sebab ulama adalah pewaris nabi dan ikutan umat. Ada benarnya ungkapan Imam al-Ghazali, al-din bil mulki yaqwa, wa al-mulki bi al-dini yabqa (agama dengan dukungan kekuasaan akan kuat, dan kekuasaan dengan dukungan agama akan lestari)
Tetapi kedekatan itu tidak dalam bentuk perselingkuhan antara penguasa (umara) dengan ulama. Kalau berselingkuh, maka agama hanya akan dijadikan alat politik bagi umara untuk berkuasa, dan umara dijadikan sarana bagi ulama untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Kalau begini Islam tidak akan maju.
Pendekatan kerjasama yang dibangun oleh Syekh Arsyad tidak menjadikan ulama sebagai sub-ordinat dan atau diperalat penguasa. Beliau juga tidak menjadikan kedekatan itu sebagai sarana untuk berkuasa atau beroleh kekayaan materi. Syekh Muhammad Arsyad terbukti tidak pernah berusaha menjadikan dirinya dan atau keturunannya sebagai raja, walaupun ada di antara anaknya berdarah biru karena salah seorang istrinya merupakan anak raja Banjar. Beliau juga tetap hidup sederhana, sejarah hidupnya tidak membuktikan beliau punya harta.
Jadi koalisi dengan penguasa saat itu bukan untuk kepentingan pribadi dan materi, tetapi semata untuk kepentingan dakwah Islam. Kehormatan diri tetap beliau jaga sampai akhir, hingga beliau dianggap sebagai ulama yang punya karomah besar. Pendekatan demikian terasa relevan untuk dikembangkan di era sekarang, mengingat dukungan penguasa untuk keberhasilan dakwah, khususnya yang bersifat formal masih penting. Namun  ulama jangan sampai terkooptasi untuk kepentingan politik penguasa.
Pangeran Ir H Khairul Saleh, MM, baik dalam posisinya sebagai Bupati Banjar maupun Raja Muda Kesultanan Banjar saat ini kelihatannya cukup dekat dengan para ulama, begitu juga sebaliknya. Banyak program pembangunan yang melibatkan para ulama, baik dalam ranah pemikiran, implementasi maupun pengawasan. Gubernur Kalsel Rudy Ariffin kelihatannya juga dekat dengan ulama dan ulama dekat dengan beliau. Bahkan keberhasilan Rudy Ariffin dalam pemilukada periode kedua, tak sedikit karena dukungan ulama, termasuk restu alm Guru Sekumpul KHM Zaini Ghani.
Secara umum kita melihat para penguasa (bupati/walikota dan jajarannya) di banua Banjar ini memiliki kedekaran emosional dan kultural dengan ulama, dan ulama pun tidak menjaga jarak dengan mereka. Kita harapkan, kedekatan itu benar-benar tulus sehingga menjadi sebuah simbiosis mutualis, yang menghasilkan kemajuan bagi agama, bangsa dan negara (daerah).

Pengamat sosial politik keagamaan, tinggal di Banjarmasin
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: November 2011

Idham Chalid Pahlawan Nasional

Pahlawan Nasional dan Daerah

Oleh: Ahmad Barjie B
Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2011 lalu menjadi kado istimewa bagi Banua Banjar. Melalui Keppres No. 113/TK/2011 Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional (PN) kapada tujuh tokoh, salah satunya Dr KH Ideham Chalid. Tokoh lainnya Syafruddin Prawiranegara, Buya Bamka, Paku Buwono X, Ki Sarmidi Mangunsarkoro, IG Ketut Puja, dan Ignatius Joseph Kasimo.
Pemberian gelar PN untuk Ideham Chalid terbilang cepat, karena beliau baru saja meninggal dunia 11 Juli 2010 lalu. Hal ini karena ulama-politisi kelahiran Satui Tanah Bumbu ini sangat dikenal luas oleh pemerintah dan masyarakat, sejak era kemerdekaan, orde lama dan orde baru. Dengan track recordnya tidak sulit bagi pemerintah menimbang kelayakan Ideham Chalid sebagai PN.
Menurut mantan Gubernur Kalsel HM Said, tokoh daerah yang berkiprah di kancah nasional memang lebih memungkinkan dan lebih cepat diproses menjadi PN. Sementara tokoh yang berjuang di daerah meskipun jasanya besar, agak lambat. Apalagi jika ada sisi sejarah yang kontroversial, penganugerahan gelar menjadi alot.  
Gelar ini menambah jumlah PN asal Kalsel menjadi tiga, menyusul Pangeran Antasari dan Hassan Basry. Berarti tinggal dua usulan gelar pahlawan yang hingga kini belum diamini pusat, yaitu Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Mohammad Noor. 
Dibanding daerah lain, katakanlah ranah Minang, Kalsel masih ketinggalan. Meski penduduk Minang hanya 2,7 % dari penduduk Indonesia, Minang menjadi salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Tempo edisi khusus 2000 mencatat, 6 dari 10 tokoh penting Indonesia abad ke-20 orang Minang, dan 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau. Rata-rata mereka sudah ditetapkan sebagai PN.
Bagi Kalsel hal ini perlu disyukuri. Tentu tetap memperjuangkan sejumlah tokoh lain yang layak menjadi PN. Semakin banyak daerah memiliki PN, semakin baik dan berwibawa. Berarti daerah punya kontribusi besar dalam perjuangan dan kehidupan berbangsa bernegara. Namun yang lebih penting hal ini memberi inspirasi agar semakin banyak putra daerah yang mampu berkiprah di tingkat nasional. Semakin banyak tokoh dimaksud semakin positif, sebab laju pembangunan daerah banyak ditentukan perjuangan para tokoh di pusat.

Semakin fair
            Hal yang cukup menggembirakan di era reformasi, pemberian gelar pahlawan semakin fair. Kalau di era orde baru masih ada unsur suka dan tidak suka serta pertimbangan politik subyektif penguasa, kini semakin cair. Buktinya Syafruddin Prawiranegara dijadikan PN, padahal mantan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini selain berjasa besar juga diindikasikan pernah terlibat pemberontakan PRRI/Permesta karena kecewa terhadap pemerintahan Bung Karno.
Mohammad Natsir juga diberi gelar PN 2008 lalu, padahal beliau bersama Syafruddin dianggap tokoh PRRI. Walaupun para tokoh PRRI telah diamnesti oleh Presiden Soekarno, namun hubungan mereka tetap kurang baik, karena sikap para tokoh tersebut cenderung menjadi oposan pemerintah. Mereka juga termasuk tokoh Petisi 50, mengalami cekal dan pengebirian hak-hak politik dan perdata lainnya. Buya Hamka juga ulama dan tokoh kritis yang sempat dipenjara rezim orde lama dan tidak selalu akur dengan orde baru.
Ini artinya pemerintah sudah bisa berpikir jernih, bahwa yang namanya pahlawan itu adalah orang yang berjiwa idealis, bersikap kritis. Pengabdiannya bukan untuk penguasa, bukan mengejar harta dan kedudukan, tetapi untuk rakyat sesuai agama dan ideologi yang diyakininya. Karena sikap kritisnya itu mereka tidak bisa tinggal diam. Ada saatnya mereka menegur penguasa secara keras. Namun itu tak dimaksudkan memisahkan diri dari NKRI atau menggulingkan pemerintah, tetapi lebih sebatas koreksi atas kekeliruan.
Keterbukaan dan fair flay pemerintah menilai PN patut diapresiasi. Satu saat diharapkan, tokoh BPUPKI/PPKI/Panitia Sembilan dan perumus Piagam Jakarta Abdul Kahar Muzakkar yang memberontak di Sulsel atau tokoh lainnya yang masih kontroversial perlu direhabilitasi untuk kemudian juga dijadikan PN. Tentu disertai penjelasan agar publik mengetahui jasanya sekaligus “kekeliruannya’.
Kalsel juga memiiki Ibnu Hajar cs, anak buah Hassan Basry yang memberontak melalui Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT) karena kecewa terhadap pusat pasca Konferensi Meja Bundar yang dianggap merugikan pejuang. Kita harapkan mereka itu juga bisa direhabilitasi, minimal tidak dicap secara permanen sebagai pemberontak. Stigma negatif tanpa akhir berakibat jasa besar mereka merebut dan mempertahankan kemerdekaan menjadi hilang, dan ini tidak adil.
Rehabilitasi para tokoh yang berseberangan penting untuk rekonsiliasi. Kita jangan menganggap PN itu orang yang serba sempurna, selalu loyal dan tak pernah keliru. Apalagi kehidupan bangsa ini di masa awal sangat sulit. Dan penulisan sejarah kadang juga tak lepas dari kepentingan politik penguasa. Jadi, semua pihak dituntut berpikir jernih dan objekitif, sebab tidak semua kisah dan fakta sejarah terungkap dan berisi kejujuran.
Bukan mengobral
Menurut Jimly Ash-Shiddieqy dari Dewan Gelar, jumlah total PN hingga November 2011 sebanyak 167 orang. Ada pengamat menyatakan, Indonesia terlalu mengobral gelar PN, sehingga jumlahnya melebihi negara lain semisal AS 37 orang, India 45 orang bahkan Malaysia hanya 4 orang.
Kita berharap jumlah PN semakin diperbanyak, dan tidak perlu dibandingkan dengan negara lain. Masalahnya, perjalanan sejarah dan cara kita merdeka sangat berbeda. Bangsa Indonesia dijajah begitu lama, dan kemedekaan yang kita raih adalah hasil perjuangan bersenjata yang teramat banyak menelan korban harta benda, darah dan nyawa anak bangsa.
Diplomasi yang dilakukan berjalan seiring dengan perang fisik. Sesudah merdeka pun negara kita tetap bergolak, karena Sekutu dan penjajah (NICA) ingin kembali. Belum lagi pergolakan internal akibat gejolak dan pemberontakan dalam negeri.  Walau kini banyak elit dan penguasa kita terlihat enak, tetapi para pejuang dan pendiri bangsa ini benar-benar hidup getir.
Berbeda dengan sebagian negara lain yang kemerdekaannya lebih banyak diberi penjajah, menunggu restu  atau ada campur tangan PBB. Kompleksitas sejarah dan perjuangan bangsa kita, wajar PN yang kita miliki lebih besar daripada negara lain. Jumlah yang ada sekarang pun menurut saya masih sedikit, sebab masih banyak tokoh pejuang lain yang belum diakomodasi, terutama dari daerah.

Pahlawan daerah
Salah satu daerah yang masih kurang akomodasi pusat terkait gelar PN adalah Kalsel. Hingga kini Pangeran Hidayatullah, salah seorang tokoh Perang Banjar tak kunjung dijadikan PN padahal sudah lama dan dua kali diajukan. Meski teman seperjuangan beliau Pangeran Antasari sudah lama di-PN-kan (1968), ternyata status Hidayatullah masih dibantarkan  hingga harini.
Kita tahu Perang Banjar adalah perang terlama di Nusantara (1859-1905). Tak sedikit pejuang yang terbunuh, dihukum mati, serta dibuang penjajah seperti Tumenggung Abdul Jalil, Haji Buyasin, Penghulu Abdul Rasyid, Antaluddin, Demang Lehman, Panglima Wangkang, Panglima Batur, Sultan Muhammad Seman, Ratu Zalecha, dan banyak lagi. Korban di pihak Belanda, rakyat dan pejuang sangat besar. Para pejuang yang sudah mengorbankan segalanya termasuk nyawanya itu berhak dijadikan pahlawan nasional, sebab jasanya sangat besar untuk kemerdekaan, sama dengan lainnya. Bukankah Pattimura, Sisingamangaraja XII, Tjut Nyak Dien dll, yang notabene sudah ditetapkan sebagai PN juga berjuang di daerah.
Jimly menegaskan, pusat sebenarnya tetap memperhatikan aspirasi daerah. Ia menyontohkan, walaupun Jakarta kurang mengenal seorang tokoh atau pejuang Papua misalnya, tetapi jika memang rakyat Papua menganggapnya sangat berjasa, maka pusat juga tak keberatan memberi gelar PN. Ini artinya para pejuang Banjar juga memiliki prospek yang sama.  Jadi Kalsel tetap perlu gigih memperjuangkan para tokoh pejuang dari daerah, tentu dengan menjernihkan sisi kontroversi yang menjadi kendala serta semakin melengkapi persyaratannya agar lebih meyakinkan.
Namun jika penganugerahan gelar itu begitu berat, karena ada kontroversi atau mereka bukan tokoh nasional yang terkenal, dan ada prosedur panjang yang mesti dilewati, perlu dicarikan solusi lain. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, bahkan Kesultanan Banjar pimpinan Pangeran Khairul Saleh perlu diberi wewenang untuk menjadikan mereka sebagai pahlawan daerah. Kita tidak perlu menghiba-hiba kepada pusat untuk memberi anugerah gelar PN, tapi daerah sendiri yang menganugerahkannya secara resmi.
Walau selama ini nama-nama mereka sudah banyak diabadikan, misalnya sebagai nama jalan, jembatan, gedung, rumah sakit, sekolah, pesantren, dll, tetapi pengenugerahan gelar pahlawan daerah tetap penting. Diharapkan semangat kejuangan di daerah terus bergelora seperti para pejuang itu.  Berjuang tak hanya di era penjajahan dan awal kmerdekaan, tapi sekarang pun tak kalah penting.
   


Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: November 2011

Abah Anom

Abah Anom dan Rehabilitasi Pecandu Narkoba

 

 

 

 

Oleh: Ahmad Barjie B

 

Tidak banyak media di Kalsel yang memberitakan meninggalnya Abah Anom pada 5 September 2011 lalu. Padahal hampir semua media nasional dan media online mempublikasikan hal tersebut.

Sebenarnya beliau salah seorang ulama dan tokoh nasional yang memiliki nama dan jasa besar, tak hanya dikenal luas di Jawa Barat, tetapi juga nasional dan mancanegara.

Nama lengkap Abah Anom adalah Hadratus Syekh KH Shohibul Wafa Tajul Arifin.  Beliau lahir 1 Januari 1915, putra pasangan Syekh Abdullah bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) dan Hj Juhriyah. Abah Anom meninggal setelah 55 tahun lamanya memimpin Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya Jawa barat yang didirikan oleh ayahnya.

Abah Anom sangat dekat dengan para pejabat negara, di pusat maupun daerah. Semua presiden RI, dari Soekarno hingga SBY  dekat dan pernah berkunjung ke rumahnya. Dia dikenal pula sebagai mentor spiritual para pejabat. Tokoh  yang ingin menjadi pejabat, sudah menjabat maupun menjadi mantan suka sekali mengunjunginya, karena dari nasihat Abah Anom mereka beroleh kekuatan spiritual untuk menyikapi dan menjalani hidup dan karier.

Kedekatan itu tidak menjadikan agamanya luntur, malah semakin kuat. Penguasaannya terhadap bahasa Arab, Indonesia dan Sunda, menjadikan dakwahnya mudah diterima banyak orang. Kehidupan yang sufistik melekat dalam dirinya. Karena itu Abah Anom juga dikenal sebagai ulama sepuh yang memiliki karomah dan sering dimintai tolong.

Suatu ketika KH Ma’shum, mantan petinggi NU, minta tolong agar operasi sang istri berjalan lancar dan selamat. Istri KH Ma’shum divonis dokter menderita kanker, dan perutnya yang buncit harus segera dioperasi unttuk dibuang kankernya. Oleh Abah Anom bukannya didoakan agar operasi selamat, melainkan didoakan agar “kanker” itu benar-benar menjadi jabang bayi (janin). Jelang operasi istri KH Ma’shum terperanjat, karena isi perutnya bergerak-gerak seperti janin. Semuanya terkejut, termasuk para dokter. Sampai bulannya bayi itu lahir dan kini menjadi ustadz di PP Suryalaya.

Karomah ini mirip dengan Sunan Gunung Jati, yang ketika berdakwah ke daratan Cina  pernah ingin dikecoh menebak isi perut putri tokoh di sana. Sunan menyatakan, yang hamil putri yang belum bersuami, dan kenyataannya memang demikian. Mulanya Sunan ditertawakan, tetapi akhirnya mereka yang ingin mengecohnya berubah ketakutan. Akhirnya Sunan diminta mendoakan agar isi perut itu kembali kepada sang putri yang sudah bersuami, yang sebelumnya memang sedang hamil. Putri yang belum bersuami itu, walaupun tak direstui, belakangan menjadi istri Sunan Gunung Jati.   

 

 

Ulama pejuang

 

Satu dari kelebihan Abah Anom, beliau ulama yang ikut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI.  Bersama ayahnya dan para pejuang lainnya ia aktif berjuang di Jawa Barat, baik untuk melawan Belanda, Jepang, Sekutu maupun NICA. Bahkan ketika di Jawa Barat muncul gerakan DI/TII yang ingin memisahkan diri dari NKRI, Abah Anom bersama TNI ikut melawannya.

Karena itu Abah Anom berpendirian bahwa negara ini justru didirikan oleh banyak ulama dan pejuang muslim. Sebagai konsekuensinya, ulama dan kalangan Islam tidak boleh meninggalkan negara untuk diserahkan kepada orang lain, sebab leluhur mereka telah mendirikannya dengan susah payah dan penuh pengorbanan. Jika ditinggalkan, maka sistem dan pengelolaan negara tidak akan sesuai lagi dengan semangat dan tujuan kemerdekaan yang digariskan oleh para pahlawan, pejuang dan founding fathers negara.

Konsekuensi selanjutnya, Abah Anom meminta agar segenap umat Islam memberikan dukungan kepada pemerintahan yang sah, sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah, Rasul dan ulil amr yang diperintahkan oleh agama. Tetapi dukungan tersebut tidak membabi buta, melainkan disertai kritik dan koreksi yang konstruktif. Amar ma’ruf dan nahi munkar harus dijalankan secara bersama-sama, namun tidak sampai kepada beroposisi. Karena itu kepada setiap calon pejabat dan pejabat yang datang Abah Anom selalu memberikan nasihat-nasihat bagaimana agama disertakan dalam pengelolaan negara dan urusan publik. Abah Anom yang tidak pikun di usianya yang mendekati 100 tahun (96 tahun) tidak henti-hentinya memberikan nasihat kepada siapa saja, meskipun sambil duduk di atas kursi roda.

Untuk mengisi pembangunan, Abah Anom juga proaktif mendukung program pemerintah seperti sosial, pendidikan, kesehatan, ekonomi, koperasi, pertanian, irigasi, kelistrikan dan sebagainya. Pondok pesantren Suryalaya di Tasikmalaya Jawa Barat dijadikannya percontohan mengembangkan pesantren yang tradisional dengan kajian ilmu-ilmu agama sekaligus modern dengan menyertakan berbagai pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan di alam pembangunan.

Atas jasa-jasanya dalam perjuangan dan pembangunan itu Abah Anom banyak mendapatkan penghargaan dari pemerintah maupun pihak swasta. Ribuan pelayat yang menyalatkan, mendoakan dan menghadiri pemakamannya menunjukkan figuritas Abah Anom sulit dicari padanan dan gantinya.

 

Rehabilitasi narkoba

Kelebihan lain dari Abah Anom adalah kemampuannya dalam rehabilitasi atau terapi terhadap para penderita narkoba.  Keahliannya dalam ilmu agama khususnya tauhid, fikih, tasawuf/tarekat, tafsir dan hadits menjadi bekal baginya untuk melakukan rehabilitasi melalui pendekatan agama. Untuk itu sejak era 1980-an ia sudah mendirikan Darul Inabah pada pondok yang dipimpinnya, yang dikhususkan sebagai pusat rehabilitasi pecandu narkoba. Atas jasanya ribuan santri korban narkoba yang sebelumnya nyaris tidak ada harapan lagi, akhirnya dapat disembuhkan. Santri korban narkoba yang ditanganinya tak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari kawasan Asia Tenggara dan mancanegara, karena itulah namanya juga dikenal di dunia luar.

Selama hidupnya, Abah Anom berhasil mendorong berdirinya 22 Darul Inabah se Indonesia.  Salah satu di antaranya adalah Darul Inabah Banjarmasin yang dulu dirintis oleh alm Prof Dr HM Zurkani Jahja, MA. Semuanya mengadopsi cara penyembuhan narkoba yang diajarkan oleh Abah Anom.

Kenyataannya penyalahgunaan narkoba di Indonesia dan di Kalsel terus meningkat drastis. Jelang 2015 nanti diperkirakan 5 juta penduduk Indonesia menjadi rusak akibat narkoba. Fenomena ini tentu bukan karena gagalnya rehabilitasi, melainkan karena para pecandu, pengedar dan jaringan narkoba tidak kunjung jera menjalankan aksinya.  Ketidakstabilan jiwa dan mental seseorang juga mendorong orang terjun menjadi pecandu, dan persoalan ekonomi pun acapkali menjadi pemicu orang terjun dalam bisnis haram ini. Jadi, mengatasi narkoba harus dengan memotong akar dan guritanya serta melalui pendekatan ganda.

Abah Anom telah berbuat yang terbaik selama hidupnya. Kita doakan semoga amal saleh beliau beroleh limpahan pahala yang berlipat ganda dari Allah swt, dan semoga generasi penggantinya dapat meneruskan kiprahnya membangun agama dan negara.  

 

Pengamat sosial keagamaan, tinggal di Banjarmasin

 

 

 

 

 

 

Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: November 2011