Rabu, 25 April 2012

Nagari Banyak Tokoh Nasional


Nagari Banyak Tokoh Nasional

(Radar Banjarmasin, 29 Oktober 2011)

Banyak daerah di Indonesia punya tokoh yang mampu berkiprah di kancah nasional,  sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Tetapi di antara sejumlah daerah itu, ranah Minang termasuk yang terbanyak. 
Wikipedia mencatat, periode 1920 - 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, tahun 1923 Tan Malaka (nama aslinya Sutan Ibrahim) terpilih menjadi wakil Komunis Internasional wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, pelopor Sumpah Pemuda 1928 yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda dan tokoh BPUPKI/PPKI jelang merdeka.
 Di dalam Volksraad (DPR era kolonial), politisi asal Minang paling vocal, antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim dan Abdul Muis. Mohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Dekat Jam Gadang Bukititinggi sekarang terdapat Istana Bung Hatta. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai pejabat presiden (Mr Assaat), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), dan seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh). Beberapa museum dan perkantoran di Sumatra Barat juga memajang foto para tokoh tersebut.
Di era ordebaru ada puluhan orang Minang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal Emil Salim, Azwar Anas dan Fahmi Idris. Emil Salim menjadi orang terlama duduk di kementerian RI. Minang, salah satu dari dua etnis selain Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet. Selain di pemerintahan, di masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi politisi Minang. Mereka tergabung ke dalam aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis. Di era refromasi tercatat Mendagri Gamawan Fauzi, mantan gubernur Sumbar dan bupati Solok.
Di samping menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat, orang-orang Minang juga duduk sebagai gubernur provinsi lain. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Daan Jahja (Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani (Sumatera Selatan), Eni Karim (Sumatera Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).
Beberapa partai politik didirikan politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Deliar Noer, oposan ordebaru dan pendiri Partai Umat Islam yang banyak menulis buku politik keislaman juga berdarah Minang.
Selain mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku yang menjadi bacaan wajib aktivis pergerakan. Buku-buku bacaan utama itu antara lain, Naar de Republiek Indonesia, Madilog, dan Massa Actie karya Tan Malaka, Alam Pikiran Yunani dan Demokrasi Kita karya Hatta, Fiqhud Dakwah dan Capita Selecta karya Natsir, serta Perjuangan Kita karya Sutan Sjahrir.
Di luar negeri, orang Minangkabau juga dikenal kontribusinya. Di Malaysia dan Singapura, antara lain Tuanku Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), dan Sheikh Mudzaphar Shukor (astronot pertama Malaysia). Di negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, satu-satunya orang Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota parlemen. Di Arab Saudi, hanya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, orang non-Arab yang pernah menjadi imam besar Masjidil Haram, Mekkah.

Ulet dan Idealis
Menurut Wikipedia, orang Minang terkenal sebagai kelompok terpelajar. Sebab  itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan mancanegara dalam berbagai macam profesi dan keahlian; politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Meski jumlah populasi relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minang menjadi salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Majalah Tempo edisi khusus 2000 mencatat, 6 dari 10 tokoh penting Indonesia abad ke-20 orang Minang, dan 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.
Mengapa banyak putra Minang menjadi tokoh nasional dan regional, ada banyak penyebabnya. Mereka lebih dahulu terpelajar di segi pendidikan umum dan agama, banyak yang menguasai bahasa asing (Arab, Belanda, Inggris). Ketika rombongan Kesultanan Banjar melewati dan singgah di beberapa kota di ranah Minang, seperti Padang, Padang Panjang, Maninjau, Bukittinggi, dll, suasana pendidikan cukup terasa. Anak-anak remaja berpakaian sederhana, menutup aurat, banyak yang berjalan kaki pergi dan pulang sekolah/kuliah. Tak tampak berHP ria atau tampil keren seperti anak /remaja Banjar. Kalau  berhibur mereka memilih yang tidak mengeluarkan biaya.
Adat Minang yang melarang keras menjual harta pusako tinggi (harta bawaan milik keluarga besa), tetapi untuk kepentingan sekolah tinggi harta itu boleh digadaikan. Nanti kalau sudah bekerja dan berhasil maka prioritas utama adalah menebus harta yang tergadai itu. Perantau Minang yang sukses di perantauan juga diminta mengirim sebagian rezekinya agar keluarga di kampung asal bisa sekolah tinggi.  Berbeda dengan perantau Banjar yang banyak madam (perantau permanen) yang putus hubungan dengan kampung halaman), perantau Minang masih menjalin hubungan dengan daerah asal. Orang Minang tidak pragmatis dan cepat merasa puas dengan keberhasilan yang ada lalu menikmatinya sendiri. Sebagian orang Banjar yang berhasil, cenderung sugih saurangan, enggan membantu keluarga yang miskin, baik bantuan ekonomi maupun pendidikan.
Orang Minang lebih berani meninggalkan kampung halaman. Sosiolog Dr Mochtar Naim (penulis pernah mewawancarainya tahun 1999 di Banjarmasin) menyatakan, tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatra Barat. Tahun  1971 meningkat menjadi 44 %. Berdasarkan sensus tahun 2010, etnis Minang yang tinggal di Sumatra Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir separuh orang Minang berada di perantauan.
Perantau Minang ada yang memilih menjadi pedagang/pengusaha dan ada yang menjadi aktivis, ulama, cendikiawan. Sebagai perantau etos kerja dan etos belajar mereka lebih tinggi daripada orang tempatan. Walau dengan modal materi awal pas-pasan, karena keuletan akhirnya mereka sukses. Kaum pria dewasa yang secara adat tidak mendapatkan harta warisan, kecauli sebatas harta pusaka rendah hasil kerja ayahnya, mendorong mereka mencari penghidupan di daerah lain.
Mereka loyal sekaligus kritis terhadap pemerintah. Dulu ketika RI diserang Belanda melalui agresi I dan II dan ibukota pindah ke Yogyakarta, para tokoh Minang mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Bukittinggi sebagai ibukotanya. Dan ketika Presiden Soekarno dianggap tidak konsisten dengan Pancasila dengan mengusung konsep Nasakom yang memberi angin kepada PKI, mereka juga sempat memberontak melalui PRRI/Permesta. Pemberontakan itu tidak dimaksudkan untuk memisahkan diri dari NKRI, tetapi memberi pelajaran kepada pemerintah agar konsisten. Meski begitu Partai Masyumi yang didirikan dan banyak diisi tokoh Minang tetap dibubarkan Soekarno. Keinginan mendirikan kembali Masyumi di era awal orde baru usai jatuhnya Bung Karno tetap tidak direstui. 
Tampak bahwa idealisme bagi orang Minang sama pentingnya dengan kemajuan dan kesejahteraan hidup. Karena itu idealisme masih dipelihara agar hidup lebih maju dan bermanfaat bagi banyak orang. Idealisme itu pulalah yang menyemangati para putra Minang gigih berkiprah di kancah nasional sejak era penjajahan. Kita semua termasuk orang Banjar perlu saling belajar, antarorang, antarkelompok, antarsuku dan antarbangsa. Kekurangan yang kita miliki perlu diperbaiki dan kelebihan yang dimiliki pihak lain tidak salahnya kita jadikan masukan.




Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: April 2012

Lampu Merah Dunia Malam


Lampu Merah Dunia Malam
(Banjarmasin Undercover)
Oleh: Ahmad Barjie B

Beberapa tahun lalu Moammar Emka menyusun buku best seller: “Jakarta Undercover”.  Isinya mengungkap rahasia kehidupan malam di ibukota, terutama tempat-tempat hiburan malam (THM) yang identik dengan kemaksiatan. Di hotel-hotel resmi  maupun warung remang-remang, hal-hal begituan seperti lumrah. Meskipun di Jakarta ada Front Pembela Islam (FPI) yang selalu proaktif melawan dan merazia tempat-tempat maksiat, namun penyakit masyarakat seperti tak kunjung hilang. Banyaknya kecaman terhadap FPI makin memberi angin bagi bisnis maksiat.
Sebagai kota tua, padat dan berkembang signifikan, Banjarmasin juga berpotensi undercover. Sejumlah THM sudah lama beroperasi di kota ini dan sepertinya akan terus bertambah. Lajunya pertumbuhan hotel dan perekonomian Kalsel, Kalteng dan sekitarnya satu sisi menggembirakan, sisi lain mengundang keprihatinan. Kemajuan itu cenderung dijadikan lahan subur bagi bisnis THM bernuansa maksiat.
 Kerugian yang telah dan akan diderita tak hanya ternodainya agama dan menurunnya moralitas generasi muda, tapi juga tersedotnya uang untuk kebutuhan yang sia-sia. Kadung terlambat, seharusnya ada usaha signifikan untuk mengantisipasinya.

Mesin penyedot
Sebuah majalah ibukota (2008) mengkalkulasi ongkos maksiat perjudian Rp 150 miliar per hari, miras Rp 40 miliar per hari, narkoba Rp 200 miliar per hari dan prostitusi/pelacuran Rp 50 miliar per minggu.    
Berapa angkanya untuk Banjarmasin?. Secara pasti pihak terkait perlu melakukan penelitian.  Ramainya sejumlah hotel jelang tengah malam sampai pagi, nyaris semua pedagang bensin eceran di daerah ini menggunakan botol bekas miras, banyaknya wanita muda berpakaian seksi dan mini, sesaknya tempat parkir hingga meluber ke jalan dll, menunjukkan betapa maraknya praktik ini.
Seorang pelanggan THM yang sudah insyaf menceritakan, kalau seseorang sudah fly, apa pun dapat dilakukan. Berhubungan badan sambil berdiri atau duduk mudah saja, apalagi di sebagian hotel tersedia sekat-sekat yang memudahkan praktik liar. Wanita yang sudah mabok, dilorot celana dalamnya tidak akan merasa, bahkan meminta. Ada banyak pria berduit yang sanggup membeli keperawanan puluhan jutaan rupiah. Ia sedih, banyak korbannya justru wanita-wanita muda, pelajar, mahasiswa atau gadis yang masih punya masa depan. Ia takut anak-anak gadis kita 10 tahun ke depan tak ada lagi yang kawin dalam keadaan perawan asli.
Menurutnya setiap malam terdapat puluhan ribu orang datang ke THM, mereka berasal dari dalam dan luar kota di Kalsel-Kalteng dan banyak juga dari daerah-daerah hulu sungai. Jika per orang membawa uang rata-rata Rp 1.500.000,- dapat dihitung berapa uang yang dibelanjakan, berapa kaleng minuman keras yang ditenggak, berapa butir narkoba yang dipakai, berapa wanita malam yang digauli secara bebas dan seterusnya. Kalau tiap malam ada 10.000 orang pergi ke THM, berarti uang yang tersedot oleh dunia malam mencapai Rp 15.000.000.000,- per  malam.
Angka ini bisa dicross-check dengan pajak atau retribusi yang diperoleh pemerintah daerah. Dipastikan jauh dari seimbang, mudaratnya jauh lebih besar ketimbang manfaat. Jelas izin atau toleransi yang diberikan pemerintah untuk operasionalisasi THM hakikatnya hanya menguntungkan segelintir orang, dengan mengorbankan banyak orang. Betapa maju dan sejahteranya banua kita sekiranya uang sebanyak itu digunakan untuk hal-hal yang positif, konstruktif dan produktif.

Basis keluarga
Seorang habib terkenal sangat khawatir dengan merebaknya kemaksiatan di daerah ini. Ia takut bencana massal yang pernah terjadi di Aceh (tsunami), Padang, Yogya dsb juga terjadi di daerah kita akibat sikap acuh tak acuh ulama, pemuka agama, pemerintah dan masyarakat. Alam hutan dan gunung sudah rusak, gelombang laut makin naik dan sebagainya, setiap saat bisa saja meletuskan bencana tak terduga. Alm KHM Zaini Ghani Sekumpul pernah memperingatkan, jika bendungan Riam Kanan “bungkas” maka Kalsel akan “kiamat”. Batas antara bencana dan keselamatan hanya setipis kulit bawang. Kalimantan sama sekali tidak aman dari bencana.
Sikap “asal saya dan keluarga saya tidak bermaksiat, orang lain tak usah dipikirkan”, menurutnya sangat berbahaya. Sikap begini mengundang murka dan bencana dari Allah. Kota dan daerah yang sudah ditimpa bencana, bukan berarti tak ada orang saleh,  tapi justru amar ma’ruf nahi munkar kurang intensif dan orang-orang memilih saleh sendiri. Ia menyarankan adanya aksi bersama seluruh elemen masyarakat, pemuda, mahasiswa, ulama dan warga banua untuk mencegah, membendung dan mengatasi kemaksiatan yang terlanjur terjadi. Agar tidak anarkis, pemerintah bersama aparat keamanan perlu turun tangan lebih dulu. Hotel-hotel harus dikembalikan ke fungsi aslinya sebagai tempat menginap dan acara publik yang sehat dan wajar.
Keluarga perlu lebih dibina dan ditata ulang agar tidak ada anggotanya yang lari ke dunia malam. Penelitian Ruter (1980) menyebut beberapa faktor dari keluarga yang rentan mendorong orang jatuh ke dunia malam, penyalahgunaan  obat, miras, prostitusi dan sejenisnya yaitu: labil akibat kematian anggota keluarga (broken home by death); orang tua bercerai atau berpisah (broken home divorce/separation); keluarga tidak harmonis (poor marriage); hubungan  orangtua dan anak buruk (poor parent-child relationship); suasana rumah tangga yang tegang (high tension); tidak ada kehangatan (low warmth); kedua orang tua sibuk dan jarang di rumah bersama anak-anak (absent); orangtua memiliki kelainan kepribadian (personality disorder).
Mengantisipasi dan mengurangi risiko ini, peneliti Sinnet dan John DeFrain (l987) mengkampanyekan perlunya keluarga sehat dan bahagia (happy and healthy family), dengan menekankan perbaikan dan peningkatan kehidupan beragama dalam keluarga; waktu bersama dalam keluarga yang lebih memadai; komunikasi yang lebih baik dan terjalin sesama anggota keluarga; saling harga menghargai; setiap anggota merasa terikat kuat dan erat dalam keluarga; setiap terjadi persoalan intern keluarga segera diselesaikan secara bijaksana, positif dan konstruktif, tidak berlarut hingga mencari pelarian yang menyesatkan.

Sekretaris Umum Yayasan & Badan Pengelola Masjid At-Taqwa Banjarmasin.
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: April 2012