Jumat, 19 April 2013

Sultan Banjar di Tanah Deli



Sultan Banjar di Tanah Deli

Oleh: Ahmad Barjie B

Merantau ke Deli, itulah salah satu novel Buya Hamka. Hamka berasal dari Maninjau-Padang Sumatra Barat, yang jaraknya ke Deli tidaklah terlalu jauh, tidak sampai 1000 kilometer. Novel Hamka itu menunjukkan betapa tingginya animo orang Minang dulu merantau ke Deli, termasuk perantau Jawa dan Kalimantan.
Deli masa lalu memang cukup terkenal. Wilayahnya mencakup Kota Medan dan sebagian besar kabupaten/kota di Sumatra Utara yang kini berjumlah 33 buah. Deli pernah mengalami masa kejayaan dan kemakmuran setelah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Deli, yang masih ada kaitan dengan Kesultanan Aceh, Samudra Pasai dan Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Di antara bekas peninggalan kejayaan Kesultanan Deli adalah bangunan megah Istana al-Maimun dan Mesjid Raya al-Mahsun, yang hingga kini masih menjadi ikon dan daya tarik wisata kota Medan.
Meskipun Deli pernah dikuasai Belanda, namun Kesultanan Deli beserta istananya tidak dihancurkan, dan tidak pula dibubarkan sebagaimana nasib Kesultanan Banjar. Kesultanan Deli dan Belanda lebih memilih menjalin kerjasama atas dasar saling menguntungkan.

Perantau Banjar
Salah satu kelebihan tanah Deli adalah wilayahnya yang luas dan tanahnya subur untuk pertanian dan perkebunan. Ketika dan sesudah Perang Banjar (1859-1906) dulu, banyak rakyat Banjar di Kalimantan  hidup dalam tekanan. Meski Kalimantan alamnya luas, tetapi mereka tidak bisa konsentrasi berusaha/bertani karena keadaan negeri tidak stabil.
Tekanan penjajah secara fisik dan mental menjadikan mereka tidak nyaman. Keadaan ini mendorong mereka merantau, mencari daerah pemukiman baru. Maka terjadilah migrasi urang Banjar ke luar Kalimantan, ada yang ke Tembilahan Riau, Jambi, Palembang, SemenanjungMalaka (Malaysia), termasuk juga ke Deli Sumatra Utara.
Saat ini komunitas terbanyak urang Banjar ada di Kabupaten Langkat,  Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Tetapi menurut Effendi Sadli, pengurus Paduan Masyarakat Kulawarga Kalimantan (PMKK), urang Banjar ada di 33 kabupaten/kota, dengan jumlah populasi mencapai 400 ribu jiwa lebih.
Sejak dulu, urang Banjar yang merantau ke Sumatra lebih banyak bekerja sebagai petani kebun dan sawah. Ada juga yang menjadi buruh perkebunan tembakau, tebu, karet dan kelapa sawit. Hal ini diakui oleh Gubernur Sumatra Utara Gatot Pujo Nugroho dan Bupati Serdang Bedagai Tengku Eryy Nuradi (keduanya terpilih sebagai pemenang pilkada Sumut) ketika menyambut Sultan Banjar Khairul Saleh dalam acara peresmian Rumah Adat Banjar ”Lampau Banua” di Stabat ibukota Kabupaten Langkat beberapa waktu lalu, yang mendapatkan sambutan dan liputan luas sejumlah media besar yang terbit di Medan.
Karena itu pihaknya sangat menghormati dan berterima kasih kepada perantau Banjar yang berjasa dalam mengolah alam untuk keperluan perkebunan dan pertanian, sehingga kebutuhan pangan daerah ini cukup terjamin. Dalam mengolah alam, perantau Banjar menerapkan prinsip ramah lingkungan dan bersahabat dengan alam, sehingga aktivitas pertanian mereka tidak merusak alam setempat.

Jarang Pulang
Perantau dan keturunan Banjar di Sumatra jarang bahkan ada yang tidak pernah sama sekali pulang dan menjenguk tanah leluhurnya di banua Banjar. Tidak seperti perantau Jawa yang masih pulang secara rutin bahkan sering mengajak keluarganya lagi ke Kalimantan. Perantau Banjar bersifat permanen alias madam.
Ketidakpulangan perantau Banjar disebabkan:  pertama, dengan statusnya sebagai pemadam permanen, mereka seolah putus dalam hal hubungan keluarga. Dari wawancara dengan sejumlah orang dan dari bahasa yang digunakan, diketahui leluhur mereka ada yang berasal dari Martapura, Rantau Kandangan, Barabai, Amuntai, Kelua-Tabalong dan sebagainya. Tetapi mereka kesulitan menunjukkan siapa keluarganya, sehingga kalau pulang ragu menuju ke mana.   
Kedua, mereka kebanyakan berprofesi sebagai petani, sebagaimana ditekankan oleh Gubernur. Dengan profesi itu mereka sangat terikat dengan usaha pertanian (kebun dan sawahnya) dan sulit meninggalkannya. Mungkin juga hasil pertaniannya hanya cukup untuk makan dan hidup sederhana di rantau orang, sehingga tidak memungkinkan untuk bulik ke Banjar yang cukup menyita waktu dan biaya.
Ketiga, kebanyakan urang Banjar tidak berprofesi sebagai pedagang dan pegawai yang menuntut moblitas tinggi.  Hal ini diakui juga oleh Bupati Langkat Haji Ngogesa Sitepu. Mengingat jasa urang Banjar membangun daerah, ia ingin membalas dengan mengangkat urang Banjar sebagai pejabat di lingkungan pemerintah kabupaten. Tetapi ia kesulitan, sebab tidak banyak PNS etnis Banjar yang golongan pangkatnya tinggi.
Keempat, perantau Banjar sudah menjadikan kediamannya sekarang sebagai kampung halaman sendiri. Hal ini pulalah yang ditekankan oleh Sultan Banjar Khairul Saleh ketika menyambangi warga Banjar di perantauan. Urang Banjar merasa cocok, karena merasa senasib sepenanggungan, ditopang peribahasa: di mana duduk taampar di situ kakulaan tabina. Mereka juga mampu menyesuaikan diri dengan penduduk asli, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Mereka tak mau menyulut konflik dan ingin berkuasa, sesuai peribahasa rumput kada maalahakan banua.  
Kemampuan beradaptasi dan rasa cocok dengan kediaman sekarang, sambil tetap memelihata adat tradisi budaya Banjar, tidaklah menghapus kerinduan mereka terhadap tanah leluhur banua Banjar. Karena itu urang Banjar di sana sangat bahagia ketika Sultan Banjar yang mereka juluki Tuanku Baginda Sultan Khairul Saleh al-Mu’tashim Billah berkenan mememuhi undangan mereka untuk meresmikan Rumah Adat Banjar sekaligus bersilaturahim dengan bubuhan Banjar. Sultan juga diminta datang lagi meresmikan pembangunan Gedung Sekretariat PMKK yang sudah diletakkan batu pertamanya.

Membangun  Relasi
Agar antara perantau Banjar dengan banua Banjar tetap terjalin hubungan yang intens dan mesra, mereka mengharapkan para pejabat, tokoh, pengusaha dan ulama Banjar berkenan datang ke sana, atau mereka diminta datang ke Banjar dengan saling memfasilitasi kunjungan tersebut.
Menurut Drs H Abdul Ghani Fauzi MM, Kabid Budaya Disbudpora Banjar yang mendampingi kunjungan Sultan Banjar, hubungan yang lancar antara Banjar dengan perantau Banjar luar daerah akan mendatangkan nilai positif, tak hanya di segi sosial budaya tetapi juga ekonomi. Beberapa seni budaya Banjar di sana ketika menyambut tamu dan perayaan maulid nabi seperti aruh/kenduri maulid antarkampung, persembahan shalawat, baasalai (baayun anak), ketan berhias, baturai pantun, makan dengan lauk-pauk bertalam dan kekuatan mempertahankan pakaian dan bahasa Banjar patut diapresiasi. Agen sasirangan perlu dibuka di sana supaya etnis Banjar atau siapa saja yang berminat dapat membeli produk kain khas Banjar tersebut. Begitu juga bika Ambon atau kuliner lainnya sebagai cirikhas Medan perlu dikembangkan produksinya di Banjar, sebab di daerah ini pun banyak orang Medan-Sumatra Utara berdomisili.  Semakin luas wilayah silaturahim akan semakin menambah relasi dan rezeki.
Memang selama ini urang Banjar kesulitan mengunjungi keluarga di banua, karena komunikasi antarkeluarga yang sudah relatif terputus. Jadi relasi yang ingin dibangun adalah relasi kolektif atau rombongan, dan ini hanya mampu dilakukan oleh pejabat, pengusaha dan organisasi/paguyuban. Apa yang sudah dilakukan oleh Sultan Banjar selama ini perlu terus diperluas dan ditingkatkan intensitas dan kualitasnya. Keterbatasan waktu, jarak, uang dan ruang, tidak boleh menjadikan kita terpisah antarsesama.
(Radar Banjarmasin, 20 April 2013).
  
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: April 2013

Budaya Dayak dalam NKRI



Budaya Dayak dalam NKRI

Oleh: Ahmad Barjie B
(Pemerhati Budaya Banjar dan Dayak)
Pada minggu terakhir bulan April ini diadakan Pekan Budaya Dayak 2013. Aruh ganal budaya Dayak kali ini dipusatkan di Istora Bung Karno Jakarta. Ambil bagian tidak hanya Provinsi Kalimantan Tengah, juga Kalimantan Selatan, Timur dan Barat, sebab di empat provinsi ini populasi Dayak sangat besar dan dominan.
Keempat gubernur, yaitu Agustinus Teras Narang (Kalteng), Rudy Ariffin (Kalsel), Awang Farouk Ishak (Kaltim) dan Cornelis (KaIbar) sudah pula tampil dalam Talk Show di sebuah stasiun televisi nasional belum lama tadi.
Menurut Teras Narang, Pekan Budaya Dayak ini tidak dilaksaanakan di Kalimantan melainkankan di Jakarta, karena Dayak merupakan bagian integral dari NKRI. Dayak ingin agar masyarakat lintas etnis, budaya dan agama dalam skup nasional bahkan regional dapat mengenal budaya Dayak lebih dekat.
Dengan begitu beragam nilai, keadaan, perkembangan dan progress yang dicapai masyarakat Dayak diketahui lebih luas. Kesalahpahaman dan stereotip tertentu yang mungkin selama ini masih dilekatkan kepada masyarakat Dayak dapat dihilangkan.

Kaya Kearifan
Budaya mencakup unsur yang sangat luas, baik fisik maupun nonfisik. Tulisan ini hanya menyentuh sebagian kecil saja.
Sebagai orang Banjar yang berasal dari Kelua-Tabalong dan berbatasan dekat dengan Kalimantan Tengah, sejak kecil saya sudah bersentuhan dengan budaya Dayak. Bahkan ayah saya seorang pedagang kecil, lebih lancar berbahasa Dayak (Ma’anyan) ketimbang bahasa Banjar dan Indonesia.
Ada beberapa unsur budaya Dayak yang setahu saya sangat menarik. Umumnya  masyarakat Dayak sangat gandrung kepada pendidikan sebagai sarana untuk menggali ilmu pengetahuan. Rata-rata anak Dayak rajin bersekolah hingga setinggi mungkin.
Dulu, meskipun  dengan sepeda butut, mereka gigih bersekolah dengan jarak tempuh berkilo-kilometer. Seiring dengan kesejahteraan yang meningkat tentu keadaannya sudah berubah. Tetapi produk kesungguhan anak-anak Dayak menuntut ilmu sungguh luar biasa. Kini.banyak posisi penting khususnya di tiga provinsi di luar Kalsel banyak diduduki oleh para putra Dayak. Di Universitas Palangka Raya (Uniraya) dan perguruan tinggi lainnya di Kalteng dan Kalbar banyak diisi oleh para doktor, profesor dan magister yang notabene putra Dayak asli.
Keadaan ini agak berbeda dengan etnis Banjar. Ada kecenderungan orang Banjar lebih senang bertani dan berdagang ketimbang sekolah. Menuntut ilmu tinggi bagi orang Banjar masa lalu dianggap sia-sia, membuang duit saja, lebih baik dijadikan modal berdagang.
Akibatnya, orang Banjar memang banyak menjadi pedagang, dengan taraf ekonomi yang lumayan. Tetapi mereka cenderung berjalan di tempat, kurang mampu menguasai sektor-sektor strategis bahkan di banua Banjar sendiri. Kualitas SDM orang Banjar dengan indikator utama pendidikan dan penguasaan iptek, relatif rendah dibanding provinsi lain.    
Masyarakat Dayak masih kuat memegang adat istiadat warisan leluhur, baik yang bersumber dari ajaran agama yang diyakini maupun nilai-nilai adiluhung produk masa lalu. Banyak persoalan dapat diselesaikan secara adat, dan mereka sportif dalam menerima putusan adat.
Sebagai contoh, ketersinggungan masyarakat Dayak terhadap pernyataan sosiolog Dr Thamrin Amal Tamagola terkait kasus asusila Ariel Peterpan, dapat diselesaikan secara adat. Masalah itu dianggap selesai, setelah Thamrin bersedia memenuhi sanksi adat berupa kewajiban membayar denda 500 kg gerantung (gong) dan menanggung biaya Rp 77.777.000,- untuk pelaksanaan sidang adat Dayak Maniring Tuntang Manetes Hinting Bunu.
Penyelesaian masalah secara adat begini lebih baik, ketimbang misalnya diselesaikan secara hukum formal yang belum tentu memuaskan para pihak, apalagi kalau sampai menimbulkan konflik dan anarkisme.
Sportivitas masyarakat Dayak dalam berhukum secara adat, pernah pula terjadi dalam konteks Kesultanan Banjar tempo dulu. Diceritakan, karena kesalahpahaman Sultan Suriansyah pernah membunuh Uria Rin’nyan, adik Uria Mapas, seorang pemimpin suku Dayak di Dayu (kini wilayah Barito Timur).  Sebagai sanksinya, Sultan terkena sanksi adat bali, yaitu harus menyerahkan anaknya sendiri sebagai ganti orang yang dibunuh. Maka Sultan Suriansyah pun menyerahkan anaknya Mayang Sari, hasil perkawinannya dengan Norhayati, putri Labai Lamiah yang juga tokoh Dayak muslim.
Mayang Sari bukannya disakiti dan disia-siakan, justru dijadikan adik angkat Uria Mapas dan diangkat sebagai pemimpin etnis Dayak setempat. Jadilah Mayang Sari sebagai pemimpin wanita yang adil dan bijaksana. Makam Mayang Sari di Jaar Sangarasi dibangun cukup bagus oleh Pemkab Barito Timur sebagai penghormatan sekaligus perlambang persaudaraan yang mesra antara Banjar dengan Dayak.
Penyelesaian secara adat begini juga hidup di kalangan suku Banjar. Menurut Sultan Banjar H Khairul Saleh, UU Sultan Adam mewasiatkan agar persoalan pidana, perdata, sosial, ekonomi, pertanahan dan sebagainya kalau bisa diselesaikan dengan baparbaik, bapatut, baishlah/berdamai, karena kadang hasilnya lebih memuaskan. Budaya begini patut dilestarikan, sebab hukum nasional pun pada dasarnya bertolak dari hukum adat, hukum agama dan hukum warisan Belanda.

Masyarakat Terbuka
Masyarakat Dayak sangat bersahabat dengan alam, karena kehidupan mereka juga banyak berusmber dari alam. Kemaksiatan dianggap mencederai alam, dan kerusakan alam merupakan bencana. Di tengah derasnya arus eksploitasi terhadap alam saat ini, komitmen Dayak terhadap lingkungan hidup perlu kita teladani.
Dayak juga dikenal terbuka terhadap pendatang dari luar. Sepanjang bersikap adaptabel, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, tidak ingin berkuasa secara politis, sosial dan ekonomi, masyarakat mana saja diterima dengan senang hati. Betapa gigihnya masyarakat Dayak berjuang bahu membahu dengan pejuang Banjar dalam perang Banjar Barito menunjukkan betapa mereka ingin hidup merdeka dan bermartabat.
Sangat banyak nilai budaya lokal Dayak yang potensial dijadikan kekayaan budaya nasional. Budaya Dayak inklusif dan ikut menopang budaya Nusantara. Selamat menyukseskan Pekan Budaya Dayak 2013.
(Banjarmasin Post, 20 April 2013).
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: April 2013