Dihujani SARA Obama Tetap Menang
Oleh: Ahmad Barjie B
Selama ini umat Islam Indonesia sering dituding suka menggunakan isu SARA dalam pemilu legislatif, presiden dan kepala daerah. Ternyata di Pilpres Amerika baru lalu, isu ini juga hadir.
Amerika sebagai kampiun demokrasi pun tak luput dari isu ini. Dalam konteks Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2012 pekan lalu, calon incumbent Barrack Obama Obama lagi-lagi disudutkan dengan isu SARA.
Menjelang pemilihan tadi, beberapa situs internet gencar memberitakan bahwa sejumlah gereja di AS menyebut Obama beragama Islam. Penyebutan ini dimaksudkan agar publik AS tidak memilih Obama menjadi presiden AS untuk periode kedua. Diduga isu tsb sengaja dilempar oleh kubu dan pendukung Pitt Romney dari Partai Republik.
Ternyata isu itu tak menghalangi Obama untuk kembali berkantor di Gedung Putih memimpin rakyat Amerika yang sangat beragam itu.
Sebenarnya, issu SARA dalam pilpres AS bukan hal baru. Dulu, bahkan hingga hari ini, calon presiden AS seolah harus beragama Kristen (Protestan). Penganut agama di luar Protestan amat sulit masuk bursa calon presiden.
Memang mayoritas warga AS beragama Kristen. Akar sejarahnya, di abad pertengahan Inggris dikuasai oleh penguasa Katolik. Salah seorang penguasa, yaitu Maria Tudor yang masih keluarga dekat Ratu Elizabeth I, sangat kejam terhadap penganut Protestan.
Akibatnya banyak penganut Protestan yang lari, mengasingkan diri, mencari benua baru, salah satunya lari ke Amerika. Tak hanya Inggris, beberapa negara Eropa lain juga terjadi perang agama antara Katolik vs Protestan selama puluhan tahun.
Warga AS sekarang umumnya keturunan mereka yang lari karena alasan agama bernuansa politik tersebut. Di Amerika, Kristen berkembang pesat, sedangkan Katolik lebih berkembang di negara-negara Amerika Latin eks jajahan Portugis dan Spanyol.
Karena itu hingga AS punya 44 presiden sekarang, baru satu presiden AS yang beragama Katolik yaitu John Fitzgerald Kennedy. Mengapa Kennedy bisa terpilih, boleh jadi karena ia tampan, briliyan, menonjol dan membawa harapan.
Sayang, tak sampai habis masa jabatannya Kennedy yang akrab dengan mendiang Presiden Soekarno itu tewas terbunuh, padahal usianya masih muda. Beberapa anggota keluarga Kennedy belakangan juga mati misterius. Apakah terbunuhnya Kennedy karena masalah SARA, tak diketahui persis.
Alasan Lemah
Bagi Obama, isu SARA untuk mengalahkannya bukan kali ini saja. Sejak mencalonkan diri sebagai presiden AS empat tahun lalu, sudah mengalaminya. Kala itu yang dipersoalkan lebih pada ras Obama yang Afro-Amerika berkulit hitam.
Isu ini tak mempan, karena mayoritas masyarakat AS ingin perubahan, dan penduduk AS sendiri sangat heterogen. Tak mempan, kini “agama” Obama yang dijadikan peluru, dan kembali dia tetap tak tergantikan.
Keberagamaan Obama memang mengandung kontroversi. Kalau melihat ayah Obama, yaitu Husein Obama asal Kenya, serta datuk neneknya yang semua muslim, bahkan paman dan neneknya juru dakwah, seharusnya ia muslim, sebab agama seseorang mestinya ikut ayah dan kakek.
Begitu juga kalau melihat ayah tirinya Lolo Soetoro yang muslim, logikanya ia muslim. Bahkan Obama kecil (Barry) ketika sekolah SD di Jakarta juga mencantumkan dirinya beragama Islam.
Tetapi karena sejak kecil kedua ayah (kandung dan tirinya) bercerai, dan kemudian diasuh, dipelihara dan dididik oleh ibu kandungnya Ann Dunham dan neneknya Madely Dunham di Hawaii, jelas Obama mengikuti agama pengasuhnya.
Sekiranya Obama kecil ikut ayah kandung atau ayah tirinya yang sama-sama muslim, tentu ia akan muslim. Tetapi pasti ia tak akan menjadi presiden AS. Justru atas jasa ibu dan neneknya yang sangat mementingkan pendidikan, Obama bisa jadi orang nomor satu.
Tegasnya, agama Obama tetap saja Kristen. Geneologi Obama, masa kecilnya di Indonesia, sebagian kebijakan dalam dan luar negerinya yang kadang bersimpati terhadap muslim, serta kemampuannya mengucapkan kata-kata seperti assalamu’alaikum, sama sekali tidak cukup untuk menyebut Obama muslim.
Semua itu lebih merupakan pragmatisme dan standar ganda pemimpin dan orang Amerika yang sejak dulu sudah menjadi trade-mark mereka. Untuk keuntungan politik dan ekonomi, mereka tak keberatan bersikap simpatik. Atas pertimbangan ini pula, Amerika tak punya musuh dan teman abadi.
Iran yang kini dimusuhi, di masa Shah Reza Pahlevi justru teman setia AS. Osama bin Laden yang sangat dimusuhi sebelumnya justru ditemani AS untuk melawan Uni Soviet. Hanya Israel yang dijadikan sekutu abadi.
Kebijakan Obama terhadap Israel, Afghanistan dan terorisme global tak jauh berbeda dengan presiden AS lain. Kepada Israel Obama sudah menegaskan, negeri Zionis itu sekutu historis dan terbesar AS di Timur Tengah. Jadi tak ada alasan bagi Dunia Islam berharap banyak kepada Obama atau presiden AS mana pun.
Disikapi Dewasa
Mengingat AS sebagai negeri teladan demokrasi tak lepas dari isu SARA, maka isu ini sepertinya tidak terhindarkan di dunia mana pun, baik karena alasan primordialisme, psiko-sosial, emosional maupun normatif agama itu sendiri. Adanya isu SARA tidak dapat pula dijadikan indikator primitivisme politik, karena hal sama juga terjadi di negara modern.
Karena itu, meski isu SARA oleh UU Pemilu dilarang diangkat dalam kampanye, tapi jika muncul juga hendaknya dianggap dan disikapi sebagai hal biasa. Tak perlu dibawa ke ranah hukum karena akan debatable dan menambah tegang.
Lebih baik isu ini disambut dengan kedewasaan. Yang penting para calon terus menunjukkan tekad kuat, keyakinan diri dan komitmen untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat. Siapa saja calon pemimpin, biar mengangkat isu SARA kalau kepemimpinannya tidak menyejahterakan rakyat, apalagi koruptif, tetap saja tak terpuji. (*)
Pemerhati Masalah Keislaman tinggal di Banjarmasin