Rabu, 08 Desember 2010

Antisipasi Penyalahgunaan Ponsel


Antisipasi Penyalahgunaan Ponsel

  

Oleh: Ahmad Barjie B



    Hampir setiap produk barang bermuatan iptek berfungsi ganda; positif, negatif. Tergantung manusia penggunanya, the man behind the gun. Senapan berguna untuk melumpuhkan penjahat atau menembak musuh, tetapi salah guna bila menembak orang tidak bersalah. Komputer sangat berguna untuk pengetikan, dokumentasi, transliterasi, tabulasi, akuntansi, kalkulasi, percetakan dan penerbitan. Tetapi kurang berguna bila hanya untuk bermain game anak-anak atau mencari ramalan bintang dan nasib berdasarkan kode shio dan zoodiac.  Komputer yang dilengkapi fasilitas internet, sangat berguna bila untuk e-mail, mengakses berbagai informasi pengetahuan, teknologi dan materi keislaman dari website dalam negeri dan mancanegara, tetapi kurang berguna kalau sekadar untuk chatting yang sia-sia, dan lebih merusak lagi bila digunakan membuka situs-situs porno.
     Sama halnya dengan telpon seluler (ponsel) atau telpon genggam dalam berbagai produk, merek dan kelengkapannya. Ia sangat berguna untuk menyampaikan atau menerima informasi kapan dan di mana pun, mengetahui penanggalan, waktu, panggilan shalat, Alquran seluler, tanya jawab lewat SMS, pesan singkat, sebagai kalkulator, dll. Termasuk ponsel kamera berguna merekam momen-momen penting yang patut diabadikan, tanpa harus repot menggunakan kamera manual atau digital. Tetapi ponsel juga merugikan bila digunakan secara negatif dan keperluan destruktif.

Demam ponsel

     Bila diamati penggunaan ponsel selama ini, sebagian besar belum diarahkan untuk hal-hal positif dan produktif. Idealnya ponsel hanya dimiliki dan digunakan oleh orang-orang yang punya jam terbang tinggi, volume kerja padat, seperti pebisnis, pengusaha, dokter, penceramah, sering bepergian, usaha-usaha jasa yang bersifat mobil dan sejenisnya yang tidak bisa hanya mengandalkan telpon rumah/kantor. Tetapi kenyataannya, hampir semua kalangan memaksakan diri punya ponsel, dari yang benar-benar butuh hingga yang hanya sekadar latah.
    Akibatnya terjadi banyak penyalahgunaan ponsel. Penyalahgunaan di sini menurut saya terbagi dua, yaitu penggunaan untuk hal-hal negatif atau sia-sia dan penggunaan di tempat yang salah. Pertama, bentuk-bentuk penyalahgunaan di antaranya, ponsel untuk berkomunikasi yang sifat-sifatnya hura-hura, tidak bermanfaat dan hanya menghabiskan pulsa tanpa terasa. Beberapa ABG senang saling calling saat mereka berada di tengah keramaian, dengan suara nyaring yang mengganggu, padahal yang diobrolkan tidak ada isinya. Perjanjian dan perekayasaan melakukan kejahatan yang bersifat kriminal dan moral, obrolan esek-esek, juga sangat mudah dengan ponsel. Merekam dan memotret adegan porno lewat ponsel kamera, sebagaimana sering dihebohkan di banyak daerah, tentu sangat amoral. Merekam suara guru saat mengajar untuk dijadikan bahan ejekan, atau menyontek jawaban ujian lewat ponsel juga termasuk perbuatan negatif dan uneducated.
     Kedua, penggunaan di tempat yang salah di antaranya mengirim dan menerima informasi dan pesan saat beribadah, ceramah atau pembacaan Alquran di masjid atau mushala. Tidak jarang orang yang tahu ilmu agama dan etika juga terlanggar yang satu ini. Jamaah biasanya cukup terganggu, sehingga ada panitia masjid menulis pengumuman: “matikan HP saat di masjid atau saat shalat”. Bahkan ada imam shalat jamaah, menjelang takbir berpesan: “shaf ratakan, rapikan, luruskan, dan HP dimatikan”.
     Mengaktifkan ponsel saat seminar, menerima tamu penting dan sejenisnya juga tidak terpuji. Pada seminar bergengsi, biasanya panitia membuat kesepakatan dengan peserta agar selama seminar ponsel dinonaktifkan. Belum lama tadi, serombongan anggota DPR-RI yang berkunjung ke Parlemen Mesir konon merasa terganggu dan tersinggung, karena saat menerima mereka, Ketua Parlemen Mesir beberapa kali menyahut pesan lewat ponsel. Boleh jadi karena kunjungan itu bersifat diam-diam dan setengah resmi, akibatnya parlemen Mesir tidak siap.
     Ponsel juga sering digunakan saat mengendarai kendaraan bermotor, roda dua atau empat. Celakanya ada yang tidak sekadar menerima pesan, tapi mengirim pesan sambil menyetir, seperti banyak dilakukan para ABG. Keadaan ini tentu dapat mengundang bahaya kecelakaan lalu lintas. Beberapa kota besar AS memberlakukan larangan keras disertai sanksi penggunaan HP di jalan-jalan tertentu, sebab tidak sedikit laka lantas terjadi karena pengemudi lengah saat asyik menerima atau mengirim pesan.
    Tidak dapat diabaikan pula hasil temuan sebuah lembaga riset di AS bahwa ponsel yang selalu diletakkan di saku celana dapat menurunkan kualitas sperma pria, entah bagi wanita. Bila ini benar, pemilik ponsel perlu berhati-hati agar tidak berisiko. Penempatan ponsel dalam tas kerja atau kantong kecil di ikat pinggang muka atau belakang, seperti sering dicontohkan para artis, barangkali lebih baik. Walau terkesan agak pamer dan mengundang penjahat, tapi kalau aman bagi kesehatan, tentu tidak mengapa.


Langkah pengendalian

    Meminimalisasi beragam penyalahgunaan ponsel perlu dilakukan langkah-langkah terpadu. Orang tua sudah waktunya lebih melek teknologi, bukan malah gagap teknologi. Seringkali orang tua hanya mampu membelikan, tetapi tidak pandai dalam menggunakan ponsel secara detil. Keadaan ini dapat berakibat orang tua tidak dapat mengontrol, mudah dipintari (atau dibodohi) anak untuk disalahgunakan. Bila orang tua ahli mengutak-atik ponsel, mereka dapat mengontrol secara teratur penggunaan dan penyalahgunaan ponsel anaknya. Memanjakan anak dengan ponsel mahal juga tidak bijaksana, karena sesungguhnya banyak kebutuhan  lain yang lebih penting dan mendidik.
     Sekolah perlu memberlakukan larangan membawa ponsel. Larangan ini sudah diberlakukan di beberapa SLTP, pesantren dan alangkah baiknya juga diberlakukan di tingkat SLTA. Pemberlakukan dibaregi razia teratur dan konsisten. Kalau sekolah terpaksa membolehkan, karena banyak siswa diantar-jemput keluarganya, minimal ponsel itu dikumpulkan di kantor sekolah/kelas sewaktu pelajaran berlangsung, sejak masuk hingga pulang. Ini efektif, terutama untuk lebih mengonsentarsikan siswa terhadap pelajaran dan menghindarkan siswa membawa ponsel mahal karena takut tertukar dan tidak berani memuat pesan atau program yang menyalahi tata tertib sekolah karena akan segera diketahui guru pengawas.
     Sangat wajar bila selama jam belajar pikiran siswa tidak direcoki permainan dan perbuatan iseng yang ditawarkan ponsel. Melorotnya prestasi belajar siswa akhir-akhir ini boleh jadi karena ponsel salah satu variabelnya, sebab kita tahu begitu banyak waktu siswa tersita hanya mengutak-atik ponsel, belum lagi nonton tv dan santai sia-sia. Sungguh bijaksana jika para siswa dan ABG menyadari pentingnya hidup hemat dan efektif menggunakan uang, lebih-lebih ketika belum bekerja menghasilkan uang sendiri. Alangkah baiknya jika uang dibelikan buku, majalah, koran untuk mencerdaskan, atau ditabung untuk masa depan. Gaya dan gengsi sebenarnya tidak ada nilai plusnya dan sudah waktunya ditinggalkan. Negeri ini membutuhkan generasi dengan SDM tinggi, bukan generasi gengsi.
    Polisi perlu menyelidiki hingga tuntas perbuatan merekam adegan porno baik untuk konsumsi sendiri maupun disebarkan. Pelaku, perekam dan penyebar patut dikenai sanksi sepadan. Zina kok dijadikan kebanggaan, hubungan intim dalam pernikahan saja dirahasiakan. Jika tidak mampu mengendalikan nafsu, mustinya sembunyi-sembunyi karena malu dan takut pada Tuhan, malaikat dan manusia.
    Polantas perlu memberlakukan kawasan bebas ponsel, di mana pengguna jalan dilarang menerima atau mengirim pesan sambil mengemudi, kecuali harus menepi di tempat aman. Pelanggaran dapat dikenakan sanksi, sama seperti pelanggaran aturan lantas lainnya. Ini penting untuk mengantisipasi risiko lakalantas, yang tidak hanya membahayakan penelpon tetapi juga orang lain.
     Kita tidak dapat menyalahkan produk ponsel, pabriknya, penjualnya, distributornya, agennya, apalagi ilmuwan yang menciptakannya. Ponsel tidak dapat disamakan dengan narkoba atau miras yang haram digunakan, sehingga ada 10 pihak yang terkena hukuman, yaitu produsen, distributor, peminum/pemakai, pembawa, pengirim, penuang, penjual, pemakan hasil, pembayar dan pemesannya. Sebagai benda, ponsel tetap netral dan bebas nilai. Ke mana mau digunakan semua tergantung penggunanya. Yang dapat dilakukan hanya mengarahkan kegunaannya agar positif, konstruktif dan produktif, bukan  sebaliknya. Itu saja.

Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2010

Kamis, 02 Desember 2010

Dagang dan Dakwah


Dagang dan Dakwah

Oleh Ahmad Barjie B.

Tersebarnya Islam di berbagai pelosok Nusantara, selain karena jasa para wali dan ulama, besar pula jasanya para pedagang. Baik pedagang dari Arab dan Gujarat (India) maupun pedagang domestik sama-sama menyertakan tugas berdakwah dalam aktivitas perdagangannya.
Di dalam INIS Newsletter (Vol IX l993: l0) diterangkan : In the l5th century, when the Malacca kingdom became a centre of trading activities in Nusantara, it became
a hub of merchants. The Straits of Malacca were visited by these traders as they plied back and forth between India and China. The Arab traders were Moslems, who came with to intentions in mind ; to become a successful trader and a successful preacher. They were not  interested in political power and they were unarmed. (Pada abad ke-l5, ketika kerajaan Malaka menjadi sebuah pusat kegiatan perdagangan di Nusantara, ia menjadi tempat berkumpulnya para  saudagar. Selat Malaka banyak dikunjungi oleh para pedagang yang pulang pergi menjalankan dagangannya antara India dan Cina. Para pedagang Arab yang beragama Islam, mereka datang dengan dua tujuan, yaitu menjadi pedagang yang sukses dan  juru dakwah yang sukses pula.  Mereka tidak tertarik menggunakan kekuatan politik dan tidak pula kekuatan senjata).
Pernyataan di atas menunjukkan, para pedagang muslim tempo dulu mengemban dua misi dalam kegiatan bisnisnya, yaitu berdagang sekaligus berdakwah.  Tidak mengherankan atas jasa mereka banyak kawasan Nusantara, khususnya daerah pesisir yang begitu cepat menerima Islam.Usaha ini diteruskan pula oleh pedagang lokal, mereka ini menjelajahi berbagai pelosok pedalaman untuk berdagang sambil berdakwah. Ini terlihat misalnya  dari penyebaran Islam di Kalsel dan Kalteng. Pedagang muslim mendekati penduduk asli suku  Banjar, Dayak atau suku lain, lalu ada sebagian yang tertarik masuk Islam, termasuk lewat perkawinan. Lalu muncul perkampungan dengan komunitas muslim yang lama kelamaan terus bertambah. Namun mengingat dakwah Islam mesti disiarkan dengan bijaksana dan damai, maka keyakinan dan kepercayaan lain tetap dihormati. Komunitsas muslim dan nonmuslim tetap hidup rukun dan harmonis hingga sekarang.

Dakwah Langsung

Bila melihat kiprah para pedagang di atas yang mampu berdagang sambil berdakwah, diperkirakan mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki ilmu agama di samping naluri berdagang. Perkiraan ini ada benarnya, karena saat itu sudah lama berdiri sejumlah kerajaan di dunia Islam.seperti Turki Usmani di Timur Tengah dan sebagian Eropa, Kesultanan Delhi dan Kerajaan Mughul (Mugal) di India bahkan di Cina dengan berkuasanya dinasti Ming dimana banyak petinggi kerajaan yang beragama Islam. Di Nusantara juga demikian, banyak kerajaan Islam bermunculan seperti Demak, Mataram, Makassar, Ternate dan Tidore, Aceh, Banjar dan  sebagainya. Adanya kerajaan-kerajaan Islam tersebut diperkirakan berpengaruh terhadap keberagamaan rakyatnya, sehingga maereka merasa berkewajiban pula untuk terus mendakwahkannya.
Di sisi lain bangsa Arab jauh sebelum Nabi Muhammad lahir juga sudah terkenal sebagai bangsa pedagang, tidak saja dalam skala lokal tapi sudah internasional, yang melampaui batas negara dan bergaul antar bangsa. Di musim panas para saudagar Arab berdagang ke negeri Syam di Utara dan di musim dingin berdagang ke negeri Yaman di Selatan.
Sesudah datangnya Islam, aktivitas perdagangan tidak dimatikan, melainkan terus dipacu. Ini terbukti dengan banyaknya ayat alquran dan hadits yang memuji pekerjaan berdagang. Di dalam surat Albaqarah : 275 dan Al-Nisa : 29, berdagang (berjual beli) dihalalkan, asalkan barang dan jasa yang diperjualbelikan halal, bermanfaat, dilakukan transparan, tidak mengandung dusta dan penipuan, dan berlaku saling rela antara penjual dengan pembeli.  Nabi SAW juga mengatakan : Afdlalul kasbi ‘amalur rajuli biyadihi wa kullu bay’in  mabruurun (Pekerjaan paling utama adalah hasil karya tangan sendiri dan jual beli yang mabrur. HR Ahmad).  Jual beli yang mabrur di sini maksudnya yang memenuhi syarat dan rukun, tidak mengandung  tipuan dan sumpah, dll, sehingga kehalalannya tidak diragukan dan penuh berkah.
Berbeda dengan petualang Eropa yang datang kemudian, mulanya ingin berdagang, tapi kemudian memonopoli, mengeksploitasi bahkan menjajah anak negeri. Pedagang muslim lebih dalam rangka menjalin persaudaraan dan hubungan saling menguntungkan, simbiosis mutualis, sambil mendakwahkan Islam.
Mereka terpanggil mendakwahkan Islam karena dorongan agama yang sangat jelas dan sederhana : ballighuu anni walau ayah… (sampaikan olehmu dari ajaranku (Nabi) walaupun hanya sepatah kata). Yang dilarang dalam Islam adalah berdusta dengan sengaja atas nama Nabi (HR. Bukhari). Karena itu untuk menjadi dai dalam Islam tidak perlu harus menunggu menjadi ulama. Mengetahui satu dua potong ayat/hadits saja sudah bisa disampaikan kepada orang lain.  K.H Zainuddin MZ mengatakan, menjadi dai tidak harus sebagai muballigh profesional, tapi dapat dilakukan melalui profesi masing-masing dengan menyelipkan ajaran Islam, seperti sebagai petani, pedagang, dokter, dan seterusnya.  Orang yang mendengar pesan dakwah dalam suatu majelis berkewajiban menyampaikannya kepada orang lain yang belum mendengar, demikian seterusnya sehingga ada rantai dakwah yang berlanjut. Tidak dibenarkan  seorang juru dakwah melarang pesan dakwahnya disampaikan kepada orang lain, baik intinya maupun lewat rekaman. Pendapat dan pertimbangan pribadi tidak boleh mengalahkan nash yang sudahshahih  (kuat) dan sharih (jelas).

Dakwah Tak Langsung

Saat ini meski para pedagang masih mungkin untuk sambil berdakwah ketika menjalankan aktivitasnya, namun peran paling startegis adalah melalui dakwah tak langsung.  Caranya, pertama dengan mempraktikkan etika berdagang yang islami, seperti tidak mau menjual sesuatu yang mendatangkan dosa, misalnya  pakaian yang minim dan ketat yang  disenangi sebagian wanita. Ajaran Islam sudah sangat jelas dan rinci mengatur masalah ini, karena hampir di semua kitab fiqih ada pembahasannya dalam kitabul buyu’. Bila etika itu ditaati seorang pedagang hakikatnya sudah berdakwah. Sebaliknya bila tidak ditaati, itu berlawanan dengan semangat dakwah.
Dewasa ini etika itu sudah banyak diabaikan. Tidak sedikit pedagang muslim terlibat dalam jual beli gharar (tipuan), main-main, memaksa, mengandung riba dan sebagainya. Ini tentu kontraproduktif dilihat dari kacamata dakwah, apalagi jika nonmuslim sebagai konsumennya. Memasuki era persaingan bebas di mana dunia bisnis semakin menuntut etika profesi dan kejujuran, pengabaian etika itu akan menghambat laju perkembangan ekonomi umat, khususnya mereka yang berprofesi sebagai pedagang.
Kedua, peran tidak langsung dapat dilakukan melalui partisipasi aktif pedagang dalam mendanai kegiatan dan gerakan dakwah.  Pedagang sibuk di segi waktu, namun umumnya punya kelebihan di segi kekayaan. Semua itu mestilah dialokasikan sebagian untuk kepentingan dakwah Islam dalam arti seluas-luasnya, dengan menjadi motivator, donator dan fasilitator dakwah.
Keberhasilan sebuah kesebelasan, tidak mesti semua pemain aktif menyerang, melainkan ada sebagai kapten, penyerang, bertahan dan penjaga gawang. Sama seperti dalam perjuangan merebut kemerdekaan dahulu, tidak semua anak bangsa turut memanggul senjata, tapi ada yang berjuang melalui dukungan lainnya. Dalam sebuah obrolan dengan Bupati Tapin H. Knach Noor Ajie, SH, beliau sempat bernostalgia dengan masa kecilnya di masa revolusi fisik. Paman beliau H.M. Hammy AM yang dijuluki Banteng Borneo merupakan pejuang lapangan bersama  Bapak Gerilya Kalimantan H Hassan Basri cs.  Ayah beliau M. Aini Rasul yang sibuk berdagang tidak ikut berjuang di lapangan, namun sebagai pedagang obat ayah beliau aktif menjadi donator dan mensuplai obat-obatan untuk pejuang di hutan. Sementara ibu beliau Hj. Acil yang juga berdagang di Pasar Rantau ikut mendukung dengan sering mengantar bahan makanan dan logistik untuk para pejuang di tempat-tempat persembunyian. Dengan sinergi demikian, maka perjuangan kala itu cukup berhasil, meski tidak semua harus memanggul senjata, sebab logistik, dana, obat-obatan dan sebagainya sama pentingnya dalam perjuangan.
Salah satu kelemahan  dakwah Islam adalah di segi dana dan logistik, sedangkan kelebihan gerakan agama lain lebih pada dua komponen ini. Lemahnya dana dan logistik dakwah tidak terlepas dari masih rendahnya kontribusi dari pedagang dan pengusaha muslim.  Ada muslim kaya yang doyan pergi haji berulang kali, namun amat pelit ketika menyumbang untuk keperluan dakwah. Ada pula muslim kaya yang tidak mau mengambil bunga depositonya karena takut termakan riba. Padahal tidak mengapa bunga itu diambil tapi dialokasikan untuk kepentingan dakwah.
Memang kita lihat sudah banyak  pedagang dan pengusaha muslim yang aktif mendanai gerakan dakwah, tidak segan merogoh saku ratusan ribu bahkan jutaan rupiah sekali menyumbang. Tapi tidak bisa dipungkiri masih banyak yang pelit, yang kalau menyumbang amat sedikit, tidak seimbang dengan total asset kekayaannya.
Apabila para pedagang dan pengusaha muslim sekarang ingin menuruti jejak pendahulunya, yakni menjadi a successful trader and a successful preacher dalam arti luas, maka kontribusi dana mesti lebih dimaksimalkan lagi.  Rendahnya gaji guru agama honorer, guru TK/TP Alquran, kurangnya dai di pedalaman dan lokasi transmigrasi/ekstrans, banyak masjid, langgar, sekolah, mandrasah dan pondok pesantren yang terabaikan. Banyak fakir miskin yang terkendala sekolah karena tak punya biaya, banyak orang miskin tidak bias berobat, dan sebagainya. Bantuan para dermawan dan hartawan terhadap semua itu bernilai dakwah. Di akhirat kelak banyak orang yang menyesal karena harta yang disedekahkannya masih sedikit dibandingkan dengan harta yang tertinggal. Seandainya mereka tahu besarnya nilai sedekah, nyaris habis kekayaannya akan ia sumbangkan, kecuali disisakan sekedarnya untuk ahli warisnya.









Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2010

Rabu, 01 Desember 2010

Logika Light On Siang Hari


Logika Light On Siang Hari

Oleh: Ahmad Barjie B

Akhir-akhir ini jika kita berkendaraan di jalan raya, hampir pasti pengendara roda dua menyalakan lampunya di siang hari. Di sejumlah perempatan jalan, polisi lalu lintas selalu berjaga-jaga sambil mengingatkan agar pengendara menyalakan lampu motornya. Aturan ini mulai ditekankan kepolisian beberapa bulan lalu, dan semakin intensif dalam bulan-bulan terakhir. Menurut Kapolsek Banjarmasin Timur AKP Deddy Siregar dan Kabag Bina Mitra Poltabes Banjarmasin AKP Kafwandi, dalam acara dialog bersama masyarakat Kelurahan Pekapuran Raya Banjarmasin Timur, akhir 2009 ini masih tahap sosialisasi lampu menyala siang (light on) hari. Petugas hanya menegur dan mengingatkan, tetapi memasuki 2010 nanti aturan ini akan diberlakukan secara resmi dan bagi yang mengabaikan akan terkena sanksi.
Jika kita amati tingkat ketaatan masyarakat terhadap aturan light on, tampaknya masih fifty-fifty, bahkan kurang. Ada yang menyalakan ketika disuruh polisi saja, atau ketika dekat lampu merah saja, sesudah itu dipadamkan kembali. Ada yang menyalakan pagi hari saja, jelang siang dimatikan. Ada yang menyalakan saat kabut atau mendung, begitu hari cerah dipadamkan lagi. Ada yang menyalakan hanya di jalan raya, sedangkan di jalan kecil pelosok kota, gang-gang, kompleks, dipadamkan. Atau ada yang menyalakan hanya ketika keluar kota atau justru sebaliknya. Dengan alasan kurang bermanfaat, mata silau atau khawatir energi listrik kendaraannya berkurang, kelihatannya masyarakat masih enggan menaati aturan light on ini.
Melihat kenyataan ini menarik dipertanyakan, mengapa pemerintah, khususnya lembaga kepolisian menerapkan aturan ini yang sudah memiliki payung hukum dalam UU Lalulintas terbaru. Mengapa pula masyarakat masih setengah hati dan tidak konsisten menaatinya, dan bagaimana agar tertib berlalu lintas terwujud. Semua ini perlu kita kaji bersama.
Minimize lakalantas
Menurut Deddy Siregar, sepintas aturan light on bertentangan dengan hukum alam. Siang hari sudah ada matahari, jadi logikanya tidak perlu lagi lampu dinyalakan. Kalau malam hari dan gelap, tentu lampu menyala suatu keniscayaan. Tetapi menurut Kapolsek Banjarmasin Timur ini, aturan lampu menyala siang hari sudah melalui kajian yang seksama dan lama. Lembaga kepolisian melihat bahwa fakta yang ada menunjukkan, angka kecelakaan di jalanan selama ini tergolong besar, baik berakibat korban meninggal, luka maupun cacat. Bahkan jalan raya merupakan pembunuh yang kejam ketimbang perang, sebab korbannya jauh lebih besar. Kalau peperangan, sifatnya sporadis dan insidental, tapi kecelakaan di jalan raya sifatnya rutin dan hampir terjadi setiap hati. Jika kita amati seputar lampu merah, biasanya ada pesan layanan masyarakat berisi data korban kecelakaan lalu lintas dalam setahun, setengah tahun, sebulan dan seterus. Belum lagi jika kita langsung catat datanya pada instansi terkait seperti kepolisian, rumah sakit, asuransi jasa raharja, dsb.
Dengan menyalakan lampu di siang hari, pengendara sendiri dan pengendara lain akan lebih waspada. Sepanjang jalan mereka akan selalu cermat dalam mengemudikan kendaraannya. Dengan kehati-hatian tinggi, akhirnya kecelakaan akan berkurang. Pada beberapa daerah yang lebih dahulu menerapkan light on, angka kecelakaannya juga berkurang. Dari sinilah kemudian kepolisian berketetapan untuk menerapkan aturan tsb secara permanen.
Jika alasan penerapan light on untuk mengurangi (meminimize) kecelakaan lalu lintas, tentu perlu kita dukung. Masyarakat perlu menaati tanpa reserve, dan tidak usah mencari alasan untuk mengabaikannya. Kalau tujuannya baik, mengapa tidak. Bukankan tertib berlalu lintas merupakan kebutuhan semua pihak. Bukankah nyawa dan kesehatan amat mahal. Sekali kita luka, cacat, patah tulang, apalagi meninggal, tentu tidak bisa disesali lagi.
Kesadaran semua pihak
Hanya saja kita ingin menyarankan, agar dalam mewujudkan ketertiban dan keselamatan berlalu lintas, ada banyak hal lagi yang penting diperhatikan. Dan ini terkait dengan berbagai pihak, tak hanya kepolisian, tapi juga pemerintah dan masyarakat pengguna jalan.
Khususnya di Banjarmasin dan luar kota, kita perlu sarankan agar ada aturan tertulis yang dipasang mengenai kecepatan maksimal. Selama ini aturan tsb kelihatannya belum terpasang secara jelas. Ini penting karena begitu banyak pengendara (mobil dan motor) yang mengemudikan kendaraannya secara full, seperti dikejar hantu, atau ada urusan yang mahapenting, padahal semua orang juga penting. Semakin terasa menyeberang jalan atau menikung semakin sulit dan perlu waktu lama. Hak pejalan kaki dan penyeberang jalan semakin diabaikan, padahal jalan raya adalah milik semua.
Perlu pula aturan tegas tertulis tentang larangan main HP di jalanan. Luar negeri sudah menerapkan aturan ini. Kita perlu terapkan aturan ini sebab hampir semua orang punya HP.  Sedikit saja lengah akan berbahaya, tak hanya bagi dirinya tapi justru juga orang lain. Larangan kebut-kebutan dan bergandengan juga perlu disertai sanksi. Beberapa titik perlu selalu ada kepolisian yang bertugas secara on time, terutama di jam-jam sibuk/padat. Jalanan yang sering macet tentu sangat terbantu jika ada polisi di sana
Kepada pemerintah kota, kabupaten, kita sarankan agar ikut memperlancar arus lalu lintas. Sayangnya di Banjarmasin, ada kebijakan yang kurang kondusif. Misalnya pembangunan pintu gerbang raksasa di Km 6, yang terkesan hanya sebagai proyek mercusuar, sudah berbulan-bulan menghambat lancarnya arus lalu lintas, belum lagi risiko biasa dan kalau ada material jatuh.
Median jalan di dalam kota ternyata juga diperbesar, ditinggikan, dan kelihatannya mau ditanami bunga. Ini patut disesalkan, karena akan mempersempit jalan raya. Padahal jalanan kita relatif sempit, dan mengingat jumlah kendaraan yang tinggi, tidak lama lagi jalan itu akan terasa sempit.  Termasuk juga di Banjarbaru dan Martapura, terjadi pelebaran dan peninggian median. Ini berisiko. Bagaimana kalau terjadi kecelakaan di tepi median, jendela mobil tidak bisa dibuka cepat. Median jalan yang ditanami bunga/tanaman dan tiang/reklame, semua itu menghambat pandangan pengguna jalan. Kalau ingin bikin taman, tanam pohon, sebaiknya di pinggir jalan atau tempat lain yang tepat. Kita memang butuh taman kota dan ruang hijau, tapi tempatnya bukan di median jalan yang sudah sempit. Jalanan perlu diperluas, bukannya dipersempit dengan median. Heran mengapa proyek ini tidak disosialisasikan dan diuji kelayakannya bersama masyarakat dan para ahli.
Tak kurang pula pentingnya peran masyarakat mewujudkan tertib dan aman di jalanan. Bagi yang punya usaha di pinggir jalan, hendaknya punya lahan parkir. Jangan parkir konsumen memakan jalan umum. Sudah waktunya pengemudi kendaraan saling menghargai, di situ ada pengemudi mobil, motor, sepda beca, gerobak dan pejalan kaki. Bahkan binatang pun perlu dihargai. Berapa banyak sudah kucing, anjing, ayam, itik, bahkan manusia yang jadi korban kebuasan di jalan raya.
Bagi para wanita, ibu-ibu, gadis dan ABG, juga perlu kita ingatkan agar lebih sopan berpakaian di jalanan umum. Tak mustahil pakaian mini, minim, ketat, paha dan bokong terbuka, juga memantik perhatian pengguna jalan lain, sehingga mereka tidak konsentrasi lagi berkendaraan. Kalau sudah begitu kecelaaan bisa saja terjadi. Di Aceh selalu ada razia wanita berpakaian ketat di jalanan dengan alasan melanggar Qanun Syariah. Di daerah kita hal ini mungkin perlu pula diwacanakan. Alasannya bolehlah bukan karena agama, tetapi lebih kepada tertib berlalu lintas dan membangun kesopanan.
Bukankah kita sering mengaku sebagai masyarakat yang religius. Mana religiusitas kita kalau aurat dan body seksi diumbar dan dipamerkan di ruang publik. Bukankah orang yang baik itu adalah orang menyelamatkan orang lain dari gangguan lidahnya, tangannya, sikap dan kelakuannya serta cara berpakaiannya. (Ketua RW 10 Pekapuran Raya dan Sekretaris Yayasan & Badan Pengelola Masjid At-Taqwa Banjarmasin).
  
 
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2010

Kebanggaan Berbahasa

Kebanggaan Berbahasa

Oleh: Ahmad Barjie B

Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang mudah dipelajari. Pasalnya, dalam bahasa Indonesia ada kesamaan antara tulisan dengan bacaan, menggunakan huruf Latin, banyak huruf hidupnya, tidak ada perubahan kata akibat perubahan masa (lalu, kini dan akan datang), serta tidak ada perubahan akibat berbedanya pelaku (perorangan dan jamak). Masih banyak lagi kemudahan bahasa ini. Karena itu turis asing atau siapa saja yang pernah beberapa hari tinggal di Indonesia, mereka akan cepat memahami bahasa Indonesia.
Tetapi kefasihan berbahasa sangat tergantung pada penjiwaan, pelatihan dan pembiasaan. Tanpa itu kefasihan dan kelancaran berbahasa akan hilang. Mahasiswa yang ketika kuliah hampir bisa menguasai bahasa Inggris misalnya, jika sehabis kuliah tidak mempelajarinya lagi dan tidak pula menggunakannya dalam bahasa praktis, tentu kemampuannya akan hilang. Sebaliknya anak SMA yang rajin belajar bahasa asing secara teori dan praktik, akhirnya mahir berbahasa asing. Urang Kalua, Amuntai atau Kandangan, jika masih tinggal bersama komunitasnya atau sering pulang kampung, tentu bahasa daerahnya akan terpelihara, begitu juga sebaliknya.
Presiden AS Barack Obama yang baru-baru ini menunda kembali kunjungannya ke Indonesia dan berencana akan berkunjung musim panas Juni 2010 mendatang, pernah tinggal di Indonesia selama tiga-empat tahun (1967-1970). Dalam sejumlah buku tentang Obama, misalnya ”Dari Jakarta ke Gedung Putih”, dan ”Anak Menteng Jadi Presiden AS”, diceritakan Obama hanya butuh waktu setengah tahun untuk fasih berbahasa Indonesia sebagaimana anak-anak Indonesia lainnya. Hal itu karena kecerdasan sekaligus keaktifannya bergaul dengan anak-anak Menteng di zamannya. Di samping ayah tirinya Lolo Sutoro orang Indonesia dan ibunya Ann Dunham yang lama bekerja di Jakarta juga fasih berbahasa Indonesia.
Tetapi mengapa sekarang Obama tidak begitu lancar lagi berbahasa Indonesia? Lewat Putra Nababan, wartawan RCTI yang mewawancarai Obama di Gedung Putih, Obama mengatakan ia menyukai bahasa, budaya, makanan dan gaya hidup orang Indonesia. Tetapi bahasa Indonersianya hanya bisa sedikit. Hal itu disebabkan, katanya tidak banyak imigran Indonesia yang bermukim di Amerika, sehingga Obama kesulitan untuk menemukan dan berinteraksi dengan mereka.
Meskipun demikian, Obama masih dapat mengingat beberapa istilah dalam bahasa Indonesia. Di antaranya, ia masih bisa mengucapkan: assalamu’alaikum, apa kabar, baik-baik saja, masih bisa sedikit, makan bakso, sate, nasi goreng, cerita wayang, tokoh hanoman, selamat jalan, dan terimakasih.
Dengan hanya beberapa istilah yang keluar dari mulut Obama, tak urung hal itu kelihatannya sangat membanggakan bagi orang Indonesia. Orangtua dan anak-anak sama-sama kagum karena ternyata Obama masih punya ”inguh” Indonesia. Meski hanya sedikit dan tentu tidak cukup untuk mengatakan Obama dekat dengan Indonesia.
Mengapa ada kebanggaan demikian?. Menurut saja karena: Pertama, bahasa Indonesia belum menjadi bahasa internasional, sehingga kalau ada orang asing yang bisa berbahasa Indonesia, kita akan bangga. Berbeda dengan bahasa Inggris, karena sudah go international sejak lama, maka banyak bangsa di luar Inggris dan Eropa yang mampu membahasakannya. Meski begitu sebagian pemakai bahasa Inggris tetap gembira jika ada orang luar yang mampu menggunakannya, sebab minimal hal itu memudahkan komunikasi. Ketika Olga Syahputra bercanda dengan Menlu AS Hillary Clinton yang berkunjung ke Indonesia dengan menggunakan bahasa Inggris yang tersendah-sendat, Hillary justru memuji. Katanya english ability Olga lebih bagus ketimbang kemampuan Hillary berbahasa Indonesia.
Kedua, Obama adalah orang besar, presiden AS, sehingga ada kebanggaan karena ia pernah tinggal di Indonesia dan masih punya memori tentang Indonesia. Sekiranya orang biasa, mungkin kebanggaan kita tidak seberapa. Paling-paling kita merasa mudah berkomunikasi dengan mereka. Bahkan bagi orang yang ingin berlatih bicara bahasa Inggris, tentu akan kecewa jika bule yang didekatinya ternyata bisa berbahasa Indonesia.
Mengutamakan bahasa sendiri
Sepanjang bahasa Indonesia belum menjadi bahasa internasional, sulit bagi kita untuk melihat bahasa ini digunakan dalam pergaulan dan komunikasi antarbangsa. Apalagi belajar dari kasus Obama, tergambar begitu mudahnya bahasa Indonesia terlupakan setelah seseorang kembali ke negara asalnya. Barangkali hanya sedikit orang, seperti peneliti dan Indonesianis William Liddle asal AS atau Sydney Jones asal Australia yang tetap setia menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini karena mereka memang berkepentingan untuk tetap memelihara kemampuannya berbahasa Indonesia.
Jika memungkinkan, alangkah baiknya jika Obama berkunjung ke Indonesia nanti, dia dipaksa menggunakan bahasa Indonesia. Teks pidatonya bisa dibuatkan oleh pihak kedutaan atau pihak Indonesia sendiri. Bukankah para petinggi kita jika berkunjung ke negara lain juga dituntut menggunakan bahasa tuan rumah (Inggris).
Apabila kita ingin bahasa Indonesia eksis, berkembang dan maju, tidak ada jalan lain kecuali bangsa kita sendiri yang harus bangga dan konsisten menggunakannya. Jangan mengharap orang lain menggunakan bahasa kita, sebab masing-masing bangsa, ras dan etnis memiliki fanatisme terhadap bahasa nasionalnya sendiri.
Jika kita amati sekarang bahasa Indonesia sudah mengalami krisis dalam penggunaannya. Semakin banyak anak bangsa, terutama di kalangan generasi muda, yang sepertinya kurang percaya diri untuk berbahasa Indonesia. Nuansa bahasa asing sering sekali dicampuradukkan dengan bahasa Indonesia, sehingga terjadi kekacauan berbahasa. Bahasa yang digunakan di televisi, radio dan iklan semakin menampakkan terjadinya gejala degradasi bahasa Indonesia. Pelajaran bahasa Indonesia dalam rangka menjadikan warganegara ini mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar, sepertinya tidak begitu diperhatikan.
Dalam kehidupan beragama, terutama bagi umat Islam memang disuruh untuk belajar bahasa Arab agar mudah dalam memahami agama dari sumber aslinya. Dan di tengah arena kehidupan global sekarang, kita juga dituntut untuk belajar bahasa asing seperti Inggris, Jepang, Mandarin, dll. Tetapi tuntutan itu tidak berarti kita harus meninggalkan bahasa kita sendiri yaitu bahasa Indonesia. Karena itu dari sekarang mari kita membangun kebanggaan dan kesetiaan untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia.
Juga bahasa daerah
Di tengah kemerosotan penggunaan bahasa Indonesia, ternyata bahasa daerah juga mengalami krisis. Terutama bagi masyarakat Banjar, ada kesan seolah kurang percaya diri jika menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi antarsesama komunitas. Ada kekhawatiran akan dianggap kampungan dan udik jika menggunakan bahasa daerah yang khas. Berbeda dengan suku Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Minang, Batak dan Dayak yang masih konsisten memelihara bahasa daerah (bahasa ibu) mereka. Pada beberapa instansi kabupaten/kota/kecamatan di Jawa, bahasa daerah justru diwajibkan sebagai bahasa komunikasi resmi di hari-hari tertentu. Dalam khutbah pun kadang menggunakan bahasa Jawa, bahkan ada buku khutbah yang sengaja disusun dengan bahasa Jawa.
Kita merasa berterima kasih karena masih ada media di Kalsel yang mengangkat cerita-cerita berbahasa daerah. TVRI Kalsel melalui habar banua (bajajanak banua) hari Ahad, serta Banjar TV melalui Habar Si Utuh dan Si Diyang, juga menggunakan bahasa daerah. Tentu saja kita harapkan bahasa daerah dimaksud benar-benar khas daerah, bukan sekadar mengubah huruf e menjadi a atau o menjadi u. Pakar bahasa Banjar yang masih hidup semisal budayawan Drs H Syamsiar Seman, perlu dimanfaatkan keahliannya untuk menghidupkan bahasa Banjar yang benar-benar asli Banjar. Bahasa Banjar kaya dengan dialek dan subdialeknya, tentu akan sangat menarik jika ada media elektronik yang menyajikan keragaman tersebut, sehingga dapat diketahui bahasa Banjar Hulu, Kuala dsb (Tabalong, Kelua,. Amuntai, Alabio, Barabai, Negara, Kandangan, Martapura, Banjarmasin, Pelaihari, Marabahan). Kita yakin, semakin banyak nuansa kedaerahan, media-media cetak dan elektronik akan semakin dekat dengan pembaca dan pemirsanya. Dan hal ini sejalan pula dengan substansi UU Penyiaran yang menghendaki agar media lokal semakin bernuansa kedaerahan.
Ke depan kita harapkan bahasa daerah akan kembali hidup. Untuk itu tentu semua orang dituntut saling menghargai. Tidak menjadikan bahasa daerah sebagai lelucon untuk mengejek penggunanya. Jika ini yang terjadi dapat mengakibatkan ketersinggungan, sebab orang akan tersulut emosinya jika bahasanya diledek oleh orang dari komunitas lain. Sekali lagi, kita harus bangga dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah kita. (Penulis, urang Kalua-Tabalong tinggal di Banjarmasin).




Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2010

Kriminalisasi Poligami dan Nikah Siri

Kriminalisasi Poligami dan Nikah Siri

Oleh: Ahmad Barjie B

Dalam sebuah acara debat televisi, diangkat tema tentang poligami dan nikah siri. Ini menyikapi rencana pemerintah (Departemen Agama RI) menyusun RUU yang akan mengancam pidana bagi pelaku poligami dan nikah siri. Di antara tokoh yang berdebat adalah Dr Musdah Mulia versus Munarman, SH.
Seperti halnya debat-debat terdahulu dengan tema lain, debat kali ini pun terasa keras dan saling menyudutkan. Musdah bersama kubunya berpendirian, mengingat perkawinan merupakan ikatan yang sangat kuat maka harus dicatat, sebab tanpa itu hak-hak istri dan anak akan mudah terabaikan.
Sedangkan Munarman, yang beberapa waktu lalu bersama FPI pernah terlibat perseteruan dengan AKK-BB berpandangan, jika pemerintah ingin melindungi istri dan anak, seharusnya di dalam RUU justru ditambah dengan dictum bahwa istri dan anak hasil poligami dan perkawinan yang tidak tercatat sama haknya dengan hak-hak istri dan anak dari perkawinan tercatat. Pihaknya tidak menolak pencatatan perkawinan, tetapi pemerintah tetap harus toleran terhadap perkawinan monogami maupun poligami, yang karena alasan-alasan tertentu tidak tercatat.
Di tengah dua kubu yang berbeda, kalangan NU bersikap lebih moderat. Para ulama NU berpandangan, poligami dan nikah siri tidak perlu diancam dengan sanksi pidana, karena hal itu terlalu berlebihan. Cukup dengan sanksi administratif seperti yang selama ini berlaku.
Realitas sosial
Pernikahan, poligami, nikah siri dan sejenisnya lebih merupakan urusan private, keluarga dan sosial. Agama sudah mengatur secara tegas dan jelas, tapi mudah dan sederhana. Negara sebaiknya tidak terlalu jauh campur tangan, karena muaranya mempersulit sesuatu yang mudah, memperumit yang sederhana. Substansi RUU tidak akan menyelesaikan masalah.
Kecenderungan poligami sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Di era jahiliyah, keinginan poligami direkayasa dengan tukar menukar istri, peminjaman istri untuk digauli pria yang tinggi statusnya, kerjasama sejumlah pria untuk menghamili para wanita, yang jika hamil diserahkan kepada wanita itu memilih calon suaminya, serta pelacuran seperti banyak terjadi sekarang.
Di era raja-raja Jawa juga tumbuh pergundikan dan istri selir, di mana raja punya piluhan selir, sehingga lahir sejumlah anak haram (lembu petenge) dengan status sosial yang sangat diskriminatif dibanding istri resmi dan anak sah. Di era sekarang, gaya ini dilakoni lewat kumpul kebo, seks bebas, perselingkuhan dan pelacuran yang semakin dianggap lumrah dan punya legalitas. Pelakunya sudah diberi nama terhormat sebagai pramunikmat atau pekerja seks komersial, bukan lagi WTS, lonte, sundal alias lahung dalam bahasa Banjar. Perilaku begini layak disebut dekadensi moral yang sebenarnya.
Memang ada problema yang dirasakan pelaku poligami, sebagaimana dalam perkawinan monogami pun tak sunyi dari masalah. Tetapi poligami lebih mulia dan tidak bisa disamakan dengan pelacuran, bahkan dapat meminimize pelacuran. Seorang tokoh mengatakan di negara yang melegalisasi atau mempermudah poligami, pelacuran sangat minim. Kalau poligami dipersempit, apalagi sampai diancam pidana, kita khawtair praktik pelacuran akan tambah subur. Ini justru merendahkan dan menghancurkan masa depan wanita dan anak-anak. Pelacur primadona sekalipun tetap merana di hari tuanya. Bursa seks komersial persaingannya sangat ketat karena semakin banyaknya pelacur ABG. Tidak jarang para WTS harus dihadapkan pada dunia yang keras untuk memenangkan persaingan.
Bukan merendahkan
Konsep poligami dalam Islam bukan untuk menghina dan merendahkan wanita, bukan pula sebagai pemuas nafsu belaka. Tapi justru untuk memberdayakan, melindungi, menghormati derajatnya dan mempersiapkan masa depannya. Kalau dalam praktiknya ada pelaku poligami yang menyimpang, itulah yang harus diluruskan, bukan menyerang konsep poligami yang bersumber dari agama.
Dalam Islam, keadilan memang persyaratan utama poligami (QS an-Nisa: 3), dan Nabi mengancam suami yang tidak adil kepada istri-istrinya di akhirat kelak akan berjalan miring. Menurut Sayyid Sabiq, suami yang tidak mampu berlaku adil, haram berpoligami. Namun konsep adil dalam Islam sederhana, cukup adil dalam hal nafkah makan/minum, pakaian dan tempat tinggal, serta waktu giliran secara proporsional. Bukan adil dalam cinta kasih dan hal-hal yang di luar kemampuan suami, yang tentu ada nuansa perbedaan satu sama lainnya. Jika keadilan ini yang dipegang pada dasarya banyak suami sudah berlaku adil. Kini banyak pria kaya, tapi karena sulit beristri lagi akhirnya mereka jajan, dan istrinya merestui. Asal jangan kawin silakan, dosa tanggung sendiri. Prinsip ini tentu tidak normal, bahkan tidak bertanggung jawab, boros secara ekonomi, belum lagi risiko penyakit dan dosa berkepanjangan.
Peryaratan poligami sebagaiman diatur oleh UUP sudah baik, namun sulit sekali dilaksanakan, sehingga banyak terjadi pelanggaran. Barangkali pakar hukum dapat meninjaunya kembali, supaya di satu sisi poligami tidak ditutup rapat, tetapi di lain pihak pelaku poligami dapat berbuat adil. Bagaimana pun poligami tidak dapat dianggap illegal, karena manfaatnya juga banyak, di samping sisi negatifnya yang harus diminimalisasi sekecil mungkin.
Agar suami bisa berbuat adil tidak terlepas andil istri. Istri tua jangan menguasai harta dan waktu suaminya, sehingga sulit sekali bagi suami adil pada istri mudanya atau sebaliknya. Salah seorang istri atau orang ketiga tidak boleh memprovokasi agar seorang suami menceraikan salah seorang istrinya. Nabi Saw memperingatkan, bukan termasuk golongan umat beliau orang yang minta suami menceraikan salah seorang istrinya (HR. Abi Daud). Beliau juga melarang istri mendominasi harta suaminya, sehingga salah seorang istri hampir tidak kebagian, karena pada dasarnya masing-masing sudah ada rezekinya (HR. Abi Daud).
Bila konsep keadilan yang diajarkan agama dapat diterapkan, tentu perkawinan poligami akan mendatangkan manfaat. Sebaliknya, bila dilanggar tentu mendatangkan mudarat.
Perkawinan sehat
Manusia dewasa normal perlu menyalurkan libido seksualnya secara proporsional. Menurut Syekh Sayyid Sabiq, kawin (nikah) merupakan jalan paling halal, sehat dan bertanggung jawab sebagai penyaluran libido. Berbagai hasil penelitian modern mengungkapkan, perkawinan berkorelasi positif dengan kesehatan fisik, mental, kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual, individual dan sosial, serta menjauhkan orang dari stres, depresi dan penyakit lain. Umur manusia yang kawin rata-rata lebih panjang daripada pria dan wanita yang membujang sepanjang hidup, begitu pula fisiknya lebih awet muda.
Orang Indonesia belum memanfaatkan potensi otaknya secara mamsimal. Menurut Dr Taufik Pasaik, MAg, MKes dari Universitas Samratulangi Menado, otak wanita masih dipenuhi rasa cemburu dan otak prianya dipenuhi oleh nafsu dan fantasi seks. Saat ini marak pornografi dan pornoaksi; aurat wanita: paha, dada, pusar, dan dan wanita berpakaian seksi terlihat di mana-mana. Dalam suasana demikian, orang semakin didominasi fantasi seks, sehingga waktunya terbuang percuma untuk berkhayal. Akibatnya orang Indonesia kurang produktif.
Sekiranya fantasinya disalurkan lewat nikah, termasuk poligami, sangat mungkin manusia akan lebih cerdas dan produktif. Seorang teman poligam, ternyata sukses dengan gelar kesarjanaan puncak, istri-istrinya rukun, semangat kerjanya tinggi dan ekonominya juga bagus. Baginya tidak ada lagi waktu untuk berkhayal. Istirahat dan tidur lebih nyenyak, bangunnya sudah fresh. Dalam keluarga ini poligami tidak masalah, yang mempermasalahkan justru orang lain.
Libido seksual sama-sama dimiliki pria dan wanita, hanya ekspresinya yang berbeda. Libido yang dimiliki pria ada yang rendah, sedang dan kuat. Bagi yang sedang, poligami diperlukan karena ada kalanya istrinya sakit, malas, capek, enggan, tidak mood, ditambah tamu bulanan (haid), nifas dan atau sering bepergian keluar daerah tanpa disertai istri. Terlebih bagi pria yang libidonya kuat, jelas tidak cukup dilayani seorang istri. Bagi mereka ini menikahi lebih dari seorang istri sesuai kemampuannya merupakan salah satu alternatif. Dengan berpoligami, suami terselamatkan dari berbuat dosa. Wanita dan anak akan punya status hukum agama yang jelas.
Mengingat penting dan manfaat perkawinan di atas, nikah siri atau bawah tangan, karena berbagai alasan, tetap perlu diberi peluang. Misalnya mahasiswa yang sudah lama berpacaran, sedangkan untuk menikah resmi belum memungkinkan, maka nikah siri dapat dijadikan alternatif menyelamatkan mereka dari perzinaan. Apa gunanya menunda-nunda pernikahan, sementara praktik pernikahan (hubungan suami istri) sudah mereka lakukan. Poligami dan nikah siri jelas salah jika suami tidak mampu atau hanya ingin mempermainkan winita. Tapi kalau bertanggung jawab mengapa harus dihalang-halangi. Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2010

Merapi, Manusia dan Ternak


Merapi, Manusia dan Ternak
Oleh: Ahmad Barjie B

Mbah Maridjan semasa hidup sering mengatakan, jika Merapi batuk-batuk dan muntah (erupsi/meletus), berarti Merapi sedang hidup, bekerja dan membangun. Itu sebabnya ia tidak pernah takut dan menjauhi Merapi, sampai kematian menjemput. Sikap Mbah Maridjan memang agak sulit dipahami sebab bagi kebanyakan orang letusan gunung api sangat menakutkan, merugikan dan membahayakan. Dulu banyak orang mengira, bahaya gunung api adalah lava pijar (lahar panas) yang suhunya sangat tinggi. Sekarang kita tahu, ternyata jangankan lahar, awan panasnya (wedus gembel) sudah sangat mematikan. Lahar dinginnya pun membahayakan.
Manusia dan hewan banyak yang tewas, rumah dan pepohonan hancur dan terbakar. Penerbangan banyak terhambat, hujan debu di mana-mana, bahkan hingga ke Jawa Barat. Kalau pada letusan 2006 hanya 2 orang yang tewas karena bersembunyi dalam bungker, kini korban tewas menembus angka psikologis lebih seratus orang. Pada letusan besar 26 Oktober lalu 454 ekor sapi mati, belum yang belakangan. Tak mustahl ternak yang mati ribuan.
Bagi kita yang tinggal di Banjarmasin, Kalsel atau di mana saja, di tengah mahalnya harga daging sapi, apalagi sekarang menjelang Hari Raya Qurban, matinya sapi sebanyak itu sangat disayangkan. Berqurban seekor sapi saja sebuah RT jadi ramai dan banyak warga miskin terhibur karena hanya setahun sekali makan daging. Keprihatinan kita tak kalah dengan tewasnya manusia. Ternak itu sama-sama makhluk Tuhan yang bernyawa dan banyak manfaatnya bagi manusia. Binatang hutan seperti burung, kera dan hewan liar, konon mengetahui warning bencana, jadi mereka lari lebih dahulu ke hutan yang aman. Ternak dikandang dan diikat, tak mungkin lari dan mengungsi sendiri.
Banyaknya korban manusia dan hewan, selain karena radius jangkauan awan panas Merapi jauh di atas 10 km dari zona aman 10 km yang ditetapkan sebelumnya, juga arah angin dan kejaran awan panas sulit diduga. Selain itu, banyak warga sekitar lereng Merapi tidak bisa berpisah dengan ternaknya, sehingga ketika mendekat dan Merapi muntah, mereka tidak bisa melarikan diri lagi. Kecepatan awan panas 100-200 km per jam.
Memberi kehidupan
Tanah di seputar Merapi sejak dahulu kala sudah terkenal sangat subur. Aneka pohon, tanaman sayur dan juga rumput tumbuh dengan baik. Seorang pakar antropologi mengatakan, sejak zaman Hindu - Budha (Kerajaan Sanjaya, Sailendra, Singosari  dan Majapahit), sudah banyak warga tinggal di lereng Merapi. Tapi karena gunung api yang satu ini sangat aktif dan letusannya membahayakan, maka kemudian warga menjauhinya untuk tempat tinggal. Mereka  sekadar berkebun dan mencari rumput di sana. Belakangan, di era Kesultanan Demak dan Mataram Islam, kembali warga mendiaminya hingga sekarang, sebab selain membahayakan, Merapi juga menjanjikan berupa kesuburan tanahnya. Setiap Merapi meletus, deposit batu dan pasir juga tak habis-habisnya untuk ditambang dan dijual, dan dari situlah warga mendapatkan penghasilan. Dilihat dari sini ungkapan Mbah Maridjan banyak benarnya.
Memanfaatkan alam banyak sekali warga memelihara ternak seperti sapi dan kambing, dan rata-rata berkualitas bagus, gemuk dan sehat. Psikologi peternak seperti di Merapi, berbeda dengan pedagang dan pegawai. Ketika ternak mereka hamil dan melahirkan, biasanya disambut dengan gembira. Tiap hari dielus, diberi makan, dipelihara dengan penuh kasih sayang. Hubungan batin dengan ternaknya begitu kuat. Mereka sudah cukup terhibur, meski hidup sederhana. Ternak membuat mereka jauh dari stres seperti sering dialami orang kota. Kalau tidak terpaksa mereka tidak akan menjual. Menyembelih sendiri, sudah pasti mereka tidak tega. Wajar jika dalam kondisi begini mereka sulit berpisah dengan ternak, dan berani mempertaruhkan nyawa demi ternaknya. Mereka lebih rela jika rumah dan harta benda yang hancur ketimbang ternak.
Popularitas Merapi yang dikenal hampir semua anak bangsa, bahkan sampai mancanegara menjadi daya tarik tersendiri. Banyak wisatawan, ilmuawan dan pecinta alam senang mendatanginya. Hal ini pun tentu mendatangkan rezeki bagi penduduk karena memperkuat sektor ekonomi informal; jasa, transportasi dan pariwisata. Sekiranya Merapi hanya memuntahkan lava pijar ukuran kecil, tanpa wedus gembel, akan banyak orang datang menonton. Mengamati fenomena alam dengan seksama disertai kekaguman akan kuasa Tuhan, tentu sah-sah saja. Tadabbur alam tak jarang menjadikan iman meningkat. Nabi Ibrahim dulu juga mengagumi gunung, bulan, matahari dan bintang, bahkan sempat mengiranya tuhan, tetapi kemudian Ibrahim berkesimpulan, pencipta semua itulah Tuhan sebenarnya.
Antisipasi
Meski eskalasi musibah Merapi kali ini sangat besar, yang tak hanya melibatkan Pemerintah Daerah Yogyakarta tapi juga pusat, Pemda tidak berencana merelokasi atau memindahkan warga ke tempat lain. Artinya, sehabis musim melestusnya Merapi, masyarakatnya masih diperkenankan pulang dan membangun kehidupan baru di sana. Memang memindahkan puluhan bahkan ratusan ribu penduduk bukan perkara gampang. Sama halnya dengan korban tsunawi Aceh dulu dan Menatawai, pemerintah tidak merelokasi,  tapi membantu kembali pembangunan rumah yang hancur.
Walau ada pejabat yang cenderung menyalahkan masyarakat, mengapa mau-maunya tinggal di daerah berbahaya, tapi menjauhi tempat tsb bukan persoalan mudah. Membangun kehidupan baru di tempat lain tidak sesederhana yang kita bayangkan. Jangan samakan masyarakat umum dengan pejabat dan PNS,  begitu pindah tugas hanya  pindah rumah, gaji dan penghasilan sudah menunggu. Secara psikologis, masyarakat petani, peternak dan nelayan sangat dekat dengan alam. Mereka nyaris tidak dapat berpisah dengan alam di mana mereka hidup.   
Mengingat Merapi rutin meletus dalam siklus 4-5 tahun, ada beberapa langkah antisipasi untuk meminimalisasi bahaya, kerugian dan jatuhnya korban. Sepeninggal Mbah Maridjan, sudah waktunya masyarakat lebih rasional, artinya begitu Merapi menunjukkan tren membahayakan, mereka langsung mengungsi. Alasan-alasan seperti belum menerima bisikan gaib untuk mengungsi, atau ada wangsit agar tidak memgungsi, sebaiknya dikesampingkan. Kenyataannya masih ada warga yang berpendirian begitu. Warning dari Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Surono, agar warga menjauh dulu sementara Merapi meletus, seringkali sulit ditaati warga.
Dulu ada setengah pakar mengusulkan dekat pemukiman disediakan bungker, agar tiap Merapi meletus warga bisa bersembunyi. Tewasnya dua orang yang bersembunyi di bungker (2006), saking panasnya wedus gembel, menunjukkan bungker bukan solusi. Awan panas mungkin lebih berbahaya ketimbang bom.
Pemeriintah pusat dan daerah hendaknya menyediakan tempat penampungan pengungsi yang signifikan. Yang ada sekarang bangunan-bangunan publik dan lapangan yang disulap jadi tempat pengungsian. Alangkah baiknya disediakan tempat khusus, dilengkapi MCK dan tempat tidur yang memenuhi syarat kesehatan dan keamanan. Fakta di lapangan pengungsi sering mengeluhkan minimnya air bersih dan sarana MCK.
Pengungsi dan relawan hendaknya bersama-sama mengungsikan ternak penduduk dan disediakan tempat penampungan beserta pasokan makanannya. Ini sangat penting, sebab sekali lagi warga tidak dapat berpisah dengan ternaknya. Seiring itu pemerintah dan pengusaha hendaknya membeli hewan ternak itu dengan harga layak, untuk didistribusikan ke daerah lain yang memerlukan. Kalau ternaknya sudah aman, warga akan tenang, dan bagi yang enggan mengungsi dapat dilakukan upaya paksa.
Last but non least tentu berbagai pendekatan lain sangat dibutuhkan. Kita salut dan berterimakasih atas banyaknya spontanitas warga, pengusaha, pekerja pers, dermawan dan relawan yang turun tangan membantu korban bencana. Bahwa ada pejabat dan wakil rakyat yang kehilangan sense of crisis dan lebih suka bepergian ke luar di tengah bencana yang menimpa bangsanya, itu soal lain.
 Semoga berbagai bencana di negeri ini cepat berlalu dan kita semua sadar akan kuasa Tuhan, agar lebih menaati ajaran agama dan menjauhi hal-hal yang mengundang murka-Nya. Semoga sesudah bencana ini ada kehidupan yang lebih baik. Amin.

Ketua RW 10 Kelurahan Pekapuran Raya Banjarmasin  

Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2010

Selasa, 30 November 2010

Api Dan Kita

Api Dan Kita

Oleh: Ahmad Barjie B

Kecil jadi kawan, besar jadi lawan. Ungkapan ini tepat untuk menyebut api. Ketika kecil dan terkendali, seperti korek api, api dapur, kompor, listrik, api unggun, kembang api, kita sangat memerlukan api. Tetapi ketika besar dan liar, api jadi musuh paling berbahaya. Ketika terjadi kebakaran (Banjar: kasalukutan, kamandahan), sangat mungkin harta benda dalam jumlah besar dilalap dalam sekejap. Bahkan korban jiwa pun tidak jarang terjadi. Orang bilang, kalau kecurian masih ada yang terisa, tapi kalau kebakaran, telor cecak pun ikut hangus.
Selain berjuluk kota air, sebenarnya Banjarmasin juga bergelar kota api. Hal ini disebabkan seringnya terjadi kebakaran di kota ini. Tetapi kebakaran tidak hanya monopoli Banjarmasin, sejumlah daerah di Kalsel juga rawan kebakaran. Seolah arisan, sejumlah kota akhir-akhir ini bergantian mengalami musibah kebakaran. Dari Banjarmasin, Kotabaru, Martapura, Kandangan, Kelua, dll. Kuala Kapuas dan Palangka Raya Kalteng juga sering jadi langganan kebakaran besar. Data Dinkesos Kalsel menyebutkan, selama tahun 2005 terjadi 94 kali kebakaran, dengan korban kehilangan tempat tinggal 1.771 jiwa dan total kerugian Rp 24,4 miliar lebih. Tahun 2006, hingga medio Agustus sudah terjadi 40 kali kebakaran, dengan korban 10.581 orang kehilangan tempat tinggal dan kerugian materi Rp 18,9 miliar lebih. Ini belum termasuk kebakaran besar di Belitung beberapa waktu lalu, serta kebakaran hutan dan lahan, yang angka kerugiannya tentu tidak sedikit.
Ketika kebakaran terjadi, penderitaanlah yang muncul. Bagi keluarga mampu, tidak sulit membangun rumah kembali. Tetapi bagi keluarga ekonomi lemah, kebakaran benar-benar sangat memukul. Prospek kehidupan mereka menjadi hampa dan tidak jelas lagi. Jika mampu bangkit, diperlukan bertahun-tahun lagi untuk bisa pulih. Memang ada kalanya datang bantuan dari kalangan outsider, tetapi santunan itu hanya sekadar empati, bagi korban, jauh dari imbang dibanding kerugian materi yang diderita. Belum lagi recovery korban kebakaran, sering pula mengalami masalah, bahkan tidak jarang ada yang mencari kesempatan di tengah kesempitan. Karena itu walau selalu ada kepedulian pemerintah dan masyarakat, mencegah kebakaran selalu lebih baik daripada mengatasi.
Beberapa sebab
Ketika kebakaran terjadi pada orang lain, banyak anggota masyarakat tidak waspada terhadap bahaya kebakaran. Peristiwa kebakaran cenderung dibuat hiburan. Begitu ada asap tebal mengepul dan mobil pemadam meraung-raung, orang-orang juga berhamburan menuju lokasi, bukan untuk menolong, tetapi hanya menonton. Konon ada juga yang ikut mengamankan barang, tetapi sekalian dicuri. Hal ini dapat menambah panik dan menyulitkan mobil pemadam. Mereka baru merintih kalau kebakaran itu terjadi pada diri atau keluarganya sendiri.
Banyak sekali pemicu terjadinya kebakaran. Pemicu awalnya bisa karena korsleting listrik, kabel-kabel lapuk, kompor meledak, dapur yang ditinggal pergi, lilin, obat nyamuk, setrika listrik dan banyak lagi. Semua ini sangat mungkin karena kelalaian atau ketidakhatian. Seringnya pemadaman listrik juga ikut memberi kontribusi kebakaran, sebab ketika orang tidur, alat penerangnya bisa tidak terkontrol, dan ketika listrik menyala kembali tidak diketahui. Pemicu kedua bangunan dari kayu, atap sirap, kumuh, berdempet, rapat, sehingga api cepat membesar. Keterbatasan alat pemadam, dan jalan akses menuju lokasi yang sempit, juga menyulitkan kecepatan pertolongan.
Kondisi masyarakat yang pluralistik di segi etnis, tradisi, budaya dan kemampuan ekonomi, juga rentan menyebabkan kebakaran. Di segi pemilikan rumah, ada yang milik sendiri, menggadai dan mengontrak atau menyewa. Tingkat kesadaran terhadap bahaya kebakaran mungkin berbeda-beda, karena risikonya juga tidak sama. Ada yang begitu gampang menyikapi api, tanpa ada kekhawatiran sedikit pun. Bagi yang tidak berisiko besar, kebakaran mungkin dianggap biasa. Begitu kebakaran terjadi, tinggal angkat koper, emangnya gue pikirin.
Beratnya kehidupan sosial ekonomi, tidak mustahil juga memunculkan anggota masyarakat stress. Percekcokan suami istri atau anak bisa saja mengundang kebakaran. “Mun aku muyak, kusalukut haja rumah ngini, biar ranai, kadada lagi harta nang dirabutakan” (kalau saya bosan, kubakar saja rumah ini biar beres, tidak ada lagi harta yang diperebutkan). Ungkapan seperti ini tidak mustahil muncul dalam keluarga stress. Preman kampung yang sedang kesal mungkin juga berulah demikian. “Mun aku sarik, kusalukut haja kampung ini, hapus” (kalau saya marah saya bakar saja kampung ini, biar jera). Kebakaran sengaja atau semi sengaja seperti ini juga penting diwaspadai dan diantisipasi sejak dini.
Pendekatan solusi
Mencegah terjadinya kebakaran selalu lebih baik. Pertama, hendaknya diaktifkan penyuluhan dan peringatan dini di tengah masyarakat. Aparat pemerintah dan tokoh masyarakat tidak henti-hentinya memperingatkan. Pengeras suara di langgar, mushalla, masjid, gereja, sekolah, dsb hendaknya sering digunakan untuk memperingatkan bahaya api bagi masyarakat sekitar. Ini besar manfaatnya untuk membangun kesadaran masyarakat, sehingga mereka selalu waspada. Ada atau tidak “hantu api”, masyarakat harus punya kewaspadaan tinggi.
Kedua, harus ada usaha memeriksa instalasi dan kabel-kabel listrik supaya diketahui kelayakannya. Kalau bisa PLN secara teratur memeriksa, misalnya enam bulan sekali. Pemadaman listrik di malam hari hendaknya ditekan seminim mungkin. Sejalan itu perlu dipetakan kawasan-kawasan rentan kebakaran, lalu disiapkan alat dan tenaga antisipasi dengan kesiagaan tinggi. Anggaran pemerintah juga disiapkan memadai, sebab jasa mereka sebenarnya sangat besar.
Ketiga, setiap lingkungan RT hendaknya memiliki alat pemadam kebakaran ringan (apar), dan kalau bisa juga bisa memiliki mobil pemadam (BPK). Setiap keluarga punya karong goni yang siap dibasahkan sebagai cara manual pertama menjinakkan api. Menanam pohon pisang di sekitar rumah juga bagus. Bagi keluarga mampu alangkah baiknya membeli dan memiliki apar masing-masing, sehingga mudah dan cepat digunakan atau dipinjam ketika dibutuhkan. Ini penting sebagai usaha pertolongan pertama pada kebakaran (P3K) sebelum datangnya pasukan pemadam.
Di setiap daerah Kecamatan dan Kabupaten, terutama di Hulu Sungai dan daerah terpencil hendaknya punya sejumlah barisan pemadam yang handal. Pemerintah Daerah hendaknya menganggarkan dananya, di samping kontribusi masyarakat swasta. Selama ini pengadaan mobil pemadam seolah hanya keperluan sekunder atau tersier, sehingga pengadaannya diabaikan. Orang baru sadar pentingnya mobil pemadam setelah kebakaran terjadi, padahal pasukan pemadam sama pentingnya dengan polisi, rumah sakit, puskesmas dan dokter. Kita sungguh berterima kasih kepada pasukan pemadam kebakaran selama ini, karena mereka tanpa pamrih selalu sigap dan proaktif memadamkan kobaran api di setiap ada musibah.
Keempat, tata letak rumah/bangunan hendaknya diatur sedemikian rupa supaya menjalarnya api tidak terlalu cepat. Selama ini penduduk suka sekali menghabiskan sisa tanahnya membangun rumah, sampai berdempet tanpa celah. Selain merusak pemandangan, menyulitkan membuang sampah, cara ini menyulitkan mengatasi api saat kebakaran. Jalan dan gang hendaknya diperlebar, supaya akses masuk mobil pemadam cepat dan mudah. Kesulitan masuk, dalam hitungan menit saja, risiko kebakaran sudah sangat besar. Adanya jalan besar sangat membantu percepatan mobilitas BPK. Seperti adanya jalan baru tembus Gatot Subroto Lingkar Dalam Selatan, walau baru dibangun sudah fungsional. Saat kebakaran di Pemurus Baru BPK Hippindo dll yang besar dapat masuk cepat. Ini tentu sangat membantu.
Kelima, Perda Kebakaran, sebagaimana usul Sekjen Depsos RI, perlu segera dibuat di masing-masing daerah. Sehingga dapat diantisipasi bahaya kebakaran, dan anggota masyarakat yang lalai atau melakukan pelanggaran dikenakan sanksi, baik penjara atau denda. Kebakaran tidak sekadar musibah, tetapi harus ada upaya antisipasi, prevensi dan kurasi yang tegas. Aturan hukum penting disosialisasikan segera agar tidak ada yang bermain-main atau menganggap remeh bahaya api.
Akhirnya semoga korban kebakaran selama ini tetap sabar tabah dan tawakkal untuk bangkit kembali. Semoga pemerintah, kalangan swasta, dermawan dan masyarakat meningkatkan bantuannya sehingga korban dapat memilihkan kerugiannya. Kalau bisa bantuan tidak saja pengadaan bangunan tempat tinggal, juga modal usaha tanpa bunga. Sungguh beruntung pihak yang mau membantu korban kesusahan. Allah menolong hambanya di dunia dan akhirat siapa saja yang ringan tangan memberi pertolongan antarsesama. Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2010

Antara Soeharto dan Pak Harto


Antara Soeharto dan Pak Harto
Oleh: Ahmad Barjie B

    Soeharto dan Pak Harto orangnya hanya satu, sama, tidak beda. Tetapi penyebutannya di masyarakat berbeda-beda. Saat ini minimal ada tiga cara orang menyebut namanya; Soeharto, mantan presiden Soeharto dan Pak Harto. Ketiga cara tersebut mencerminkan perbedaan sikap dan pandangan orang tentang beliau, baik sesudah lengser maupun saat-saat sakit. Mereka yang menyebut Pak Harto atau mantan presiden Soeharto, masih menaruh hormat, kagum, salut dan tidak ingin melupakan jasa dan kebesaran beliau hanya lantaran beberapa kesalahannya. Sikap ini, dalam ungkapan Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero (melihat kebaikan dan menyimpan kekurangannya).
     Dalam Islam, penghormatan demikian makin dituntut menjelang dan setelah seseorang meninggal. Nabi mengatakan: uzkuruu mahasina mautaakum, wa kaffu an masaawihim (sebut-sebut kebaikan orang yang mati di antara kamu, dan jangan kau sebut keburukannya). Mereka yang masih menaruh hormat pada Pak Harto memegang tradisi leluhur dan menjunjung nila-nilai adiluhung, bahwa orang yang berjasa, sudah tua, sepuh dan sakit-sakitan, tidak pantas dihujat. Memanggil nama seolah  teman sekolah, di luar kepatutan. Orang awam yang dituakan saja  biasanya dipanggil dengan om, tante, paman, bude, pakde, pak le, dst.
     Bagi urang Banjar ada sebutan pakacil, makacil, julak, tangah, acil, suanang dan sualuh, patuha, kai dan nini. Bahkan bagi urang Banjar, sebutan untuk orang terhormat dan ulama lebih spesifik lagi. Misalnya Guru KHM  Zaini Abdul Ghani almarhum, sebutan beliau sangat bervariasi, mulai dari Guru Ijai, Guru Sekumpul, Guru Zaini Ghani, sampai al-Syaikh Shahibul Fadhil al-Alim al-Allamah al-Arief Billah Muhammad Zaini Abdul Ghani. Semua sebutan itu  sah-saja, sebab mencerminkan apresiasi orang terhadap seorang tokoh.
     Bagi yang menyebut Soeharto dengan konotasi negatif, agaknya tidak peduli dengan jabatan, jasa, ketuaan dan kesepuhan beliau. Sikap Pak Harto yang lebih banyak pasrah dan tidak pernah menuntut balik orang yang menghujatnya, serta permintaan maaf dari Pak Harto saat lengser atau maaf dari putrinya Siti Hedijati baru-baru ini, tidak kunjung  membuat tekanan mereka berkurang. Walau ada jarak usia setengah abad, dan ada banyak jasa terpampang di mata, kalangan aktivis penekan tidak mau mengistimewakan Soeharto. Siapa pun orangnya tidak peduli pejabat atau mantan pejabat tinggi, bagi mereka tidak berbeda di mata hukum. Kalau melanggar hukum harus diselesaikan secara hukum.
    Kedua kubu, simpatisan dan penekan inilah yang agaknya terus bertarung di tengah labilnya kesehatan Pak Harto. Pemerintah sebagai pemegang otoritas kelihatannya sangat ragu dan tidak berani mengambil sikap tegas. Seperti ada ketakutan berlebihan kalau bersikap hitam putih. Akibatnya, pemerintah lebih memilih langkah abu-abu, suatu sikap yang sesungguhnya tidak cerdas dan jentle, sebab tidak solutif.  Running tex Metro TV menyatakan, SBY akan bersikap mikul dhuwur mendhem jero terhadap Pak Harto, bahkan juga terhadap Soekarno, Habibie, Gus Dur dan Megawati. Sikap ini cukup bagus, mencerminkan kebesaran jiwa SBY, tetapi tidak menyelesaikan masalah, karena tidak resmi dan lebih bersifat pribadi. Dulu, Pak Harto juga mikul dhuwur terhadap Bung Karno, tetapi tetap saja ada stigma yang melekat pada Bung Karno. Kalau begini terus, sampai Pak Harto wafat pun saya kira masalah  ini akan tetap mengambang tanpa ending yang melegakan.
Pergeseran sebutan
     Setiap tokoh dalam level dan komunitas apa pun, selalu ada pergeseran cara orang menyebutnya.  Di masa perjuangan kemerdekaan, sebutan akrab yang digunakan adalah Bung, ada sebutan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, dan Bung Syahrir. Adanya judul lagu “Bung Di Mana” serta “Mari Bung rebut kembali” dalam lirik lagu “Bandung Lautan Api” menunjukkan betapa populernya sebutan Bung saat itu,  sebutan yang kini sudah pudar. Saat Bung Karno berkuasa, di depan nama beliau ada berbagai gelaran seperti Paduka Yang Mulia, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Pemimpin Besar Revolusi, bahkan menjelang jatuh juga dijuluki Presiden Seumur Hidup. Ketika Pak Harto berkuasa, beliau dijuluki The Smiling General, Bapak Pembangunan, Orang Kuat Asia, dan menjelang lengser, bersama AH Nasution dianugerahi gelar kehormatan Jenderal Besar.
     Ketika para tokoh jatuh, gelar-gelar kehormatan ikut berjatuhan. Bung Karno seperti masih belum dipulihkan namanya, padahal jasanya terhadap negeri ini teramat besar. Selain pejuang kemerdekaan, proklamator dan penggagas Pancasila, Bung Karno juga pendiri Gerakan Non Blok dan salah seorang tokoh dunia yang berani melawan neokolonialisme-imperialisme (nekolim) Barat. Tap MPRS yang mengindikasikan beliau terlibat dalam G 30 S PKI 1965 dan pelarangan ajarannya tidak juga dicabut. Saya pernah lihat foto Bung Karno dalam sebuah buku dihapus dengan tinta dan dicoret, pertanda kuatnya stigma negatif terhadap beliau saat itu.
     Nasib relatif sama menimpa Pak Harto, berbagai krisis bangsa ditimpakan sebagai kesalahan selama 32 tahun pemerintahannya. Hari-hari awal reformasi Pak Harto mengalami hujan hujatan. Sebuah Tap MPR berisi kewajiban pemerintah orde reformasi membongkar KKN orde baru dihadiahkan khusus untuk beliau. Perannya sebagai pemelihara Pancasila, persatuan dan kesatuan bangsa, bapak pembangunan, penopang swasebada pangan dan motor stabilitas nasional yang disegani dunia internasional, tidak lagi diingat orang. 
Hukum dan Politik
     Persoalan yang menyelimuti Pak Harto agaknya tidak kunjung hilang, meski sudah sewindu pasca lengsernya. Nama Soeharto sering disebut dengan konotasi negatif, misalnya adili Soeharto, seret Soeharto ke pengadilan, jangan ampuni Soeharto, dan berbagai kalimat vulgar lain. Kalau kita ikuti polling media massa, katakanlah sharing pendapat lewat SMS, sebagian besar masyarakat sudah memaafkan dan minta kasus ini ditutup, karena tidak ada manfaatnya dan hanya jadi komoditas politis. Tetapi mengapa sebagian kecil elit, terutama para aktivis, seperti tidak surut untuk terus menuntut Pak Harto?.
       Masalah yang melilit Pak Harto sangat kompleks, antara ranah politik dan hukum, yang keduanya sama-sama krusial. Kalangan yang memaafkan dan ingin menutup kasus Pak Harto menganggap ini masalah politik, tidak mungkin diselesaikan secara hukum. Pihak lain menganggap, ini masalah hukum, tidak bisa diselesaikan secara politik. Mempertemukan kedua kubu berlawanan ini sangat sulit. Namun ada sedikit titik temu, sebagian dari yang menghendaki solusi hukum tidak keberatan Pak Harto diampuni setelah jelas status hukumnya.
     Cuma masalahnya, bagaimana memproses hukum orang yang sudah sakit parah di usia yang sudah sangat sepuh. Tidak ada sejarahnya, di usia 85 tahun ke atas orang jadi sehat, apalagi Pak Harto mengalami komplikasi penyakit permenen di otak, percernaan, lambung, ginjal, darah dan segala macam penyakit tua seperti keterangan tim dokter. Jadi menunggu proses hukum hanya sebuah kesia-siaan dan mission impossible. Jangankan kasus besar, kasus kecil pun terasa begitu alot bila penyelesaiannya secara hukum.
       Menurut saya, masalah yang menimpa Pak Harto lebih bersifat politis. Pasalnya, selama tujuh kali masa jabatan presiden, beliau sudah mempertanggungjawabkan jalannya pemerintahan. Termasuk aktivitas pengelolaan sejumlah yayasan sosial dan keagamaan seperti Supersemar dan YABMP, hasilnya juga dirasakan Pertanggungjawaban itu selalu diterima secara bulat oleh DPR-MPR, kemudian mandat diperpanjang lagi, begitu seterusnya. Penerimaan itu bukan rekayasa, tidak ditekan dan dipaksa, tetapi disetujui dengan mulus dengan akal sehat dan waras oleh anggota DPR/MPR saat itu.
     Bila orde baru disalahkan, maka kesalahan itu bersifat kolektif, bukan  perorangan. Menyelesaikan masalah politik apalagi hukum, dengan hanya membidik satu orang atau satu kroni, tentu tidak adil dan tidak akan pernah tuntas. Karena itu penyelesaian masalah sebaiknya memang secara politik pula. Pemerintah harus berani bersikap, supaya masalah yang satu ini tidak terus menerus membebani sejarah ke depan.
      Seiring penyelesaian politik, pemerintah boleh melakukan langkah hukum dengan titik berat pada sisi perdata, bukan pidana. Dulu seusai lengser Pak Harto pernah mempersilakan kepada pemerintah penggantinya untuk mengambil harta kekayaannya di luar negeri kalau ada, untuk jadi milik negara. Ternyata hingga hari ini hal itu tidak dilakukan. Publik jadi ragu, apa memang harta karun itu ada. Kalau memang yayasan-yayasan yang dikelola kroni Pak Harto terindikasi KKN mengapa tidak diambil alih asetnya secara baik-baik, tanpa harus menunggu proses hukum. Dan kalau masih fungsional sesuai AD/ART apa untungnya yayasan itu diambil alih. Bukankah manfaatnya untuk kepentingan sosial juga.

Rekonsiliasi total
      Para penentang Pak Harto mungkin ada berasal dari sisa orde lama, nasionalis, kalangan yang merasa dirugikan semasa orba, baik secara politik (matinya demokrasi), secara  ekonomi (mengalami kematian perdata seperti pentolan Petisi 50), secara moral bahkan jiwa (mungkin ada keluarganya yang terbunuh, hilang, diculik) dsb. Selama orba memang tercatat beberapa traedi pertumpahan darah yang bersifat politis seperti Tanjung Priok, Lampung, Semanggi, Trisakti, 21 Mei 1998, ditambah kebijakan DOM di Aceh. Luka anak bangsa yang menjadi korban mungkin belum sembuh.
      Alangkah baiknya sekiranya pemerintah sekarang melakukan rekonsiliasi total. Pertama, posisi Bung Karno harus dipulihkan supaya tidak ada lagi stigma negatif yang dilekatkan pada beliau. Mestinya hal ini dilakukan di masa Presiden Megawati, tetapi mungkin karena tidak ingin dituduh subyektif, hal itu tidak dilakukan. Sangat bijak jika SBY yang berani melakukan. Kedua, kasus Pak Harto ditutup dengan penyelesaian politis. Sambil tetap berdoa untuk kesembuhannya seperti saran Din Syamsuddin, para pihak dengan legowo memaafkannya, sehingga kalau nanti beliau wafat, diyakini dalam keadaan husnul khatimah, seperti saran Zainal Ma’arif.
      Ketiga, memberi kompensasi, terutama kepada keluarga korban di masa orba yang membutuhkannya. Mereka yang kehilangan ayah, saudara, anak dan orang-orang yang dicintainya, mungkin dapat dikurangi kesedihannya dengan kompensasi sebagai wujud perhatian pemerintah.  Namun harus diingat, tragedi berdarah tidak hanya dimonopoli di era orba. Era reformasi justru cukup banyak mencatat pertumpahan darah, mulai dari tragedi Banyuwangi, rusuh Ambon, Poso, Sampit, Sambas, dll, yang memakan korban jiwa amat besar, termasuk tragedi perorangan seperti kasus Munir yang masih gelap. Pemerintah di era reformasi harus berani memberi kompensasi kepada keluarga korban secara proporsional, prioritas dan bertahap.
      Pemerintah tidak perlu menghindar atau melempar tanggung jawab, sebab sebagai penerus kekuasaan tentu harus pula siap mewarisi tanggung jawabnya. Kalau pemerintah begitu setia membayar cicilan utang luar negeri, mengapa hutang politik dalam negeri tidak dihiraukan. Di era orba korban terjadi karena pemerintah berhadapan dengan kelompok rakyat, di era reformasi konflik terjadi sesama rakyat,  negara gagal melindungi dan memberi rasa aman pada rakyat. Pemberian kompensasi mungkin kontroversal, tetapi lebih mendekati keadilan dan sesuai dengan hukum agama dan adat. Semoga dengan cara ini, atau cara lain yang lebih bijak, beban-beban sejarah akan semakin ringan, dan bangsa ini lebih plong dan fokus menuju masa depan yang penuh tantangan.
     
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2010