Api Dan Kita
Oleh: Ahmad Barjie B
Kecil jadi kawan, besar jadi lawan. Ungkapan ini tepat untuk menyebut api. Ketika kecil dan terkendali, seperti korek api, api dapur, kompor, listrik, api unggun, kembang api, kita sangat memerlukan api. Tetapi ketika besar dan liar, api jadi musuh paling berbahaya. Ketika terjadi kebakaran (Banjar: kasalukutan, kamandahan), sangat mungkin harta benda dalam jumlah besar dilalap dalam sekejap. Bahkan korban jiwa pun tidak jarang terjadi. Orang bilang, kalau kecurian masih ada yang terisa, tapi kalau kebakaran, telor cecak pun ikut hangus.
Selain berjuluk kota air, sebenarnya Banjarmasin juga bergelar kota api. Hal ini disebabkan seringnya terjadi kebakaran di kota ini. Tetapi kebakaran tidak hanya monopoli Banjarmasin, sejumlah daerah di Kalsel juga rawan kebakaran. Seolah arisan, sejumlah kota akhir-akhir ini bergantian mengalami musibah kebakaran. Dari Banjarmasin, Kotabaru, Martapura, Kandangan, Kelua, dll. Kuala Kapuas dan Palangka Raya Kalteng juga sering jadi langganan kebakaran besar. Data Dinkesos Kalsel menyebutkan, selama tahun 2005 terjadi 94 kali kebakaran, dengan korban kehilangan tempat tinggal 1.771 jiwa dan total kerugian Rp 24,4 miliar lebih. Tahun 2006, hingga medio Agustus sudah terjadi 40 kali kebakaran, dengan korban 10.581 orang kehilangan tempat tinggal dan kerugian materi Rp 18,9 miliar lebih. Ini belum termasuk kebakaran besar di Belitung beberapa waktu lalu, serta kebakaran hutan dan lahan, yang angka kerugiannya tentu tidak sedikit.
Ketika kebakaran terjadi, penderitaanlah yang muncul. Bagi keluarga mampu, tidak sulit membangun rumah kembali. Tetapi bagi keluarga ekonomi lemah, kebakaran benar-benar sangat memukul. Prospek kehidupan mereka menjadi hampa dan tidak jelas lagi. Jika mampu bangkit, diperlukan bertahun-tahun lagi untuk bisa pulih. Memang ada kalanya datang bantuan dari kalangan outsider, tetapi santunan itu hanya sekadar empati, bagi korban, jauh dari imbang dibanding kerugian materi yang diderita. Belum lagi recovery korban kebakaran, sering pula mengalami masalah, bahkan tidak jarang ada yang mencari kesempatan di tengah kesempitan. Karena itu walau selalu ada kepedulian pemerintah dan masyarakat, mencegah kebakaran selalu lebih baik daripada mengatasi.
Beberapa sebab
Ketika kebakaran terjadi pada orang lain, banyak anggota masyarakat tidak waspada terhadap bahaya kebakaran. Peristiwa kebakaran cenderung dibuat hiburan. Begitu ada asap tebal mengepul dan mobil pemadam meraung-raung, orang-orang juga berhamburan menuju lokasi, bukan untuk menolong, tetapi hanya menonton. Konon ada juga yang ikut mengamankan barang, tetapi sekalian dicuri. Hal ini dapat menambah panik dan menyulitkan mobil pemadam. Mereka baru merintih kalau kebakaran itu terjadi pada diri atau keluarganya sendiri.
Banyak sekali pemicu terjadinya kebakaran. Pemicu awalnya bisa karena korsleting listrik, kabel-kabel lapuk, kompor meledak, dapur yang ditinggal pergi, lilin, obat nyamuk, setrika listrik dan banyak lagi. Semua ini sangat mungkin karena kelalaian atau ketidakhatian. Seringnya pemadaman listrik juga ikut memberi kontribusi kebakaran, sebab ketika orang tidur, alat penerangnya bisa tidak terkontrol, dan ketika listrik menyala kembali tidak diketahui. Pemicu kedua bangunan dari kayu, atap sirap, kumuh, berdempet, rapat, sehingga api cepat membesar. Keterbatasan alat pemadam, dan jalan akses menuju lokasi yang sempit, juga menyulitkan kecepatan pertolongan.
Kondisi masyarakat yang pluralistik di segi etnis, tradisi, budaya dan kemampuan ekonomi, juga rentan menyebabkan kebakaran. Di segi pemilikan rumah, ada yang milik sendiri, menggadai dan mengontrak atau menyewa. Tingkat kesadaran terhadap bahaya kebakaran mungkin berbeda-beda, karena risikonya juga tidak sama. Ada yang begitu gampang menyikapi api, tanpa ada kekhawatiran sedikit pun. Bagi yang tidak berisiko besar, kebakaran mungkin dianggap biasa. Begitu kebakaran terjadi, tinggal angkat koper, emangnya gue pikirin.
Beratnya kehidupan sosial ekonomi, tidak mustahil juga memunculkan anggota masyarakat stress. Percekcokan suami istri atau anak bisa saja mengundang kebakaran. “Mun aku muyak, kusalukut haja rumah ngini, biar ranai, kadada lagi harta nang dirabutakan” (kalau saya bosan, kubakar saja rumah ini biar beres, tidak ada lagi harta yang diperebutkan). Ungkapan seperti ini tidak mustahil muncul dalam keluarga stress. Preman kampung yang sedang kesal mungkin juga berulah demikian. “Mun aku sarik, kusalukut haja kampung ini, hapus” (kalau saya marah saya bakar saja kampung ini, biar jera). Kebakaran sengaja atau semi sengaja seperti ini juga penting diwaspadai dan diantisipasi sejak dini.
Pendekatan solusi
Mencegah terjadinya kebakaran selalu lebih baik. Pertama, hendaknya diaktifkan penyuluhan dan peringatan dini di tengah masyarakat. Aparat pemerintah dan tokoh masyarakat tidak henti-hentinya memperingatkan. Pengeras suara di langgar, mushalla, masjid, gereja, sekolah, dsb hendaknya sering digunakan untuk memperingatkan bahaya api bagi masyarakat sekitar. Ini besar manfaatnya untuk membangun kesadaran masyarakat, sehingga mereka selalu waspada. Ada atau tidak “hantu api”, masyarakat harus punya kewaspadaan tinggi.
Kedua, harus ada usaha memeriksa instalasi dan kabel-kabel listrik supaya diketahui kelayakannya. Kalau bisa PLN secara teratur memeriksa, misalnya enam bulan sekali. Pemadaman listrik di malam hari hendaknya ditekan seminim mungkin. Sejalan itu perlu dipetakan kawasan-kawasan rentan kebakaran, lalu disiapkan alat dan tenaga antisipasi dengan kesiagaan tinggi. Anggaran pemerintah juga disiapkan memadai, sebab jasa mereka sebenarnya sangat besar.
Ketiga, setiap lingkungan RT hendaknya memiliki alat pemadam kebakaran ringan (apar), dan kalau bisa juga bisa memiliki mobil pemadam (BPK). Setiap keluarga punya karong goni yang siap dibasahkan sebagai cara manual pertama menjinakkan api. Menanam pohon pisang di sekitar rumah juga bagus. Bagi keluarga mampu alangkah baiknya membeli dan memiliki apar masing-masing, sehingga mudah dan cepat digunakan atau dipinjam ketika dibutuhkan. Ini penting sebagai usaha pertolongan pertama pada kebakaran (P3K) sebelum datangnya pasukan pemadam.
Di setiap daerah Kecamatan dan Kabupaten, terutama di Hulu Sungai dan daerah terpencil hendaknya punya sejumlah barisan pemadam yang handal. Pemerintah Daerah hendaknya menganggarkan dananya, di samping kontribusi masyarakat swasta. Selama ini pengadaan mobil pemadam seolah hanya keperluan sekunder atau tersier, sehingga pengadaannya diabaikan. Orang baru sadar pentingnya mobil pemadam setelah kebakaran terjadi, padahal pasukan pemadam sama pentingnya dengan polisi, rumah sakit, puskesmas dan dokter. Kita sungguh berterima kasih kepada pasukan pemadam kebakaran selama ini, karena mereka tanpa pamrih selalu sigap dan proaktif memadamkan kobaran api di setiap ada musibah.
Keempat, tata letak rumah/bangunan hendaknya diatur sedemikian rupa supaya menjalarnya api tidak terlalu cepat. Selama ini penduduk suka sekali menghabiskan sisa tanahnya membangun rumah, sampai berdempet tanpa celah. Selain merusak pemandangan, menyulitkan membuang sampah, cara ini menyulitkan mengatasi api saat kebakaran. Jalan dan gang hendaknya diperlebar, supaya akses masuk mobil pemadam cepat dan mudah. Kesulitan masuk, dalam hitungan menit saja, risiko kebakaran sudah sangat besar. Adanya jalan besar sangat membantu percepatan mobilitas BPK. Seperti adanya jalan baru tembus Gatot Subroto Lingkar Dalam Selatan, walau baru dibangun sudah fungsional. Saat kebakaran di Pemurus Baru BPK Hippindo dll yang besar dapat masuk cepat. Ini tentu sangat membantu.
Kelima, Perda Kebakaran, sebagaimana usul Sekjen Depsos RI, perlu segera dibuat di masing-masing daerah. Sehingga dapat diantisipasi bahaya kebakaran, dan anggota masyarakat yang lalai atau melakukan pelanggaran dikenakan sanksi, baik penjara atau denda. Kebakaran tidak sekadar musibah, tetapi harus ada upaya antisipasi, prevensi dan kurasi yang tegas. Aturan hukum penting disosialisasikan segera agar tidak ada yang bermain-main atau menganggap remeh bahaya api.
Akhirnya semoga korban kebakaran selama ini tetap sabar tabah dan tawakkal untuk bangkit kembali. Semoga pemerintah, kalangan swasta, dermawan dan masyarakat meningkatkan bantuannya sehingga korban dapat memilihkan kerugiannya. Kalau bisa bantuan tidak saja pengadaan bangunan tempat tinggal, juga modal usaha tanpa bunga. Sungguh beruntung pihak yang mau membantu korban kesusahan. Allah menolong hambanya di dunia dan akhirat siapa saja yang ringan tangan memberi pertolongan antarsesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar