Rabu, 01 Desember 2010

Merapi, Manusia dan Ternak


Merapi, Manusia dan Ternak
Oleh: Ahmad Barjie B

Mbah Maridjan semasa hidup sering mengatakan, jika Merapi batuk-batuk dan muntah (erupsi/meletus), berarti Merapi sedang hidup, bekerja dan membangun. Itu sebabnya ia tidak pernah takut dan menjauhi Merapi, sampai kematian menjemput. Sikap Mbah Maridjan memang agak sulit dipahami sebab bagi kebanyakan orang letusan gunung api sangat menakutkan, merugikan dan membahayakan. Dulu banyak orang mengira, bahaya gunung api adalah lava pijar (lahar panas) yang suhunya sangat tinggi. Sekarang kita tahu, ternyata jangankan lahar, awan panasnya (wedus gembel) sudah sangat mematikan. Lahar dinginnya pun membahayakan.
Manusia dan hewan banyak yang tewas, rumah dan pepohonan hancur dan terbakar. Penerbangan banyak terhambat, hujan debu di mana-mana, bahkan hingga ke Jawa Barat. Kalau pada letusan 2006 hanya 2 orang yang tewas karena bersembunyi dalam bungker, kini korban tewas menembus angka psikologis lebih seratus orang. Pada letusan besar 26 Oktober lalu 454 ekor sapi mati, belum yang belakangan. Tak mustahl ternak yang mati ribuan.
Bagi kita yang tinggal di Banjarmasin, Kalsel atau di mana saja, di tengah mahalnya harga daging sapi, apalagi sekarang menjelang Hari Raya Qurban, matinya sapi sebanyak itu sangat disayangkan. Berqurban seekor sapi saja sebuah RT jadi ramai dan banyak warga miskin terhibur karena hanya setahun sekali makan daging. Keprihatinan kita tak kalah dengan tewasnya manusia. Ternak itu sama-sama makhluk Tuhan yang bernyawa dan banyak manfaatnya bagi manusia. Binatang hutan seperti burung, kera dan hewan liar, konon mengetahui warning bencana, jadi mereka lari lebih dahulu ke hutan yang aman. Ternak dikandang dan diikat, tak mungkin lari dan mengungsi sendiri.
Banyaknya korban manusia dan hewan, selain karena radius jangkauan awan panas Merapi jauh di atas 10 km dari zona aman 10 km yang ditetapkan sebelumnya, juga arah angin dan kejaran awan panas sulit diduga. Selain itu, banyak warga sekitar lereng Merapi tidak bisa berpisah dengan ternaknya, sehingga ketika mendekat dan Merapi muntah, mereka tidak bisa melarikan diri lagi. Kecepatan awan panas 100-200 km per jam.
Memberi kehidupan
Tanah di seputar Merapi sejak dahulu kala sudah terkenal sangat subur. Aneka pohon, tanaman sayur dan juga rumput tumbuh dengan baik. Seorang pakar antropologi mengatakan, sejak zaman Hindu - Budha (Kerajaan Sanjaya, Sailendra, Singosari  dan Majapahit), sudah banyak warga tinggal di lereng Merapi. Tapi karena gunung api yang satu ini sangat aktif dan letusannya membahayakan, maka kemudian warga menjauhinya untuk tempat tinggal. Mereka  sekadar berkebun dan mencari rumput di sana. Belakangan, di era Kesultanan Demak dan Mataram Islam, kembali warga mendiaminya hingga sekarang, sebab selain membahayakan, Merapi juga menjanjikan berupa kesuburan tanahnya. Setiap Merapi meletus, deposit batu dan pasir juga tak habis-habisnya untuk ditambang dan dijual, dan dari situlah warga mendapatkan penghasilan. Dilihat dari sini ungkapan Mbah Maridjan banyak benarnya.
Memanfaatkan alam banyak sekali warga memelihara ternak seperti sapi dan kambing, dan rata-rata berkualitas bagus, gemuk dan sehat. Psikologi peternak seperti di Merapi, berbeda dengan pedagang dan pegawai. Ketika ternak mereka hamil dan melahirkan, biasanya disambut dengan gembira. Tiap hari dielus, diberi makan, dipelihara dengan penuh kasih sayang. Hubungan batin dengan ternaknya begitu kuat. Mereka sudah cukup terhibur, meski hidup sederhana. Ternak membuat mereka jauh dari stres seperti sering dialami orang kota. Kalau tidak terpaksa mereka tidak akan menjual. Menyembelih sendiri, sudah pasti mereka tidak tega. Wajar jika dalam kondisi begini mereka sulit berpisah dengan ternak, dan berani mempertaruhkan nyawa demi ternaknya. Mereka lebih rela jika rumah dan harta benda yang hancur ketimbang ternak.
Popularitas Merapi yang dikenal hampir semua anak bangsa, bahkan sampai mancanegara menjadi daya tarik tersendiri. Banyak wisatawan, ilmuawan dan pecinta alam senang mendatanginya. Hal ini pun tentu mendatangkan rezeki bagi penduduk karena memperkuat sektor ekonomi informal; jasa, transportasi dan pariwisata. Sekiranya Merapi hanya memuntahkan lava pijar ukuran kecil, tanpa wedus gembel, akan banyak orang datang menonton. Mengamati fenomena alam dengan seksama disertai kekaguman akan kuasa Tuhan, tentu sah-sah saja. Tadabbur alam tak jarang menjadikan iman meningkat. Nabi Ibrahim dulu juga mengagumi gunung, bulan, matahari dan bintang, bahkan sempat mengiranya tuhan, tetapi kemudian Ibrahim berkesimpulan, pencipta semua itulah Tuhan sebenarnya.
Antisipasi
Meski eskalasi musibah Merapi kali ini sangat besar, yang tak hanya melibatkan Pemerintah Daerah Yogyakarta tapi juga pusat, Pemda tidak berencana merelokasi atau memindahkan warga ke tempat lain. Artinya, sehabis musim melestusnya Merapi, masyarakatnya masih diperkenankan pulang dan membangun kehidupan baru di sana. Memang memindahkan puluhan bahkan ratusan ribu penduduk bukan perkara gampang. Sama halnya dengan korban tsunawi Aceh dulu dan Menatawai, pemerintah tidak merelokasi,  tapi membantu kembali pembangunan rumah yang hancur.
Walau ada pejabat yang cenderung menyalahkan masyarakat, mengapa mau-maunya tinggal di daerah berbahaya, tapi menjauhi tempat tsb bukan persoalan mudah. Membangun kehidupan baru di tempat lain tidak sesederhana yang kita bayangkan. Jangan samakan masyarakat umum dengan pejabat dan PNS,  begitu pindah tugas hanya  pindah rumah, gaji dan penghasilan sudah menunggu. Secara psikologis, masyarakat petani, peternak dan nelayan sangat dekat dengan alam. Mereka nyaris tidak dapat berpisah dengan alam di mana mereka hidup.   
Mengingat Merapi rutin meletus dalam siklus 4-5 tahun, ada beberapa langkah antisipasi untuk meminimalisasi bahaya, kerugian dan jatuhnya korban. Sepeninggal Mbah Maridjan, sudah waktunya masyarakat lebih rasional, artinya begitu Merapi menunjukkan tren membahayakan, mereka langsung mengungsi. Alasan-alasan seperti belum menerima bisikan gaib untuk mengungsi, atau ada wangsit agar tidak memgungsi, sebaiknya dikesampingkan. Kenyataannya masih ada warga yang berpendirian begitu. Warning dari Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Surono, agar warga menjauh dulu sementara Merapi meletus, seringkali sulit ditaati warga.
Dulu ada setengah pakar mengusulkan dekat pemukiman disediakan bungker, agar tiap Merapi meletus warga bisa bersembunyi. Tewasnya dua orang yang bersembunyi di bungker (2006), saking panasnya wedus gembel, menunjukkan bungker bukan solusi. Awan panas mungkin lebih berbahaya ketimbang bom.
Pemeriintah pusat dan daerah hendaknya menyediakan tempat penampungan pengungsi yang signifikan. Yang ada sekarang bangunan-bangunan publik dan lapangan yang disulap jadi tempat pengungsian. Alangkah baiknya disediakan tempat khusus, dilengkapi MCK dan tempat tidur yang memenuhi syarat kesehatan dan keamanan. Fakta di lapangan pengungsi sering mengeluhkan minimnya air bersih dan sarana MCK.
Pengungsi dan relawan hendaknya bersama-sama mengungsikan ternak penduduk dan disediakan tempat penampungan beserta pasokan makanannya. Ini sangat penting, sebab sekali lagi warga tidak dapat berpisah dengan ternaknya. Seiring itu pemerintah dan pengusaha hendaknya membeli hewan ternak itu dengan harga layak, untuk didistribusikan ke daerah lain yang memerlukan. Kalau ternaknya sudah aman, warga akan tenang, dan bagi yang enggan mengungsi dapat dilakukan upaya paksa.
Last but non least tentu berbagai pendekatan lain sangat dibutuhkan. Kita salut dan berterimakasih atas banyaknya spontanitas warga, pengusaha, pekerja pers, dermawan dan relawan yang turun tangan membantu korban bencana. Bahwa ada pejabat dan wakil rakyat yang kehilangan sense of crisis dan lebih suka bepergian ke luar di tengah bencana yang menimpa bangsanya, itu soal lain.
 Semoga berbagai bencana di negeri ini cepat berlalu dan kita semua sadar akan kuasa Tuhan, agar lebih menaati ajaran agama dan menjauhi hal-hal yang mengundang murka-Nya. Semoga sesudah bencana ini ada kehidupan yang lebih baik. Amin.

Ketua RW 10 Kelurahan Pekapuran Raya Banjarmasin  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar