Rabu, 01 Desember 2010

Kebanggaan Berbahasa

Kebanggaan Berbahasa

Oleh: Ahmad Barjie B

Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang mudah dipelajari. Pasalnya, dalam bahasa Indonesia ada kesamaan antara tulisan dengan bacaan, menggunakan huruf Latin, banyak huruf hidupnya, tidak ada perubahan kata akibat perubahan masa (lalu, kini dan akan datang), serta tidak ada perubahan akibat berbedanya pelaku (perorangan dan jamak). Masih banyak lagi kemudahan bahasa ini. Karena itu turis asing atau siapa saja yang pernah beberapa hari tinggal di Indonesia, mereka akan cepat memahami bahasa Indonesia.
Tetapi kefasihan berbahasa sangat tergantung pada penjiwaan, pelatihan dan pembiasaan. Tanpa itu kefasihan dan kelancaran berbahasa akan hilang. Mahasiswa yang ketika kuliah hampir bisa menguasai bahasa Inggris misalnya, jika sehabis kuliah tidak mempelajarinya lagi dan tidak pula menggunakannya dalam bahasa praktis, tentu kemampuannya akan hilang. Sebaliknya anak SMA yang rajin belajar bahasa asing secara teori dan praktik, akhirnya mahir berbahasa asing. Urang Kalua, Amuntai atau Kandangan, jika masih tinggal bersama komunitasnya atau sering pulang kampung, tentu bahasa daerahnya akan terpelihara, begitu juga sebaliknya.
Presiden AS Barack Obama yang baru-baru ini menunda kembali kunjungannya ke Indonesia dan berencana akan berkunjung musim panas Juni 2010 mendatang, pernah tinggal di Indonesia selama tiga-empat tahun (1967-1970). Dalam sejumlah buku tentang Obama, misalnya ”Dari Jakarta ke Gedung Putih”, dan ”Anak Menteng Jadi Presiden AS”, diceritakan Obama hanya butuh waktu setengah tahun untuk fasih berbahasa Indonesia sebagaimana anak-anak Indonesia lainnya. Hal itu karena kecerdasan sekaligus keaktifannya bergaul dengan anak-anak Menteng di zamannya. Di samping ayah tirinya Lolo Sutoro orang Indonesia dan ibunya Ann Dunham yang lama bekerja di Jakarta juga fasih berbahasa Indonesia.
Tetapi mengapa sekarang Obama tidak begitu lancar lagi berbahasa Indonesia? Lewat Putra Nababan, wartawan RCTI yang mewawancarai Obama di Gedung Putih, Obama mengatakan ia menyukai bahasa, budaya, makanan dan gaya hidup orang Indonesia. Tetapi bahasa Indonersianya hanya bisa sedikit. Hal itu disebabkan, katanya tidak banyak imigran Indonesia yang bermukim di Amerika, sehingga Obama kesulitan untuk menemukan dan berinteraksi dengan mereka.
Meskipun demikian, Obama masih dapat mengingat beberapa istilah dalam bahasa Indonesia. Di antaranya, ia masih bisa mengucapkan: assalamu’alaikum, apa kabar, baik-baik saja, masih bisa sedikit, makan bakso, sate, nasi goreng, cerita wayang, tokoh hanoman, selamat jalan, dan terimakasih.
Dengan hanya beberapa istilah yang keluar dari mulut Obama, tak urung hal itu kelihatannya sangat membanggakan bagi orang Indonesia. Orangtua dan anak-anak sama-sama kagum karena ternyata Obama masih punya ”inguh” Indonesia. Meski hanya sedikit dan tentu tidak cukup untuk mengatakan Obama dekat dengan Indonesia.
Mengapa ada kebanggaan demikian?. Menurut saja karena: Pertama, bahasa Indonesia belum menjadi bahasa internasional, sehingga kalau ada orang asing yang bisa berbahasa Indonesia, kita akan bangga. Berbeda dengan bahasa Inggris, karena sudah go international sejak lama, maka banyak bangsa di luar Inggris dan Eropa yang mampu membahasakannya. Meski begitu sebagian pemakai bahasa Inggris tetap gembira jika ada orang luar yang mampu menggunakannya, sebab minimal hal itu memudahkan komunikasi. Ketika Olga Syahputra bercanda dengan Menlu AS Hillary Clinton yang berkunjung ke Indonesia dengan menggunakan bahasa Inggris yang tersendah-sendat, Hillary justru memuji. Katanya english ability Olga lebih bagus ketimbang kemampuan Hillary berbahasa Indonesia.
Kedua, Obama adalah orang besar, presiden AS, sehingga ada kebanggaan karena ia pernah tinggal di Indonesia dan masih punya memori tentang Indonesia. Sekiranya orang biasa, mungkin kebanggaan kita tidak seberapa. Paling-paling kita merasa mudah berkomunikasi dengan mereka. Bahkan bagi orang yang ingin berlatih bicara bahasa Inggris, tentu akan kecewa jika bule yang didekatinya ternyata bisa berbahasa Indonesia.
Mengutamakan bahasa sendiri
Sepanjang bahasa Indonesia belum menjadi bahasa internasional, sulit bagi kita untuk melihat bahasa ini digunakan dalam pergaulan dan komunikasi antarbangsa. Apalagi belajar dari kasus Obama, tergambar begitu mudahnya bahasa Indonesia terlupakan setelah seseorang kembali ke negara asalnya. Barangkali hanya sedikit orang, seperti peneliti dan Indonesianis William Liddle asal AS atau Sydney Jones asal Australia yang tetap setia menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini karena mereka memang berkepentingan untuk tetap memelihara kemampuannya berbahasa Indonesia.
Jika memungkinkan, alangkah baiknya jika Obama berkunjung ke Indonesia nanti, dia dipaksa menggunakan bahasa Indonesia. Teks pidatonya bisa dibuatkan oleh pihak kedutaan atau pihak Indonesia sendiri. Bukankah para petinggi kita jika berkunjung ke negara lain juga dituntut menggunakan bahasa tuan rumah (Inggris).
Apabila kita ingin bahasa Indonesia eksis, berkembang dan maju, tidak ada jalan lain kecuali bangsa kita sendiri yang harus bangga dan konsisten menggunakannya. Jangan mengharap orang lain menggunakan bahasa kita, sebab masing-masing bangsa, ras dan etnis memiliki fanatisme terhadap bahasa nasionalnya sendiri.
Jika kita amati sekarang bahasa Indonesia sudah mengalami krisis dalam penggunaannya. Semakin banyak anak bangsa, terutama di kalangan generasi muda, yang sepertinya kurang percaya diri untuk berbahasa Indonesia. Nuansa bahasa asing sering sekali dicampuradukkan dengan bahasa Indonesia, sehingga terjadi kekacauan berbahasa. Bahasa yang digunakan di televisi, radio dan iklan semakin menampakkan terjadinya gejala degradasi bahasa Indonesia. Pelajaran bahasa Indonesia dalam rangka menjadikan warganegara ini mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar, sepertinya tidak begitu diperhatikan.
Dalam kehidupan beragama, terutama bagi umat Islam memang disuruh untuk belajar bahasa Arab agar mudah dalam memahami agama dari sumber aslinya. Dan di tengah arena kehidupan global sekarang, kita juga dituntut untuk belajar bahasa asing seperti Inggris, Jepang, Mandarin, dll. Tetapi tuntutan itu tidak berarti kita harus meninggalkan bahasa kita sendiri yaitu bahasa Indonesia. Karena itu dari sekarang mari kita membangun kebanggaan dan kesetiaan untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia.
Juga bahasa daerah
Di tengah kemerosotan penggunaan bahasa Indonesia, ternyata bahasa daerah juga mengalami krisis. Terutama bagi masyarakat Banjar, ada kesan seolah kurang percaya diri jika menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi antarsesama komunitas. Ada kekhawatiran akan dianggap kampungan dan udik jika menggunakan bahasa daerah yang khas. Berbeda dengan suku Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Minang, Batak dan Dayak yang masih konsisten memelihara bahasa daerah (bahasa ibu) mereka. Pada beberapa instansi kabupaten/kota/kecamatan di Jawa, bahasa daerah justru diwajibkan sebagai bahasa komunikasi resmi di hari-hari tertentu. Dalam khutbah pun kadang menggunakan bahasa Jawa, bahkan ada buku khutbah yang sengaja disusun dengan bahasa Jawa.
Kita merasa berterima kasih karena masih ada media di Kalsel yang mengangkat cerita-cerita berbahasa daerah. TVRI Kalsel melalui habar banua (bajajanak banua) hari Ahad, serta Banjar TV melalui Habar Si Utuh dan Si Diyang, juga menggunakan bahasa daerah. Tentu saja kita harapkan bahasa daerah dimaksud benar-benar khas daerah, bukan sekadar mengubah huruf e menjadi a atau o menjadi u. Pakar bahasa Banjar yang masih hidup semisal budayawan Drs H Syamsiar Seman, perlu dimanfaatkan keahliannya untuk menghidupkan bahasa Banjar yang benar-benar asli Banjar. Bahasa Banjar kaya dengan dialek dan subdialeknya, tentu akan sangat menarik jika ada media elektronik yang menyajikan keragaman tersebut, sehingga dapat diketahui bahasa Banjar Hulu, Kuala dsb (Tabalong, Kelua,. Amuntai, Alabio, Barabai, Negara, Kandangan, Martapura, Banjarmasin, Pelaihari, Marabahan). Kita yakin, semakin banyak nuansa kedaerahan, media-media cetak dan elektronik akan semakin dekat dengan pembaca dan pemirsanya. Dan hal ini sejalan pula dengan substansi UU Penyiaran yang menghendaki agar media lokal semakin bernuansa kedaerahan.
Ke depan kita harapkan bahasa daerah akan kembali hidup. Untuk itu tentu semua orang dituntut saling menghargai. Tidak menjadikan bahasa daerah sebagai lelucon untuk mengejek penggunanya. Jika ini yang terjadi dapat mengakibatkan ketersinggungan, sebab orang akan tersulut emosinya jika bahasanya diledek oleh orang dari komunitas lain. Sekali lagi, kita harus bangga dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah kita. (Penulis, urang Kalua-Tabalong tinggal di Banjarmasin).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar