Rabu, 01 Desember 2010

Kriminalisasi Poligami dan Nikah Siri

Kriminalisasi Poligami dan Nikah Siri

Oleh: Ahmad Barjie B

Dalam sebuah acara debat televisi, diangkat tema tentang poligami dan nikah siri. Ini menyikapi rencana pemerintah (Departemen Agama RI) menyusun RUU yang akan mengancam pidana bagi pelaku poligami dan nikah siri. Di antara tokoh yang berdebat adalah Dr Musdah Mulia versus Munarman, SH.
Seperti halnya debat-debat terdahulu dengan tema lain, debat kali ini pun terasa keras dan saling menyudutkan. Musdah bersama kubunya berpendirian, mengingat perkawinan merupakan ikatan yang sangat kuat maka harus dicatat, sebab tanpa itu hak-hak istri dan anak akan mudah terabaikan.
Sedangkan Munarman, yang beberapa waktu lalu bersama FPI pernah terlibat perseteruan dengan AKK-BB berpandangan, jika pemerintah ingin melindungi istri dan anak, seharusnya di dalam RUU justru ditambah dengan dictum bahwa istri dan anak hasil poligami dan perkawinan yang tidak tercatat sama haknya dengan hak-hak istri dan anak dari perkawinan tercatat. Pihaknya tidak menolak pencatatan perkawinan, tetapi pemerintah tetap harus toleran terhadap perkawinan monogami maupun poligami, yang karena alasan-alasan tertentu tidak tercatat.
Di tengah dua kubu yang berbeda, kalangan NU bersikap lebih moderat. Para ulama NU berpandangan, poligami dan nikah siri tidak perlu diancam dengan sanksi pidana, karena hal itu terlalu berlebihan. Cukup dengan sanksi administratif seperti yang selama ini berlaku.
Realitas sosial
Pernikahan, poligami, nikah siri dan sejenisnya lebih merupakan urusan private, keluarga dan sosial. Agama sudah mengatur secara tegas dan jelas, tapi mudah dan sederhana. Negara sebaiknya tidak terlalu jauh campur tangan, karena muaranya mempersulit sesuatu yang mudah, memperumit yang sederhana. Substansi RUU tidak akan menyelesaikan masalah.
Kecenderungan poligami sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Di era jahiliyah, keinginan poligami direkayasa dengan tukar menukar istri, peminjaman istri untuk digauli pria yang tinggi statusnya, kerjasama sejumlah pria untuk menghamili para wanita, yang jika hamil diserahkan kepada wanita itu memilih calon suaminya, serta pelacuran seperti banyak terjadi sekarang.
Di era raja-raja Jawa juga tumbuh pergundikan dan istri selir, di mana raja punya piluhan selir, sehingga lahir sejumlah anak haram (lembu petenge) dengan status sosial yang sangat diskriminatif dibanding istri resmi dan anak sah. Di era sekarang, gaya ini dilakoni lewat kumpul kebo, seks bebas, perselingkuhan dan pelacuran yang semakin dianggap lumrah dan punya legalitas. Pelakunya sudah diberi nama terhormat sebagai pramunikmat atau pekerja seks komersial, bukan lagi WTS, lonte, sundal alias lahung dalam bahasa Banjar. Perilaku begini layak disebut dekadensi moral yang sebenarnya.
Memang ada problema yang dirasakan pelaku poligami, sebagaimana dalam perkawinan monogami pun tak sunyi dari masalah. Tetapi poligami lebih mulia dan tidak bisa disamakan dengan pelacuran, bahkan dapat meminimize pelacuran. Seorang tokoh mengatakan di negara yang melegalisasi atau mempermudah poligami, pelacuran sangat minim. Kalau poligami dipersempit, apalagi sampai diancam pidana, kita khawtair praktik pelacuran akan tambah subur. Ini justru merendahkan dan menghancurkan masa depan wanita dan anak-anak. Pelacur primadona sekalipun tetap merana di hari tuanya. Bursa seks komersial persaingannya sangat ketat karena semakin banyaknya pelacur ABG. Tidak jarang para WTS harus dihadapkan pada dunia yang keras untuk memenangkan persaingan.
Bukan merendahkan
Konsep poligami dalam Islam bukan untuk menghina dan merendahkan wanita, bukan pula sebagai pemuas nafsu belaka. Tapi justru untuk memberdayakan, melindungi, menghormati derajatnya dan mempersiapkan masa depannya. Kalau dalam praktiknya ada pelaku poligami yang menyimpang, itulah yang harus diluruskan, bukan menyerang konsep poligami yang bersumber dari agama.
Dalam Islam, keadilan memang persyaratan utama poligami (QS an-Nisa: 3), dan Nabi mengancam suami yang tidak adil kepada istri-istrinya di akhirat kelak akan berjalan miring. Menurut Sayyid Sabiq, suami yang tidak mampu berlaku adil, haram berpoligami. Namun konsep adil dalam Islam sederhana, cukup adil dalam hal nafkah makan/minum, pakaian dan tempat tinggal, serta waktu giliran secara proporsional. Bukan adil dalam cinta kasih dan hal-hal yang di luar kemampuan suami, yang tentu ada nuansa perbedaan satu sama lainnya. Jika keadilan ini yang dipegang pada dasarya banyak suami sudah berlaku adil. Kini banyak pria kaya, tapi karena sulit beristri lagi akhirnya mereka jajan, dan istrinya merestui. Asal jangan kawin silakan, dosa tanggung sendiri. Prinsip ini tentu tidak normal, bahkan tidak bertanggung jawab, boros secara ekonomi, belum lagi risiko penyakit dan dosa berkepanjangan.
Peryaratan poligami sebagaiman diatur oleh UUP sudah baik, namun sulit sekali dilaksanakan, sehingga banyak terjadi pelanggaran. Barangkali pakar hukum dapat meninjaunya kembali, supaya di satu sisi poligami tidak ditutup rapat, tetapi di lain pihak pelaku poligami dapat berbuat adil. Bagaimana pun poligami tidak dapat dianggap illegal, karena manfaatnya juga banyak, di samping sisi negatifnya yang harus diminimalisasi sekecil mungkin.
Agar suami bisa berbuat adil tidak terlepas andil istri. Istri tua jangan menguasai harta dan waktu suaminya, sehingga sulit sekali bagi suami adil pada istri mudanya atau sebaliknya. Salah seorang istri atau orang ketiga tidak boleh memprovokasi agar seorang suami menceraikan salah seorang istrinya. Nabi Saw memperingatkan, bukan termasuk golongan umat beliau orang yang minta suami menceraikan salah seorang istrinya (HR. Abi Daud). Beliau juga melarang istri mendominasi harta suaminya, sehingga salah seorang istri hampir tidak kebagian, karena pada dasarnya masing-masing sudah ada rezekinya (HR. Abi Daud).
Bila konsep keadilan yang diajarkan agama dapat diterapkan, tentu perkawinan poligami akan mendatangkan manfaat. Sebaliknya, bila dilanggar tentu mendatangkan mudarat.
Perkawinan sehat
Manusia dewasa normal perlu menyalurkan libido seksualnya secara proporsional. Menurut Syekh Sayyid Sabiq, kawin (nikah) merupakan jalan paling halal, sehat dan bertanggung jawab sebagai penyaluran libido. Berbagai hasil penelitian modern mengungkapkan, perkawinan berkorelasi positif dengan kesehatan fisik, mental, kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual, individual dan sosial, serta menjauhkan orang dari stres, depresi dan penyakit lain. Umur manusia yang kawin rata-rata lebih panjang daripada pria dan wanita yang membujang sepanjang hidup, begitu pula fisiknya lebih awet muda.
Orang Indonesia belum memanfaatkan potensi otaknya secara mamsimal. Menurut Dr Taufik Pasaik, MAg, MKes dari Universitas Samratulangi Menado, otak wanita masih dipenuhi rasa cemburu dan otak prianya dipenuhi oleh nafsu dan fantasi seks. Saat ini marak pornografi dan pornoaksi; aurat wanita: paha, dada, pusar, dan dan wanita berpakaian seksi terlihat di mana-mana. Dalam suasana demikian, orang semakin didominasi fantasi seks, sehingga waktunya terbuang percuma untuk berkhayal. Akibatnya orang Indonesia kurang produktif.
Sekiranya fantasinya disalurkan lewat nikah, termasuk poligami, sangat mungkin manusia akan lebih cerdas dan produktif. Seorang teman poligam, ternyata sukses dengan gelar kesarjanaan puncak, istri-istrinya rukun, semangat kerjanya tinggi dan ekonominya juga bagus. Baginya tidak ada lagi waktu untuk berkhayal. Istirahat dan tidur lebih nyenyak, bangunnya sudah fresh. Dalam keluarga ini poligami tidak masalah, yang mempermasalahkan justru orang lain.
Libido seksual sama-sama dimiliki pria dan wanita, hanya ekspresinya yang berbeda. Libido yang dimiliki pria ada yang rendah, sedang dan kuat. Bagi yang sedang, poligami diperlukan karena ada kalanya istrinya sakit, malas, capek, enggan, tidak mood, ditambah tamu bulanan (haid), nifas dan atau sering bepergian keluar daerah tanpa disertai istri. Terlebih bagi pria yang libidonya kuat, jelas tidak cukup dilayani seorang istri. Bagi mereka ini menikahi lebih dari seorang istri sesuai kemampuannya merupakan salah satu alternatif. Dengan berpoligami, suami terselamatkan dari berbuat dosa. Wanita dan anak akan punya status hukum agama yang jelas.
Mengingat penting dan manfaat perkawinan di atas, nikah siri atau bawah tangan, karena berbagai alasan, tetap perlu diberi peluang. Misalnya mahasiswa yang sudah lama berpacaran, sedangkan untuk menikah resmi belum memungkinkan, maka nikah siri dapat dijadikan alternatif menyelamatkan mereka dari perzinaan. Apa gunanya menunda-nunda pernikahan, sementara praktik pernikahan (hubungan suami istri) sudah mereka lakukan. Poligami dan nikah siri jelas salah jika suami tidak mampu atau hanya ingin mempermainkan winita. Tapi kalau bertanggung jawab mengapa harus dihalang-halangi.

1 komentar:

  1. Terkena masalah kehidupan: madalah asmara, madalah karir jabatan, mslh kesehatan, menetralisir energi negatif, pagar ghoib dll.Telpon langsung: 0815 6766 2467.

    BalasHapus