Minggu, 23 Desember 2012

Panas Dingin Indonesia – Malaysia



Panas Dingin Indonesia Malaysia

Oleh: Ahmad Barjie B

Hampir setiap bangsa serumpun yang membentuk dua negara atau lebih selalu diwarnai hubungan yang tidak harmonis bahkan perang saudara. Amat banyak contohnya,  seperti India - Pakistan dan Bangladesh, Irak - Iran dan Kuwait, Korea Utara dan Korea Selatan,  Vietnam - Laos dan Kamboja, Serbia dan Bosnia Herzegovina, dan terakhir Sudan dan Sudan Selatan yang oleh barat diprovokasi dan dipisah menjadi dua negara.
Itu sebabnya sejumlah negara besar seperti RR Cina sangat kuat dan fanatik mempertahankan integritas wilayahnya. Menyusul Hongkong dan Makao yang sudah bergabung setelah terpisah sekian lama, Cina tetap mengupayakan agar Taiwan juga bersatu dalam Cina Daratan. Sampai kiamat, pemerintah Cina seperti tidak akan pernah mau melepaskan Taiwan dan sejumlah wilayah yang juga sering bergolak seperti Tibet dan Sinkiang (Uighur).
Hubungan Indonesia dengan Malaysia termasuk kategori ini. Sejak orde lama, kedua bangsa serumpun ini sudah ”bermusuhan”, bahkan terlibat peperangan yang disebut konfrontasi Indonesia - Malaysia. Presiden Soekarno memang berobsesi menyatukan kedua bangsa serumpun dalam satu negara: Indonesia Raya. Soekarno menuduh, Malaysia yang ingin berdiri sendiri sebagai antek kolonialisme Inggris dan Amerika, sehingga saat itu muncul slogan permusuhan: Ganyang Malaysia, Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme-imperialisme).
Proyek Ganyang Malaysia ini rencananya ditangani oleh Angkatan V, yaitu lima juta rakyat akan dipersenjatai atas bantuan RR Cina, hal mana sangat ditentang oleh para jenderal TNI-AD. Belum kesampaian, proyek ini justru dimanfaatkan oleh PKI untuk persiapan kudeta G 30 S PKI 1965. Latihan semimiliter di sekitar bandara Halim semula dikira pembekalan untuk menghantam Malaysia, tak tahunya justru untuk membunuh para jenderal (Ahmad Yani cs).
Keinginan Soekarno agar di Malaysia Timur (Sabah dan Serawak) dilakukan referendum, supaya rakyatnya diberi kebebasan memilih ikut Indonesia atau Malaysia, juga ditolak Malaysia. Konon banyak rakyat Malaysia di Semenanjung Malaka, Sabah dan Serawak bersedia bergabung, karena sama seagama dan sama serumpun (Melayu). Tetapi elitnya tidak mau, mereka khawatir kalau bergabung hanya orang Jawa yang akan berkuasa. Hal ini menjadikan Soekarno makin marah, akibatnya permusuhan terus terjadi hingga akhir kekuasaannya.

Tetap Berlanjut
Dulu orang mengira, naiknya Pak Harto yang memilih merehabilitasi dan menormalisasi hubungan kedua negara, akan mengakhiri nuansa permusuhan. Prakiraan ini ada benarnya, karena di masa Pak Harto memang relasi kedua negara cukup bahkan sangat harmonis. Hal ini disebabkan Pak Harto sendiri merupakan presiden yang kuat dan disegani. Dia tidak banyak bicara, tetapi di balik senyumnya dunia menganggap Indonesia memiliki kekuatan. Orang Malaysia pun banyak belajar ke kita.
Sementara di Malaysia sendiri juga terjadi pergantian tampuk kekuasaan. Selepas Perdana Menteri (PM) Tun Abdurrahman yang bermusuhan dengan Soekarno, Malaysia dipimpin oleh sejumlah PM yang lebih bersahabat seperti Tun Hossein Onn, Tun Abdul Razak, Mahathir Mohammad dan seterusnya. Bahkan Mahathir sangat berteman baik dengan Pak Harto hingga akhir hayatnya.
 Tetapi belakangan, setelah turunnya Pak Harto, kembali nuansa perseteruan menyeruak. Penyebabnya sangat kompleks, mulai dari masalah perbatasan dan perebutan sejumlah pulau yang dipersengketakan seperti Simpadan, Ligitan dan Ambalat, pencuriaan ikan oleh nelayan Malaysia atau sebaliknya, masalah cukong kayu, hingga tenaga kerja. Tidak terhitung TKI kita yang tewas, dihukum, diusir dan dilecehkan di Malaysia. Belum lagi soal seni budaya yang juga diklaim Malaysia.
Terakhir isunya adalah penghinaan oleh mantan Menteri Penerangan Malaysia Zainuddin Maidin, terhadap mantan Presiden BJ Habibie yang dianggapnya pengkhianat bangsa, dan anjing imperialis barat karena bersedia melepaskan Timor Timur, yang itu berarti juga mengkhianati Pak Harto yang telah berjuang mengintegrasikannya dalam NKRI. Belakangan, Gus Dur juga menjadi objek cercaan Maidin atas pemikiran pluralisme agama yang tak saja ditawarkan Gus Dur di Indonesia juga Malaysia.
Hari-hari ini, walau SBY berkunjung ke Malaysia dan disambut dengan hangat oleh pemerintah setempat, bahkan diberi gelar Doktor Honoris Causa, nuansa perseteruan tetap ada. Lebih-lebih karena Zainuddin Maidin menolak minta maaf dan seolah merasa benar dengan tuduhannya yang menyakitkan dan berlebihan itu. Di televisi, anggota DPR Teguh Juwarno dan Maidin pun terlibat perang kata-kata.

Sikap Kita
Haruskah kita berperang dengan negara tetangga ini?. Tentu saja tidak perlu, karena tidak ada gunannya. Dilihat dari segi agama dan kedekatan teritorial, perang fisik kedua bangsa/negara sangat tidak menguntungkan.
Lantas bagaimana agar hubungan kedua negara tidak diwarnai suasana tegang?. Pertama, kita perlu memahami psikologis rezim penguasa setempat. Partai UMNO yang berkuasa puluhan tahun di Malaysia tidak menyukai adanya tokoh oposisi yang berpengaruh seperti Anwar Ibrahim.  Kenyataannya Anwar Ibrahim begitu diterima dan memiliki banyak sahabat di Indonesia seperti Akbar Tanjung, Amien Rais, BJ Habibie dan lainnya. Karena itu pertemuan Habibie – Anwar, meski atas undangan Anwar tetap saja disikapi dengan sebal oleh sebagian elit Malaysia. Tulisan Maidin yang menyerang Habibie sangat mungkin karena faktor ini, sebab dia salah seorang tokoh UMNO. Anwar menyebut sikap itu sebagai arogansi kekuasaan yang masih banyak menghinggapi elit pemerintah Malaysia.
Kedua, sependapat dengan Jusuf Kalla, kalau kita tak mau berperang, maka pernyataan keras di sebuah koran harus dibalas dengan pernyataan keras pula di koran yang sama. Pernyataan keras yang bersifat klarifikasi menjadikan tulisan yang bernada menghina itu akan kehilangan kredibilitas di mata publik pembaca Malaysia.
Ketiga, kita perlu memiliki persenjataan yang kuat, baik angkatan darat, laut maupun udara. Tujuannya bukan untuk beperang dengan Malaysia atau negara manapun, tetapi sebatas untuk menjaga kedaulatan dan harga diri bangsa. Mengapa AS begitu ditakuti dunia, padahal negaranya tak sebesar Cina, Rusia dan gabungan negara muslim, tentu karena power army AS yang belum tertandingi. Indonesia negara besar, tetapi alat utama sistem senjata (alutsista) lemah dan ketinggalan zaman. Negara-negara lain tahu itu, sehingga negara kita kurang disegani.
Keempat, keberadaan TKI/TKW di luar negeri termasuk Malaysia sudah waktunya dikurangi. Banyaknya buruh migran, menjadikan mereka rentan pelecehan dan negara asal mereka (Indonesia) kurang dihormati. Anak saya sering berfisbuk dengan orang luar negeri, ketika mengenalkan diri dari Indonesia, mereka bilang: Oh, Indonesia yang negerinya para PRT itu ya, katanya. Jadi ada stereotip yang merugikan.
Sudah waktunya pemerintah, pengusaha dan segenap pihak membuka lebar peluang kerja dan usaha, agar kecenderungan mencari kerja di luar negeri berkurang. Hanya sektor yang padat teknologi saja, sehingga orang kita yang ahli lebih aman, terjamin dan terhindar dari pelecehan. Tak mungkin Indonesia yang begitu luas dan kaya tak mampu memberi makan rakyatnya sendiri. (Banjarmasin Post, 24 Desember 2012).

Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2012

Senin, 12 November 2012

Dihujani SARA Obama Tetap Menang

Dihujani SARA Obama Tetap Menang

Oleh: Ahmad Barjie B

Selama ini umat Islam Indonesia sering dituding suka menggunakan isu SARA dalam pemilu legislatif, presiden dan kepala daerah. Ternyata di Pilpres Amerika baru lalu, isu ini juga hadir.

Amerika sebagai kampiun demokrasi pun tak luput dari isu ini. Dalam konteks Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2012 pekan lalu, calon incumbent Barrack Obama Obama lagi-lagi disudutkan dengan isu SARA.

Menjelang pemilihan tadi, beberapa situs internet gencar memberitakan bahwa sejumlah gereja di AS menyebut Obama beragama Islam. Penyebutan ini dimaksudkan agar publik AS tidak memilih Obama menjadi presiden AS untuk periode kedua. Diduga  isu tsb sengaja dilempar oleh kubu dan pendukung Pitt Romney dari Partai Republik.

Ternyata isu itu tak menghalangi Obama untuk kembali berkantor di Gedung Putih memimpin rakyat Amerika yang sangat beragam itu.

Sebenarnya, issu SARA dalam pilpres AS bukan hal baru. Dulu, bahkan hingga hari ini, calon presiden AS seolah harus beragama Kristen (Protestan). Penganut agama di luar Protestan amat sulit masuk bursa calon presiden.

Memang mayoritas warga AS beragama Kristen. Akar sejarahnya, di abad pertengahan Inggris dikuasai oleh penguasa Katolik. Salah seorang penguasa, yaitu Maria Tudor yang masih keluarga dekat Ratu Elizabeth I, sangat kejam terhadap penganut Protestan.

Akibatnya banyak penganut Protestan yang lari, mengasingkan diri, mencari benua baru, salah satunya lari ke Amerika. Tak hanya Inggris, beberapa negara Eropa lain juga terjadi perang agama antara Katolik vs Protestan selama puluhan tahun.

Warga AS sekarang umumnya keturunan mereka yang lari karena alasan agama bernuansa politik tersebut. Di Amerika,  Kristen berkembang pesat, sedangkan Katolik lebih berkembang di negara-negara Amerika Latin eks jajahan Portugis dan Spanyol.

Karena itu hingga AS punya 44 presiden sekarang, baru satu presiden AS yang beragama Katolik yaitu John Fitzgerald Kennedy. Mengapa Kennedy bisa terpilih, boleh jadi karena ia tampan, briliyan, menonjol dan membawa harapan.

Sayang, tak sampai habis masa jabatannya Kennedy yang akrab dengan mendiang Presiden Soekarno itu tewas terbunuh, padahal usianya masih muda. Beberapa anggota keluarga Kennedy belakangan juga mati misterius. Apakah terbunuhnya Kennedy karena masalah SARA, tak diketahui persis.

Alasan Lemah
Bagi Obama, isu SARA untuk mengalahkannya bukan kali ini saja. Sejak  mencalonkan diri sebagai presiden AS empat tahun lalu, sudah mengalaminya. Kala itu yang dipersoalkan lebih pada ras Obama yang Afro-Amerika berkulit hitam.

Isu ini tak mempan, karena mayoritas masyarakat AS ingin perubahan, dan penduduk AS sendiri sangat heterogen. Tak  mempan, kini “agama” Obama yang dijadikan peluru, dan kembali dia tetap tak tergantikan.

Keberagamaan Obama memang mengandung kontroversi. Kalau melihat ayah Obama, yaitu Husein Obama asal Kenya, serta datuk neneknya yang semua muslim, bahkan paman dan neneknya juru dakwah, seharusnya ia muslim, sebab agama seseorang mestinya ikut ayah dan kakek.

Begitu juga kalau melihat ayah tirinya Lolo Soetoro yang muslim, logikanya ia muslim. Bahkan Obama kecil (Barry) ketika sekolah SD di Jakarta juga mencantumkan dirinya beragama Islam.

Tetapi karena sejak kecil kedua ayah (kandung dan tirinya) bercerai, dan kemudian diasuh, dipelihara dan dididik oleh ibu kandungnya Ann Dunham dan neneknya Madely Dunham di Hawaii, jelas Obama mengikuti agama pengasuhnya.

Sekiranya Obama kecil ikut ayah kandung atau ayah tirinya yang sama-sama muslim, tentu ia akan muslim. Tetapi pasti ia tak akan menjadi presiden AS. Justru atas jasa ibu dan neneknya yang sangat mementingkan pendidikan, Obama bisa jadi orang nomor satu.

Tegasnya, agama Obama tetap saja Kristen. Geneologi Obama, masa kecilnya di Indonesia, sebagian kebijakan dalam dan luar negerinya yang kadang bersimpati terhadap muslim, serta kemampuannya mengucapkan kata-kata seperti assalamu’alaikum, sama sekali tidak cukup untuk menyebut Obama muslim.

Semua itu lebih merupakan pragmatisme dan standar ganda pemimpin dan orang Amerika yang sejak dulu sudah menjadi trade-mark mereka. Untuk keuntungan politik dan ekonomi, mereka tak keberatan bersikap simpatik. Atas pertimbangan ini pula, Amerika tak punya musuh dan teman abadi.

Iran yang kini dimusuhi, di masa Shah Reza Pahlevi justru teman setia AS. Osama bin Laden yang sangat dimusuhi sebelumnya justru ditemani AS untuk melawan Uni Soviet. Hanya Israel yang dijadikan sekutu abadi.

Kebijakan Obama terhadap Israel, Afghanistan dan terorisme global tak jauh berbeda dengan presiden AS lain. Kepada Israel Obama sudah menegaskan, negeri Zionis itu sekutu historis dan terbesar AS di Timur Tengah. Jadi  tak ada alasan bagi Dunia Islam berharap banyak kepada Obama atau presiden AS mana pun.

Disikapi Dewasa

Mengingat AS sebagai negeri teladan demokrasi tak lepas dari isu SARA, maka isu ini sepertinya tidak terhindarkan di dunia mana pun, baik karena alasan primordialisme, psiko-sosial, emosional maupun normatif agama itu sendiri.  Adanya isu SARA tidak dapat pula dijadikan indikator primitivisme politik, karena hal sama juga terjadi di negara modern.

Karena itu, meski isu SARA oleh UU Pemilu dilarang diangkat dalam kampanye, tapi jika muncul juga hendaknya dianggap dan disikapi sebagai hal biasa. Tak perlu dibawa ke ranah hukum karena akan debatable dan menambah tegang.

Lebih baik isu ini disambut dengan kedewasaan. Yang penting para calon terus menunjukkan tekad kuat, keyakinan diri dan komitmen untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat. Siapa saja calon pemimpin, biar mengangkat isu SARA kalau kepemimpinannya tidak menyejahterakan rakyat, apalagi koruptif, tetap saja tak terpuji. (*)

Pemerhati Masalah Keislaman tinggal di Banjarmasin
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2012

Kamis, 18 Oktober 2012

Urang Banjar dan Ojek Hajar Aswad

Urang Banjar dan Ojek Hajar Aswad

Oleh:  Ahmad Barjie B

Kalau di Indonesia ada ojek sepeda motor, sepeda, jukung dan perahu (getek), lanting serta ojek payung, di Mekkah justru ada ojek Hajar Aswad, dan ini tentu satu-satunya di dunia.
Mereka ini menjual jasa berupa tenaga dan keahlian untuk mengawal, mendampingi dan menggiring para jamaah haji dan umrah untuk bisa mencium Hajar Aswad.  Jasa tersebut tentu bersifat komersial, dari yang relatif murah sampai tergolong mahal. Bahkan ada yang dikenai biaya sampai 400-500 riyal setiap kali berhasil mencium Hajar Aswad. Uang segitu tentu sangat besar, sebab sama nilainya Rp 1000.000,- lebih. Rata-rata Rp 1.000.000 senilai 400-410 riyal Saudi.
Bagi jamaah yang tidak tahu atau kurang waspada, bisa saja merasa tertekan dan tertipu, tetapi tidak kuasa melawan karena sudah terlanjur. Tak jarang para pengojek itu akan mengambil sendiri dan menguras isi dompet jamaah, dengan atau tanpa persetujuan pemiliknya. Premanisme tidak hanya ada di tanahair, tapi juga di tanahsuci.
Cara mereka, tak jauh beda dengan juru foto di lereng Jabal Rahmah sekitar Padang Arafah yang suka memaksa memoto dan minta dibayar sesuai keinginan mereka. Bedanya, juru foto di Jabal Rahmah kelihatannya  semuanya urang Arab, khususnya Arab badui (pedalaman) yang kehidupannya tidak semakmur Arab perkotaan.
Beberapa waktu lalu, running tex sejumlah televisi nasional memberitakan bahwa banyak dari tukang ojek (joki) Hajar Aswad tersebut yang ditangkap polisi Arab Saudi. Penangkapan tersebut sebenarnya sudah sekian kali dilakukan, tetapi praktik serupa selalu terulang.
Bagi kita, fenomena ini patut digarisbawahi. Pertama, tidak sedikit jamaah asal Banjar yang pernah menyewa pengojek Hajar Aswad tersebut, baik dengan bayaran wajar maupun setengah tertipu. Kedua, kebanyakan para tukang ojek itu justru orang Banjar sendiri. Mereka telah lama bermukim di Mekkah, baik legal maupun ilegal dan mungkin karena kesulitan mencari pekerjaan atau merasa menjadi pengojek Hajar Aswad penghasilannya lebh besar, akhirnya memilih menjalani profesi ini.
Hal itu berlangsung bertahun-tahun dan menjadi pekerjaan rutin setiap hari. Tidak pernah sunyinya jamaah umrah dah haji, menjadikan usaha ini terus digeluti. Sepanjang tidak ada kesadaran untuk menghentikannya dan selama tidak tertangkap petugas, mereka akan terus menikmatinya.

Sulitnya Medan

            Ketika saya bersama M Bushairie Ahmad melaksanakan ibadah umrah atas biaya Haji Achmad (Ketua Umum Badan Pengelola Masjid At-Taqwa) dan Haji Fauzian Noor (owner PT Riyal Tunggal Banjarmasin), bersama jamaah PT Riyal Tunggal pimpinan Ustadz Ahmad Rijani (Tanjung) dan Ustadz Ahmad Subki (Pelaihari) kami menginap di Hotel Retaj, yang berdampingan dengan Tower Zamzam dengan ikonnya jam raksasa.
            Kami sering mengamati dan melakukan obrolan dengan siapa saja. Satu kesempatan kami ngobrol dengan dua orang, satu asal Banjar dan satu dari Jawa, keduanya berdomisili di Arab Saudi secara illegal. Yang satu mengungkapkan pengalamannya bertahun-tahun sebagai pengojek Hajar Aswad,. Katanya, pekerjaan itu digeluti karena terdesak.  Mau berdagang kaki lima, risiko kena razia lebih besar, sebab nyaris tiap hari aparat melakukan razia. Polisi Arab Saudi mudah sekali mengenali mereka, baik dari tampangnya yang Indonesia, maupun wajah ragu, waspada dan ketakutan di tampilan mereka. Kalau sudah razia, mereka lebih menyelamatkan diri daripada barang-barang dagangannya. Barang-barang itu dibiarkan tertinggal dan berhamburan, kadang dipungut oleh jamaah lain secara gratis.
            Menjadi tukang ojek Hajar Aswad lebih aman, karena jamaah yang thawaf dan ingin mendekati Ka’bah dan mencium Hajar Aswad sangat berjubel, berdesak dan berhimpitan. Kalau kita amati, tak sedikit jamaah yang semula ingin mencium, memilih mundur, karena tak mau ambil risiko. Kondisi sulit inilah yang dimanfaatkan para pengojek, mereka lebih tahu caranya karena sudah menguasai medan.
Dalam kondisi demikian, petugas polisi yang ada setiap saat kesulitan untuk mengejar dan menangkap pengojek tersebut, meskipun tentunya mereka kenal karena tiap hari melihatnya. Di antara polisi itu mungkin juga ada yang kasihan dan berusaha memaklumi orang-orang mencari makan di situ. Apakah ada kolusi antara polisi dengan pengojek itu, saya lupa mencari tahu.
            Tetapi, karena sering dihantui rasa khawatir, akhirnya pengojek yang satu ini menghentikan kegiatannya, dan memilih menjadi PRT biasa, meski dengan gaji relatif sedikit dbanding pengojek Hajar Aswad. Kini ia sudah 15 tahun tinggal di Arab Saudi, namun tetap dengan status tenaga kerja ilegal, karena majikannya tak mempersoalkan statusnya itu.
Meski ada yang sadar, tetapi lebih banyak lagi yang tidak mau berhenti. Kebanyakan terus dengan praktik usahanya sebagai pengojek. Selama yang membutuhkan masih besar, selama itu pula mereka akan menjalaninya. Mereka sudah tahu siapa yang akan jadi sasaran. Orang Indonesia dan Banjar yang selama ini sangat menggandrungi Hajar Aswad tentu menjadi sasaran empuk.   

Daya Tarik

Hajar Aswad memang menjadi salah satu daya tarik jamaah mendekati Ka’bah.  Hajar Aswad terletak di sudut sisi tenggara Ka’bah, tingginya 1,5 meter dari permukaan tanah.  Meski namanya berarti batu hitam, tetapi ada nuansa warna putih, kuning dan kemerah-merahan. Ukuran lebarnya 28 cm, tinggi 38 cm, dengan bingkai (amban) yang terbuat dari perak.
Menurut Cyrill Glasse dalam The Concise Encyclopaedia of Islam, diriwayatkan bahwa Nabi Adam adalah orang pertama yang meletakkan Hajar Aswad di Ka’bah. Belakangan batu ini tersimpan di pegunungan Abul Qais Mekkah, dan ketika Nabi Ibrahim dan Ismail membangun kembali Ka’bah, Jibril memberitahu dan membantunya mengeluarkan Hajar Aswad dari gunung dan meletakkan kembali ke sisi Ka’bah.    
            Saat Nabi Muhammad di usianya 35 tahun bersama kaum Quraisy merenovasi Ka’bah pascabanjir dan meletakkan kembali Hajar Aswad di tempatnya, batu ini masih utuh. Tetapi tahun 64 H/683 M terjadi peperangan antara pasukan Bani Umaiyah dengan pasukan Abdullah bin Zubeir di Mekkah. Sebagian Ka’bah  terbakar terkena kobaran api pelontar (manjaniq) tentara. Hajar Aswad retak menjadi tiga bagian disertai sejumlah kepingan.
Tahun 317 H/930 M sekte Qaramithah/Qarmatians (yang merupakan bagian dari kelompok Syiah) menjarah Mekkah, mereka membawa Hajar Aswad ke Hasa-Bahrein. Mereka menawarkan sejumlah uang sebagai tebusannya. Tetapi atas bujukan sekte Fathimiyah (bagian yang lain dari kelompok Syiah), mereka mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula (Ka’bah) tahun 430 H/951 M, tanpa uang tebusan. Saat mengembalikan Hajar Aswad sudah retak menjadi tujuh bagian, dan mereka menuliskannya: “Kami mengambil atas perintah dan mengembalikannya atas perintah”. Perintah siapa, tidak diketahui pasti.  Tampaknya ada unsur politik dan propaganda dari pengambilan dan pengembalian Hajar Aswad tersebut.
Dari cerita di atas, tampak bahwa Hajar Aswad adalah batu khusus yang memang sudah sangat tua dan jadi rebutan. Tapi ia juga benda mati yang tidak terlepas dari gangguan dan keretakan akibat ulah manusia. Nabi Muhammad saw memang menciumnya. Para sahabat juga melakukannya, tetapi mereka tidak fanatik. Suatu ketika saat thawaf, Umar bin Khattab berkata: “Aku tahu, engkau adalah batu yang tidak dapat membawa manfaat dan mudarat, sekiranya aku tak melihat Nabi menciummu, aku tak akan menciummu”.
Kaum muslimin sekarang (jamaah haji dan umrah) mestinya tidak terlalu mengkultuskannya. Tak perlu memaksakan diri, berjejal, berhimpit, terinjak-injak apalagi sampai membayar mahal hanya untuk mencium Hajar Aswad. Bagi yang dapat melakukannya silakan, bagi yang tidak dapat cukup melihat dari jauh atau memberi isyarat. 
Para petugas haji dan umrah hendaknya selalu memberitahukan hal itu kepada jamaah bimbingannya. Dan bagi para pengojek (joki) Hajar Aswad, kalau mau menolong dengan upah juga silakan, tetapi sebaiknya alakadarnya saja, jangan sampai terkesan memeras. Mengambil kesempatan di tengah kesempitan.

Sekretaris Umum Yayasan & Badan Pengelola Masjid At-Taqwa Banjarmasin.
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2012

Awan Wartawan Masih Mendung


Awan Wartawan Masih Mendung

Oleh: Ahmad Barjie B


            Hari-hari ini media cetak dan elektronik banyak memberitakan peristiwa jatuhnya pesawat tempur Hawk 200 milik TNI-AU. Pesawat naas itu jatuh di desa Pasir Putih Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Untunglah pilot selamat setelah terjun menggunakan kursi pelontar.
Kecelakaan pesawat baik sipil maupun militer, meski tidak dikehendaki, sebenarnya merupakan hal biasa karena sering terjadi. Tetapi dalam kasus ini, yang memprihatinkan dan perlu disesalkan adalah terjadinya penganiayaan atau pemukulan terhadap para wartawan yang ingin meliput peristiwa.  
Jurnalis yang kena pukul oleh oknum TNI dari Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru-Riau adalah Didik Hermanto fotografer Riau Pos, Budi Anggoro wartawan Antara, Fakhri kameramen Riau TV, dan Muhammad Arifin kontributor TV One. Satu warga dan dua mahasiswa UIN Syarif Kasim Pekanbaru juga terkena pukulan.
Menyikapi kejadian ini Kepala Staf TNI-AU Marsekal Imam Sufaat sudah meminta maaf. Menurutnya, kecelakaan pesawat tempur sifatnya rahasia. Publik tidak diperbolehkan mendekat dan mengambil gambar, karena terkait kerahasiaan senjata yang mungkin dibawa pesawat.
Panglima Komando Operasi TNI-AU Marsekal Muda Bagus Puruhito menyatakan hal yang sama, dengan menekankan pesawat baru jatuh dilarang didekati karena ada kemungkinan meledak.
Kadispen TNI-AU Marsekal Muda Azman Yunus juga memintakan maaf. Ia memperkirakan kondisi psikologis personel TNI-AU di lapangan yang terkejut dan mengira pilot tewas bersamaan jatuhnya pesawat bisa jadi penyebab tindakan tersebut. Pihaknya berjanji akan menindak pelaku.
Menurut Menko Polhukkam Djoko Sujanto, apa pun penyebabnya, kekerasan seyogyanya dihindari.  Wajar jika wartawan di sejumlah kota melakukan demo sebagai solidaritas kepada rekan seprofesi.
 
Kemerdekaan Pers

Pada dasarnya kita menyambut baik adanya permintaan maaf dari para petinggi TNI AU, disertai rekonsiliasi dengan wartawan segera setelah peristiwa itu terjadi. Tetapi proses hukum terhadap oknum yang melakukan penganiayaan secara vulgar itu sebaiknya tetap ditegakkan, supaya jangan terulang di kemudian hari. Sebelumnya saat terjadi jatuhnya pesawat tempur di bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, kekerasan terhadap wartawan juga terjadi. Pengulangan hal serupa semakin menuntut perlunya penegakan hukum terhadap oknum yang bersalah.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa kemerdekaan pers untuk mencari dan memberikan informasi kepada masyarakat, sebagai salah satu hak dan kewajibannya yang dilindungi undang-undang, belum terwujud secara baik. Padahal peringatan Hari Pers Nasional (HPN) dan HUT PWI ke-58 Februari 2004 lalu sudah berusaha mengangkat tema “Kemerdekaan dan Profesionalisme Pers”.  
Tema ini berangkat dari fenomena  kebebasan pers seakan masih dibatasi melalui berbagai tekanan, yang tidak saja dapat menurunkan  kualitas informasi dan mengancam eksistensi perusahaan penerbitan pers,  bahkan sampai pada membahayakan fisik dan jiwa wartawan.  Di sisi lain wartawan semakin dituntut profesional mengingat tantangan kerja semakin berat dan daya kritis masyarakat juga meningkat.
            Memang wartawan tidak sunyi dari risiko. Di antaranya risiko kematian seperti dialami Sory Ersa Siregar dan Jamaluddin yang meliput konflik Aceh serta penyanderaan Ferry Santoro yang hampir setahun baru dibebaskan oleh GAM.  Tetapi risiko tersebut seharusnya bukan berupa penganiayaan. Untuk itu, semua pihak seharusnya melindungi keselamatan wartawan sebagai warga sipil. Hal ini sudah menjadi ketetapan Konvensi Jenewa dan Indonesia ikut meratifikasinya.

Daftar Panjang

            Penganiayaan terhadap wartawan memang bukan hal baru.  Sebelumnya juga ada kasus wartawan Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin, Naimullah koresponden Sinar Pagi di Pontianak, dan Muhammad Sayuti koresponden Pos Makassar. Diduga keras mereka mati secara tidak wajar, yang kasusnya masih gelap hingga hari ini.
            Bila kita tengok ke luar negeri,  wartawan tewas di medan perang juga tidak sedikit. Dalam perang Irak, tercatat l3 wartawan tewas di arena pertempuran dan 7 orang tewas karena sakit dan kecelakaan lalu lintas di luar medan tempur. Sejumlah wartawan TV Al-Jazeera juga menjadi korban keganasan pasukan koalisi. Setahun sebelumnya 20 orang wartawan tewas dan l36  orang wartawan dipenjarakan oleh berbagai rezim represif di dunia. Belum lagi dalam perang Irak terdahulu (l990), perang Irak – Iran (l980-88), Korea (l954), Vietnam (l975), Kamboja (l988),  Bosnia (l99l), dll. 
            Kita memaklumi adanya wartawan yang tewas di medan perang, karena itu termasuk risiko wartawan perang, meskipun seharusnya mereka dilindungi sebagaimana perlindungan terhadap petugas palang merah atau kesehatan. Yang kita sesalkan adalah penyanganiayaan secara sengaja, seperti banyak terjadi di Indonesia.
Di negeri ini meski angin reformasi menghasilkan kebebasan pers yang luar biasa, namun ancaman terhadap profesi  wartawan juga meningkat. Dalam periode  Mei 2002 – Mei 2003 saja, AJI mencatat sejumlah kekerasan terhadap para jurnalis: 33 kasus dilakukan oleh tentara, 5.6ll kasus oleh polisi, l6.622 kasus dilakukan masyarakat, ll.2l3 kasus oleh aparat pemerintah, 549 kasus oleh orang tidak dikenal, 2.9ll kasus oleh anggota dewan dan l23 kasus oleh partai politik .
            Agar diperoleh informasi akurat, tajam, terpercaya, mencerahkan, berguna untuk kemajuan, kebenaran dan keadilan, wartawan memang harus berani. Keberanian dan kegigihan wartawan sudah dicontohkan oleh para wartawan terdahulu, seperti Mochtar Lubis dan Bur Rasuanto yang pernah meliput perang Korea dan Vietnam yang ganas. Reputasi mereka tidak kalah dengan wartawan perang sekaliber Peter Arnett (eks wartawan CNN), Peter Barnett (Radio ABC Australia) dan Peter Arnelt (UPI). 

Saling Pengertian

            Melihat angka temuan AJI di atas, berarti  masyarakat, aparat pemerintah, kepolisian dan anggota dewan (DPR/D) merupakan pelaku terbesar kekerasan terhadap wartawan. Ini tentu saja sangat memprihatinkan dan seharusnya dihindari, sebab mengingat tugasnya wartawan memang sangat bersentuhan dengan masyarakat, pemerintah, kepolisian, dewan, dll. Tidak mungkin wartawan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan professional sebagai pemberi informasi obyektif, penyalur aspirasi dan kontrol sosial,  bila tidak berhubungan dengan para pihak di atas.
            Mengapa kekerasan itu terjadi di sebuah negara hukum? Boleh jadi karena kita tidak mau menaati hukum dan aturan yang ada, tertutup, terlalu menjaga citra, over depensive, sehingga cenderung merasa benar dan lalu main hakim sendiri. Karena itu kesadaran hukum ini harus lebih ditingkatkan, disertai komitmen untuk menjalankan tugas masing-masing secara fair, jujur, profesional, dengan tidak menutup-nutupi kesalahan dan tidak pula mencari-cari dan membesar-besarkan kesalahan yang sesungguhnya tidak ada.
            Peliputan berimbang pada hari yang sama, alokasi hak jawab pada kesempatan berikutnya mestilah digunakan, dan bila tidak, boleh pula ditempuh jalur hukum lewat pengadilan. Jadi bukan main kayu, pukul, perampasan kamera dan bahasa kekerasan lainnya. Memang mungkin saja ada wartawan yang suka mengompori, tidak imbang, tidak objektif, tidak netral, wartawan gadungan, suka memeras dan mencari uang tanpa jelas identitas dan induk kerjanya. Namun oknum begini tidak bisa digeneralisasi untuk semua wartawan profesional dan masih menjunjung etika profesi.

Menghargai Informasi

            Di era informasi kini, kebutuhan masyarakat terhadap informasi semakin meningkat. Karenanya dari manapun datangnya informasi tersebut harus kita hargai. Wartawan sesuai tugasnya memang bergelut di bidang informasi sebagai penggali, pengolah dan penyaji. 
Irwasda Polda Kalsel (2003) Komisaris Besar Polisi Drs. Sujitno menyatakan, dari mana pun datangnya berita, bagi polisi merupakan sebuah informasi. Nilai informasi tersebut bisa berkategori A l yang dianggap benar l00 persen dan bisa pula sampai F 6 yang kebenarannya 0 persen. Kalau kebenarannya masuk A l, kepolisian harus berterima kasih kepada wartawan, tapi kalau F 6, yang kebenarannya nihil, tidak usah dipakai, untuk itu harus dilakukan klarifikasi lewat media bersangkutan.
            Pada dasarnya kepolisian, pemerintah, anggota dewan dan wartawan punya tugas yang muaranya sama yakni menegakkan hukum, kebenaran, keadilan dan memberdayakan rakyat. Karena itu para pihak harus bekerjasama secara sinergis, yang satu saling membutuhkan dengan yang lain. Bila prinsip dan semangat ini dipahami, tentu kekerasan terhadap wartawan tidak akan terjadi. 
Semua pihak diharapkan mampu meningkatkan kerjasana dan saling pengertian, sehingga ke depan tidak terjadi tekanan terhadap pers dalam berbagai bentuknya atau penyelesaian di luar koridor hukum. Kalau ada pihak dirugikan, sebaiknya ditempuh jalur hukum sesuai  UU Pokok Pers.

Pengamat sosial kemasyarakatan, tinggal di Banjarmasin.


Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2012

Senin, 17 September 2012

Guru dan Karya Tulis


Guru dan Karya Tulis

Oleh: Ahmad Barjie B

Sebuah media edisi 16 Juli 2012 memberitakan “Guru Wajib Bikin Karya Tulis”. Permenpan No. 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya menjadi dasar diwajibkannya guru menulis. Kalau dulu ketentuan ini berlaku untuk guru yang akan naik pangkat dari IVa ke IVb, kini dari IIIb ke IIIc. Menurut Ketua Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) Kalsel Muhammad Marwani, bentuk karya tulis dimaksud adalah artikel di koran dan karya ilmiah lainnya.
Media massa sudah sering menyoroti langkanya guru berkarya tulis. Hal ini menghambat peluang mereka menjadi guru berprestasi daerah dan nasional. Banyak guru juga kesulitan mencapai golongan pangkat tinggi karena terbentur masalah ini. Padahal bersama kualifikasi dan sertifikasi guru, kemampuan menulis tidak bisa diabaikan.
            Guru di Kalsel umumnya minim karya tulis, baik tulisan ilmiah populer di media massa, karya fiksi, laporan penelitian, apalagi buku. Sebenarnya guru berkarya tulis, termasuk buku, bukan mustahil. Buktinya, sejumlah buku ajar SD-SLTA karya para guru di Jawa. Mereka aktif mengajar dan produktif menulis.

Beberapa Kendala
Ada prakondisi dan kendala sehingga karya tulis guru langka dan kemampuan di bidang ini rendah. Budaya tulis di masa lalu kalah oleh budaya tutur. Banyak cerita rakyat dan ungkapan tradisional beredar dari mulut ke mulut, tanpa tahu siapa penulisnya. Ini berlanjut di tengah membanjirnya televisi dan internet, yang lahir filming society, bukan writing society.
Taraf hidup sosial ekonomi masyarakat, termasuk guru dulu relatif rendah karena gaji minim, fokus pikiran hanya mengajar dan mendapatkan penghasilan tambahan. Saren Kiergekaart mengatakan, primum vivere deinde philosophare (hidup dahulu baru berpikir). Menulis menuntut energi  ekstra, serius dan fokus, kurang kondusif jika pikiran kusut oleh urusan perut, kerja dan nafkah. Tetapi seiring membaiknya kesejahteraan guru dewasa ini, alasan perut tidak lagi tepat. Guru harus mencoba dan berusaha menulis. Kalau alasan ekonomi dan waktu terus dijustifikasi, sampai mati pun tidak sempat menulis.
Guru belum memahami tuntutan kompetensi secara komprehensif. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menuntut empat kompetensi guru: kompetensi kepribadian berupa akhlak dan moral terpuji agar bisa diteladani; kompetensi profesional berupa kemampuan menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam; kompetensi paedagogis kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik; dan kompetensi sosial ditandai kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi dengan kalangan eksternal, termasuk masyarakat.
Guru hakikatnya mendidik dan mengajar di sekolah dan luar sekolah. Lewat karya tulis guru menuangkan aspirasi dan pemikirannya untuk perbaikan, pencerahan dan kemajuan peradaban. Belum bisa dikatakan guru seutuhnya jika hanya tenggelam dalam rutinitas mengajar di sekolah tanpa berkarya yang lebih bernilai abadi. Sesuai akar historis guru, yaitu Mpu atau Batara Guru. Tepat ungkapan, verba volent scripta manent, pembicaraan akan lenyap, tulisan akan abadi.
Faktor lain kurangnya motivasi eksternal. Lomba karya tulis yang digelar selama ini hadiahnya kecil, jauh beda dengan lomba lain seperti olahraga, seni, modeling dan kontes kecantikan. Guru yang berhasil membuat karya tulis belum beroleh penghargaan memadai. Kredit poinnya relatif kecil, padahal perjuangan menyelesaikan sebuah tulisan cukup berat, harus banyak membeli, membaca dan menelaah buku serta sumber informasi lainnya. Tulisan guru yang muncul di media massa juga kurang direspon atasan dan sesama guru. Kepala Sekolah cuek saja ketika ada anak buahnya menulis,.padahal untuk bisa dimuat juga berat. Mestinya dimotivasi agar guru-guru lain terangsang menulis.
Masih ada media yang  belum menghargai karya tulis. Ini menghambat motivasi menulis. Sebagian guru, bahkan guru besar dan pakar lebih senang berceramah dan mengisi seminar sebab insentifnya besar dan instant, ketimbang menulis yang belum tentu dimuat dan kalaupun dimuat ada yang tanpa honor.

Saran Masukan
Kalau selalu dicari, ada sederet alasan untuk tidak menulis. Tetapi alangkah bijaknya jika kita berusaha menulis, bagaimana pun caranya. Perlu ditanamkan motivasi internal, menulis itu penting bagi diri sendiri dan orang lain. Apalagi guru senior, tentu sarat pengalaman suka dan duka yang berguna bila mau berbagi cerita. Motivasi tidak harus berupa materi dan uang. Hindari suka melecehkan dan meremehkan karya orang. Cobalah menikmati tulisan sendiri dan orang lain, sehingga tumbuh rasa butuh dan apresiasi. Diharapkan, menulis yang semula beban berubah menjadi kebutuhan. Kalau sudah butuh, waktu menulis pasti akan ada. Umumnya penulis aktif karena kebutuhan, mereka menikmati relaksasi dan orgasme intelektual lewat tulisan. Terus membaca dan menulis membuat kita rendah hati, kita merasa bodoh karena begitu banyak yang kita tidak tahu. Malas membaca dan menulis, membuat kita seolah merasa pintar, padahal sebenarnya bodoh.
Banyak membaca memberi penguatan dan pengayaan ilmu. Membaca berbanding lurus dengan menulis. Jepang banyak menghasilkan karya tulis karena bangsa Jepang gemar membaca. Idealnya guru punya perpustakaan mini di rumah. Bacaan tidak terbatas materi ajar sekolah, juga masalah lain yang terkait atau dianggap penting untuk memperluas wawasan. Selama ini guru-guru minim yang mau berlangganan koran, majalah, jurnal dan membeli buku secara teratur dari uang sendiri. Bahkan buku gratis pun tidak dibaca optimal. Semakin banyak membaca otomatis mendorong menulis. Ibarat air yang dituang ke gelas, menulis adalah limpahan dari membaca. Pada saat sama guru perlu melakukan riset sederhana pada materi asuhannya. Hasil penelitian memotivasinya menuangkan dalam karya tulis.
Secara private guru-guru dapat belajar menulis pada siapa saja, tanpa perlu merasa malu dan terlambat. Sekolah dan dinas pendidikan hendaknya meningkatkan pelatihan tulis-menulis populer dan ilmiah, penelitian tindakan dan sejenisnya, dengan memanfaatkan SDM yang ada di kalangan guru maupun dari luar. Juga memiliki media sendiri yang dapat memfasilitasi karya tulis guru, yang diterbitkan mingguan, bulanan, dst. Menulis di media massa besar mungkin seleksinya ketat, media sendiri akan lebih memungkinkan. Kerjasama dengan media agar tulisan guru lebih diberi peluang juga penting.
Era otonomi dengan dana pendidikan yang meningkat, guru-guru hendaknya dirangsang menulis buku bernuansa kedaerahan dan difasilitasi penerbitannya. Tidak saja muatan lokal, juga mata pelajaran wajib dan pilihan. Misalnya sejarah, selama ini terlalu nasional sentris, sehingga sejarah lokal kurang terakomodasi. Buku-buku karya penulis daerah yang sudah ada perlu dijadikan bahan ajar. Diharapkan dunia penulisan dan perbukuan di daerah akan bersemangat.

Penulis freelance dan penulis buku, tinggal di Banjarmasin.
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2012

Smile Train dan Gertasbal Bibir Sumbing


Smile Train dan Gertasbal Bibir Sumbing
Oleh: Ahmad Barjie B

Bibir sumbing (labioschisis) adalah cacat bawaan yang masih ditemui di banyak negara. Frekuensinya berbeda-beda pada berbagai budaya, ras dan negara. Diperkirakan 45% dari populasi adalah non-Kaukasia. Fogh Andersen melaporkan kasus bibir sumbing dan celah langit-langit di Denmark mencapai 1,47/1000 kelahiran hidup. Hasil yang hampir sama dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di Amerika Serikat serta Wilson di Inggris. Neel juga menemukan insiden 2,1/1000 penduduk di Jepang. Di Indonesia belum diketahui secara pasti, disebutkan terjadi satu kejadian setiap 1.000 kelahiran.
Jumlah  penderita bibir sumbing di Indonesia bertambah 3.000-6.000 orang setiap tahun atau satu bayi setiap 1.000 kelahiran. Data Yayasan Pembina Penderita Celah Bibir dan Langit-langit (YPPCBL) tahun 2008, sejak 1979 sampai 2008 operasi dan perawatan bibir sumbing mencapai 11.472 kasus di seluruh Indonesia atau 395 orang per tahun. Karena berbagai macam kendala, jumlah penderita yang bisa dioperasi jauh dari ideal. Hanya 1.000-1.500 pasien per tahun yang mendapat kesempatan menjalani operasi.

Lembaga Peduli
Menyadari masih banyaknya penderita, sejumlah hartawan dan dermawan di Amerika Serikat dan negara kaya lainnya membentuk lembaga sosial nonprovit bernama Smile Train. Lembaga ini mengemban misi melakukan gerakan penuntasan global (gertasbal) bibir sumbing.  Obsesinya  ”changing the world one smile at a time”.  
Organisasi ini tersebar di 160 negara, salah satunya Indonesia. Di negeri ini Smile Train sudah menjalin kerjasama dengan 60 buah rumah sakit pemerintah dan swasta, salah satunya RS Pahlawan Medica Center (PMC) Kandangan HSS pimpinan Dr Hartono Tenggono.  Menurutnya, Smile Train sangat peduli terhadap penderita bibir sumbing, dan ingin melihat semua anak penderita dapat tersenyum sehat. Tak hanya anak dan balita yang disasar, bahkan orang tua yang sudah di ujung usia pun diberi kesempatan untuk dioperasi agar bias pulih dari kecacatannya.
Smile Train bersedia mensupport dana 400 USD (+- Rp 3.800.000,-) per pasien. Dengan dana ini PMC Kandangan berani memberikan pelayanan secara gratis kepada setiap pasien, bahkan juga memberi biaya transportasi Rp 100.000,- per pasien.  Dokter ahli yang sering mengerjakan operasi adalah Dr Dharma dari Banjarmasin dan Dr Ramli dari Menado. Semua pasien dilayani tanpa persyaratan dan prosedur yang rumit, dan tanpa membedakan status sosial ekonomi, agama, suku, usia, jenis kelamin, golongan dan daerah asal.
Pasien tidak dipungut biaya apa pun. Menurut Dr Hartono, keluarga pasien hanya dituntut membayar ”utang”, berupa kemauan untuk menyebarkan informasi ini kepada tetangga dan masyarakat di mana saja. Keterbatasan media sosialisasi dan informasi, PMC meminta setiap keluarga pasien yang sudah ditangani berperan seperti multi level marketing, supaya semakin banyak orang tahu dan memperoleh layanan. Calon peserta dapat mendaftar langsung ke PMC Kandangan. Karena keseriusannya, PMC Kandangan berani memasang spanduk bahwa rumah sakit ini memberikan pelayanan gratis operasi bibir sumbing kerjasama dengan Smile Train USA.


Patut didukung
Adanya lembaga dan rumah sakit yang bersedia memberikan layanan gratis semacam ini patut didukung dan diinformasikan lebih luas. Dengan demikian, warga masyarakat, terutama kalangan kurang mampu memiliki banyak pilihan dalam merawat atau mengobati penyakit dan cacat yang diderita. Pertama, menggunakan fasilitas Jamkesmas/Jamkesda melalui RS milik pemerintah. Kedua, melalui bakti sosial instansi, perusahaan bahkan partai yang biasa menggelar kegiata sosial di hari ulang tahunnya atau jelang pemilu. Ketiga, melalui organisasi atau lembaga seperti Smile Train ini. Semua dapat saling mendukung dan melengkapi.
Operasi bibir sumbing tidak bisa dianggap ringan. Jika harus membayar mencapai Rp 9 hingga 16 juta per pasien. Angka ini tentu sangat berat bagi masyarakat kebanyakan yang berada dalam taraf ekonomi menengah bawah di mana penderita bubir sumbing banyak berasal.  Bibir sumbing memang cacat bawaan yang menjadi masalah tersendiri di kalangan masyarakat, terutama penduduk dengan status sosial ekonomi lemah. Akibatnya operasi sering dilakukan terlambat dan malah ada yang dibiarkan sampai dewasa (FK Bandung, 2010).
Berbeda dengan biaya sunatan (khitan) yang relatif murah, sekiranya orangtuanya istirahat merokok barang seminggu sudah bisa membayarnya. Sementara untuk operasi bibir sumbing jelas berat jika harus membayar. Tak heran ada keluarga pasien yang setengah tidak percaya ada jasa layanan operasi bibir sumbing gratis.
Apapun masalahnya, bibir sumbing harus kita terima sebagai sebuah fenonema sosial kesehatan. Keluarga harus menerima dengan lapang dada dan berusaha mencari solusi. Warga masyarakat hendaknya juga turut membantu baik informasi, pikiran, tenaga maupun dana, supaya tak ada penderita yang terpojok, malu dan merana dalam kesendirian.
Penyebab cacat ini multifaktorial, selain genetik juga terdapat faktor nongenetik dan lingkungan. Juga usia ibu waktu melahirkan, perkawinan antara penderita bibir sumbing, defisiensi Zn waktu hamil dan defisiensi vitamin B6.
            Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa bibir sumbing muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor genetik dan faktor-faktor lingkungan. Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai riwayat keluarga labioschisis akan mengalami labioschisis. Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan labioschisis meningkat bila keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi alkohol dan narkotika, kekurangan vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak dengan labioschisis (FK Bandung, 2010).
            Mengantisipasi dan mengkaji bibir sumbing sama pentingnya dengan mencari dan memberikan solusi ketika bibir sumbing telah terjadi. Semoga ke depan semakin banyak penderita yang tertolong.




Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2012

Relasi Budaya Banjar Malaysia


Relasi Sejarah Banjar Malaysia

Oleh: Ahmad Barjie B

Antara banua Banjar dengan Semenanjung Melayu (Malaysia sekarang) terdapat ikatan historis dan emosional yang kuat. Beberapa waktu lalu pimpinan dan kru Banjar TV beserta para tokoh lainnya bertandatang ke Malaysia. Tampak di situ bahwa begitu banyak urang Banjar yang eksis di Malaysia, baik sebagai ulama, pejabat, pedagang dan pengusaha. Sebagian mereka tampak merindukan tanah Banjar, walaupun hanya sebagian berkesempatan menginjakkan kaki di tanah leluhur.
Di antara mereka ada yang berusaha datang ke banua Banjar. Seperti beberapa bulan sebelum Ramadhan lalu, ada sejumlah tokoh dan ilmuwan Malaysia berdarah Banjar yang menyempatkan untuk menjenguk banua. Mereka juga sempat bertemu dan beramah tamah dengan Sultan Banjar Pangeran H Khairul Saleh di Martapura. Tampak pula di situ bahwa inguh Banjar mereka itu masih sangat kental. Artinya, meskipun sebagian besar sudah lahir di Malaysia, tapi budaya Banjar, khususnya bahasa mereka tak ikut hilang.

Beberapa pendapat
Guna melihat seberapa jauh relasi Banjar – Malaysia, dapat kita kemukakan beberapa pendapat para ahli. Prof Sulaiman Samsuri, dari Malaysia, dalam konges Buaya Banjar II, 2010 menyatakan, di Malaysia, urang Banjar biasa disebut suku kaum Banjar. Rata-rata suku kaum Banjar yang ada di Malaysia berasal berasal dari Borneo, khususnya Kalimantan Selatan.
Penghijaran (migrasi) suku kaum  Banjar ke tanah  Melayu (nama Malaysia sebelum tahun 1963) melalui dua ombak besar (wave). Ombak (gelombang) pertama sekitar akhir abad ke 18, mereka terdiri dari para ulama dan guru agama yang bertujuan semata-mata untuk menyebarkan agama Islam.  Tempat-tempat yang mereka lewati dan datangi adalah bandar-bandar tempat kekuasaan para raja Melayu, seperti Alor Star, Kuala Kangsar dan Kota Bharu.  Karena mereka ulama dan berilmu agama maka mereka mudah diterima oleh kalangan istana dan masyarakat setempat. Ulama Banjar ikut berperan aktif dalam dakwah Islam di tanah Melayu. Di antara ulama besar asal Banjar yang terkenal adalah Tuan Haji Husin di Kedah dan Gusti Alias di Perak.
Gelombang kedua,  terjadi pada pertengahan abad ke-19. orang Banjar menyeberang ke tanah Melayu untuk memperbaiki kehidupan ekonomi. Mereka melakukan penghijrahan dengan membawa serta keluarga. Mereka memilih pekerjaan bertani, membuka sawah ladang. Kedatangan ornag Banjar ini sangat bermakna bagi tanah Melayu, karena berdampak pada terbukanya lahan-lahan pertanian (kebun karet/getah dan sawah/padi). Kawasan tersebut seperti di Kerian, Sungai Manik, Sabak Bernam dan Tanjung Karang. Dalam bidang perkebunan urang Banjar sangat berperan menonjol dan dibanggakan produktivitas dan keahliannya dalam bersawah ladang, terutama di  Batu Pahat, Selama, pantai barat Selangor dan Bagan Datoh. Orang Suku Banjar selalu ada dalam perkebunan getah, kelapa dan buah-buahan.
Menurut Dr Muhammad Salleh Lamry, dosen jurusan antropologi dan sosiologi Universiti Kebangsaan Malaysia, penghijrahan urang Banjar ke Malaysia juga banyak disebabkan tekanan penjajah Belanda. Mereka mulanya tidak langsung berhijrah ke tanah Melayu, melainkan lebih dahulu ke Sumatra, kemudian ke tanah Melayu. Terjadinya perang Banjar menjadi penyebab utama suku Banjar hijrah atau madam ke Sumatra dan semenanjung Melayu (Malaysia). Sampai penjajahan Japun (Jepang) masih banyak urang Banjar hijrah ke Malaysia, mencapai 2,5 %.  Perkampungan urang Banjar biasanya berdekatan dengan kampung perantau Indonesia dari daerah lain misalnya Jawa, Minang, Mandailing, dll. Mereka baru berkurang hijrah setelah Indonesia  merdeka.

Belum kompak
Sejak tahun 1970, kebijakan ekonomi pemerintah Malaysia semakin ditekankan pada ekonomi pertanian. Maka dibukalah sejumlah perkebunan besar sawit terutama di Pahang, Perak, Johor, dan Negeri Sembilan. Kembali urang Banjar memainkan peranan penting karena mereka sangat berbakat dalam bersawah ladang. Pengamatan peneliti, lebih 70 % pengelola/pelaksana  kebijakan ekonomi perkebunan sawit adalah urang suku Banjar. Karena itu pemerintah pusat dan pemegang otoriti daerah di Malaysia, tidak bisa mengenyampingkan peran suku Banjar dalam membangun ekonomi Malaysia.
Menurut Dr Zarihan Syamsuddin, sebelum merdeka, urang Banjar enggan menjadi pegawai pemerintah Inggris. Hal ini karena urang Banjar enggan bersekolah di sekolah-sekolah Inggris sebagai jalan untuk menjadi pegawai. Mereka lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah ugama/pesantren yang terkenal di kota-kota Kedah, Perak dan Kelantan.
Tetapi sesudah Malaysia merdeka tahun 1957, sedikit demi sedikit urang suku Banjar mulai tertarik bersekolah ke sekolah-sekolah sekular, kuliah dan universiti. Perubahan sikap ini semakin kuat setelah terbentuknya Malaysia tahun 1963 dan terciptanya Dasar Ekonomi Baru 1970.
Sekarang ini sudah amat banyak urang suku Banjar yang berkhidmat di jawatan menteri, pentadbir universiti. Profesor dan pegawai atasan kerajaan. Tetapi mereka ini memiliki sifat ego, dan memilih memisahkan diri dari suku Banjar awam.
Prihatin akan hal ini, sebagian urang Banjar mendirikan pertubuhan (organisiasi)  yang terdaftar dengan nama Pertubuhan Banjar Malaysia (PBM), yang pengurus dan anggotanya kalangan orang Banjar perkampungan, petani, pengawai pertengahan, swasta dan awam. Orang Banjar yang sudah sukses di jabatan tinggi tidak mau menjadi pengurus dan anggota PBM, karena malu kalau diketahui identitasnya sebagai orang/berdarah Banjar.
Pada awalnya suku Banjar membawa berbagai kesenian ke tanah Melayu, seperti  madihin, baahui, bapukung anak dan baarak. Kini beragam kesenian itu sudah pupus. Kini mereka bertani sudah banyak menggunakan mesin, dan para orang tua sudah mengantarkan anak-anaknya ke penjagaan anak-anak dan taman-taman bimbingan kanak-kanak. Urang Banjar di Malaysia sebagaimana suku-suku lainnya sudah tergerus industrialisasi dan modernisasi.
Meksi selama ini hubungan Indonesia – Malaysia kadang terganggu oleh kasus-kasus budaya, konflik perbatasan dan masalah TKW/TKI, kita berharap hubungan ini dijaga dengan baik. Tak ada untungnya kita bertikai dengan bangsa serumpun ini. Kalau kita memusuhi mereka, hakikatnya memusuhi saudara kita juga.
Kita juga berharap keturunan Banjar di sana bisa kompak, jangan terpisah karena status sosial ekonomi yang berbeda.  Alangkah baiknya kekompakan itu bermuara pada kemauan untuk membantu negeri asal banua Banjar, minimal mau berkunjung ke Banjar, barang sekali dua seumur hidup.          
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: 2012