Awan Wartawan Masih Mendung
Oleh: Ahmad Barjie B
Hari-hari ini media cetak dan elektronik
banyak memberitakan peristiwa jatuhnya pesawat tempur Hawk 200 milik TNI-AU.
Pesawat naas itu jatuh di desa Pasir Putih Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar
Provinsi Riau. Untunglah pilot selamat setelah terjun menggunakan kursi
pelontar.
Kecelakaan pesawat
baik sipil maupun militer, meski tidak dikehendaki, sebenarnya merupakan hal
biasa karena sering terjadi. Tetapi dalam kasus ini, yang memprihatinkan
dan perlu disesalkan adalah terjadinya penganiayaan atau pemukulan terhadap
para wartawan yang ingin meliput peristiwa.
Jurnalis yang kena
pukul oleh oknum TNI dari Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru-Riau
adalah Didik Hermanto fotografer Riau Pos, Budi Anggoro wartawan Antara, Fakhri
kameramen Riau TV, dan Muhammad Arifin kontributor TV One. Satu warga dan dua
mahasiswa UIN Syarif Kasim Pekanbaru juga terkena pukulan.
Menyikapi kejadian
ini Kepala Staf TNI-AU Marsekal Imam Sufaat sudah meminta maaf. Menurutnya,
kecelakaan pesawat tempur sifatnya rahasia. Publik tidak diperbolehkan mendekat
dan mengambil gambar, karena terkait kerahasiaan senjata yang mungkin dibawa
pesawat.
Panglima Komando
Operasi TNI-AU Marsekal Muda Bagus Puruhito menyatakan hal yang sama, dengan
menekankan pesawat baru jatuh dilarang didekati karena ada kemungkinan meledak.
Kadispen TNI-AU
Marsekal Muda Azman Yunus juga memintakan maaf. Ia memperkirakan kondisi
psikologis personel TNI-AU di lapangan yang terkejut dan mengira pilot tewas
bersamaan jatuhnya pesawat bisa jadi penyebab tindakan tersebut. Pihaknya
berjanji akan menindak pelaku.
Menurut Menko
Polhukkam Djoko Sujanto, apa pun penyebabnya, kekerasan seyogyanya dihindari. Wajar jika wartawan di sejumlah kota melakukan demo sebagai
solidaritas kepada rekan seprofesi.
Kemerdekaan
Pers
Pada dasarnya kita menyambut baik adanya permintaan maaf dari
para petinggi TNI AU, disertai rekonsiliasi dengan wartawan segera setelah
peristiwa itu terjadi. Tetapi proses hukum terhadap oknum yang melakukan
penganiayaan secara vulgar itu sebaiknya tetap ditegakkan, supaya jangan
terulang di kemudian hari. Sebelumnya saat terjadi jatuhnya pesawat tempur di
bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, kekerasan terhadap wartawan juga terjadi.
Pengulangan hal serupa semakin menuntut perlunya penegakan hukum terhadap oknum
yang bersalah.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa kemerdekaan pers untuk
mencari dan memberikan informasi kepada masyarakat, sebagai salah satu hak dan
kewajibannya yang dilindungi undang-undang, belum terwujud secara baik. Padahal
peringatan Hari Pers Nasional (HPN) dan HUT PWI ke-58 Februari 2004 lalu sudah
berusaha mengangkat tema “Kemerdekaan dan Profesionalisme Pers”.
Tema ini berangkat dari fenomena kebebasan pers seakan masih dibatasi melalui
berbagai tekanan, yang tidak saja dapat menurunkan kualitas informasi dan mengancam eksistensi
perusahaan penerbitan pers, bahkan
sampai pada membahayakan fisik dan jiwa wartawan. Di sisi lain wartawan semakin dituntut
profesional mengingat tantangan kerja semakin berat dan daya kritis masyarakat
juga meningkat.
Memang
wartawan tidak sunyi dari risiko. Di antaranya risiko kematian seperti dialami
Sory Ersa Siregar dan Jamaluddin yang meliput konflik Aceh serta penyanderaan
Ferry Santoro yang hampir setahun baru dibebaskan oleh GAM. Tetapi risiko tersebut seharusnya bukan berupa
penganiayaan. Untuk itu, semua pihak seharusnya melindungi keselamatan wartawan
sebagai warga sipil. Hal ini sudah menjadi ketetapan Konvensi Jenewa dan Indonesia
ikut meratifikasinya.
Daftar Panjang
Penganiayaan
terhadap wartawan memang bukan hal baru.
Sebelumnya juga ada kasus wartawan Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad
Syafruddin, Naimullah koresponden Sinar Pagi di Pontianak, dan Muhammad Sayuti
koresponden Pos Makassar. Diduga keras mereka
mati secara tidak wajar, yang kasusnya masih gelap hingga hari ini.
Bila
kita tengok ke luar negeri, wartawan
tewas di medan
perang juga tidak sedikit. Dalam perang Irak, tercatat l3 wartawan tewas di
arena pertempuran dan 7 orang tewas karena sakit dan kecelakaan lalu lintas di
luar medan
tempur. Sejumlah wartawan TV Al-Jazeera juga menjadi korban keganasan pasukan
koalisi. Setahun sebelumnya 20 orang wartawan tewas dan l36 orang wartawan dipenjarakan oleh berbagai
rezim represif di dunia. Belum lagi dalam perang Irak terdahulu (l990), perang
Irak – Iran (l980-88), Korea (l954), Vietnam (l975), Kamboja (l988), Bosnia (l99l), dll.
Kita
memaklumi adanya wartawan yang tewas di medan
perang, karena itu termasuk risiko wartawan perang, meskipun seharusnya mereka
dilindungi sebagaimana perlindungan terhadap petugas palang merah atau
kesehatan. Yang kita sesalkan adalah penyanganiayaan secara sengaja, seperti
banyak terjadi di Indonesia.
Di negeri ini meski angin reformasi menghasilkan kebebasan
pers yang luar biasa, namun ancaman terhadap profesi wartawan juga meningkat. Dalam periode Mei 2002 – Mei 2003 saja, AJI mencatat
sejumlah kekerasan terhadap para jurnalis: 33 kasus dilakukan oleh tentara,
5.6ll kasus oleh polisi, l6.622 kasus dilakukan masyarakat, ll.2l3 kasus oleh
aparat pemerintah, 549 kasus oleh orang tidak dikenal, 2.9ll kasus oleh anggota
dewan dan l23 kasus oleh partai politik .
Agar
diperoleh informasi akurat, tajam, terpercaya, mencerahkan, berguna untuk
kemajuan, kebenaran dan keadilan, wartawan memang harus berani. Keberanian dan
kegigihan wartawan sudah dicontohkan oleh para wartawan terdahulu, seperti Mochtar
Lubis dan Bur Rasuanto yang pernah meliput perang Korea
dan Vietnam
yang ganas. Reputasi mereka tidak kalah dengan wartawan perang sekaliber Peter
Arnett (eks wartawan CNN), Peter Barnett (Radio ABC Australia) dan Peter Arnelt
(UPI).
Saling Pengertian
Melihat
angka temuan AJI di atas, berarti
masyarakat, aparat pemerintah, kepolisian dan anggota dewan (DPR/D)
merupakan pelaku terbesar kekerasan terhadap wartawan. Ini tentu saja sangat
memprihatinkan dan seharusnya dihindari, sebab mengingat tugasnya wartawan
memang sangat bersentuhan dengan masyarakat, pemerintah, kepolisian, dewan,
dll. Tidak mungkin wartawan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan
professional sebagai pemberi informasi obyektif, penyalur aspirasi dan kontrol
sosial, bila tidak berhubungan dengan
para pihak di atas.
Mengapa
kekerasan itu terjadi di sebuah negara hukum? Boleh jadi karena kita tidak mau
menaati hukum dan aturan yang ada, tertutup, terlalu menjaga citra, over
depensive, sehingga cenderung merasa benar dan lalu main hakim sendiri.
Karena itu kesadaran hukum ini harus lebih ditingkatkan, disertai komitmen
untuk menjalankan tugas masing-masing secara fair, jujur, profesional, dengan
tidak menutup-nutupi kesalahan dan tidak pula mencari-cari dan
membesar-besarkan kesalahan yang sesungguhnya tidak ada.
Peliputan
berimbang pada hari yang sama, alokasi hak jawab pada kesempatan berikutnya
mestilah digunakan, dan bila tidak, boleh pula ditempuh jalur hukum lewat
pengadilan. Jadi bukan main kayu, pukul, perampasan kamera dan bahasa kekerasan
lainnya. Memang mungkin saja ada wartawan yang suka mengompori, tidak imbang,
tidak objektif, tidak netral, wartawan gadungan, suka memeras dan mencari uang
tanpa jelas identitas dan induk kerjanya. Namun oknum begini tidak bisa
digeneralisasi untuk semua wartawan profesional dan masih menjunjung etika profesi.
Menghargai Informasi
Di
era informasi kini, kebutuhan masyarakat terhadap informasi semakin meningkat.
Karenanya dari manapun datangnya informasi tersebut harus kita hargai. Wartawan
sesuai tugasnya memang bergelut di bidang informasi sebagai penggali, pengolah
dan penyaji.
Irwasda Polda Kalsel (2003) Komisaris Besar Polisi Drs.
Sujitno menyatakan, dari mana pun datangnya berita, bagi polisi merupakan
sebuah informasi. Nilai informasi tersebut bisa berkategori A l yang dianggap
benar l00 persen dan bisa pula sampai F 6 yang kebenarannya 0 persen. Kalau
kebenarannya masuk A l, kepolisian harus berterima kasih kepada wartawan, tapi
kalau F 6, yang kebenarannya nihil, tidak usah dipakai, untuk itu harus
dilakukan klarifikasi lewat media bersangkutan.
Pada
dasarnya kepolisian, pemerintah, anggota dewan dan wartawan punya tugas yang
muaranya sama yakni menegakkan hukum, kebenaran, keadilan dan memberdayakan
rakyat. Karena itu para pihak harus bekerjasama secara sinergis, yang satu
saling membutuhkan dengan yang lain. Bila prinsip dan semangat ini dipahami,
tentu kekerasan terhadap wartawan tidak akan terjadi.
Semua pihak diharapkan mampu meningkatkan kerjasana dan
saling pengertian, sehingga ke depan tidak terjadi tekanan terhadap pers dalam
berbagai bentuknya atau penyelesaian di luar koridor hukum. Kalau ada pihak
dirugikan, sebaiknya ditempuh jalur hukum sesuai UU Pokok Pers.
Pengamat
sosial kemasyarakatan, tinggal di Banjarmasin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar