Gus Dur Tokoh Substansial dan Futuristik
Oleh: Ahmad Barjie B
Figuritas KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (lahir di Denanyar Jombang 4 Agustus 1940 dan meninggal di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta 31 Desember 2009), tidak perlu diragukan. Track record hidup dan kemampuannya dalam berbagai bidang mengagumkan. Dia tokoh serba bisa; ada kalanya tampil dengan warna muslim tradisional, senang dengan ziarah kubur, hafal syair-syair keagamaan klasik, musik klasik dan menyukai komunikasi silaturahim. Kali lain dia tampil sebagai budayawan yang mumpuni, kritikus yang berani dan ulama modern yang kaya dengan gagasan pembaruan. Ia mengambil peranan aktif di tengah komunitas elit bahkan internasional dengan penuh percaya diri. Penguasaan bahasa Inggrisnya, menurut Dr Fachry Aly sangat bagus. Dan penguasaan bahasa Arabnya jauh lebih bagus ketimbang orang Arab sendiri. Maklum dia lama kuliah jurusan sastra Arab di Universitas al-Azhar Kairo dan Universitas Baghdad.
Banyak peran fenomenal yang mampu ia torehkan selama hidup, baik di masa jabatan presiden yang singkat, sebelum dan sesudahnya. Meninggalnya Gus Dur adalah kehilangan besar bagi bangsa Indonesia. Tepat saja jika ia disebut guru bangsa dan tak berlebihan jika banyak yang mengusulkan Gus Dur dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, sama seperti kakeknya KH Hasyim Asy’ari dan ayahnya Abdul Wahid Hasyim.
Pengamat J Kristiadi menekankan pentingnya disusun ensiklopedi khusus yang memuat pemikiran Gus Dur dalam berbagai aspek; ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hankam dan sebagainya. Ide ini bagus karena memang banyak khazanah pemikiran Gus Dur yang pernah ia cetuskan selama hidup. Jauh sebelum menjadi Ketua PB-NU, presiden dan kemudian Ketua Dewan Syuro PKB, Gus Dur seorang tokoh pemikir dan aktivis. Saat belum mengalami masalah penglihatan, Gus Dur penulis produktif, tulisannya tersebar di sejumlah buku dan media bergengsi seperti Kompas, Tempo, dan Jurnal. Tulisan Gus Dur sangat ditunggu dan digemari pembaca. Jam terbangnya selalu padat untuk mengisi berbagai diskusi dan seminar, dalam dan luar negeri. Di usia 40-50-an, Gus Dur sangat fasih bicara, cepat, tegas dan tentu humoris. Berbeda saat usianya sudah senja dengan fisik yang makin terbatas.
Pemikir sekaligus tokoh
Kelebihan Gus Dur, ia pemikir sekaligus tokoh, karena berusaha mengaplikasikan pemikirannya dalam tindakan nyata. Kalau pemikir mungkin sekadar rajin menulis dan melempar gagasan dari balik meja. Tapi sebagai tokoh, Gus Dur terjun langsung ke tengah masyarakat dan berinteraksi dengan banyak segmen, baik yang pro maupun kontra dengannya. Di sinilah kadang ia mengalami benturan dan friksi dengan kalangan yang tidak sependapat dan sehaluan. Tetapi Gus Dur selalu siap menanggung risiko atas pendiriannya.
Gus Dur sering dianggap tokoh nyleneh dan kontroversial. Hal itu sebenarnya wajar adanya. Jaya Suprana mengatakan, sesuatu yang baru dan belum dipahami banyak orang pastilah mengandung kontroversi. Menurut Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin, kontroversialisme Gus Dur justru bermanfaat karena memperluas wawasan bangsa Indonesia. Manusia langka macam Gus Dur justru banyak membawa pencerahan, terutama di ranah demokrasi.
Kontroversi Gus Dur disebabkan banyak faktor, di antaranya karena ia lebih mementingkan substansi ketimbang formalitas kulit, dan berupaya melihat jauh ke depan. Saat orang baru menengok hari kemarin dan harini, Gus Dur sudah berusaha meneropong puluhan tahun ke depan.
Gus Dur menolak formalitas syariat, karena ia beranggapan agama sudah harus menjadi etos kerja dan nilai moral yang menjiwai dan menggerakkan kehidupan masyarakat. Dengan jiwa agama orang akan sadar untuk berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Tanpa penjiwaan agama, syariat menjadi kaku, cuma berisi perintah dan larangan, dan ini tidak mencerahkan, sebab orang beragama hanya karena terpaksa, bukan karena kesadaran. Meski begitu ia tetap menghargai pejuang Islam ideologis, silakan saja, hanya ia minta dirinya tidak usah diajak-ajak.
Itu pula sebabnya PKB yang didirikan Gus Dur tidak berasaskan Islam. “Tidak penting bagi PKB berasaskan Islam, yang penting PKB adalah partai Islam. Banyak partai yang berasaskan Islam, tapi mereka main tipu, main curang dan tidak berakhlak islami. Islam hanya dibuat mereknya saja. Jadi parpol berdasarkan Islam tidak bisa dibuat jaminan. PKB tidak mementingkan merek, tetapi isinya”, begitu pendirian Gus Dur. Pada bagian lain Gus Dur mengatakan: “Akhlak dan tauhid PKB adalah Islam. Daripada parpol yang berasaskan Islam tetapi tidak islami, maka lebih baik seperti PKB, asas bukan Islam tapi kelakuan dan tauhidnya orang Islam”.
Dilihat dari sini spiritualitas politik yang ia bangun sudah bagus. Kalau terjadi bias dalam realpolitik, itu tentu soal lain. Untuk memperbaiki kehidupan negara bangsa Gus Dur menyadari perlunya partai politik. Dan ketika terjun di dunia politik pasti berkeringat, karena banyak persoalan dihadapi. Inilah yang membedakan Gus Dur dengan sebagian tokoh lain, ingin perubahan tapi tak mau berpolitik praktis.
Menghilangkan sekat
Rahmat Islam bagi Gus Dur bersifat universal. Dalam universalitas itu Islam harus mengayomi semua manusia dan golongan tanpa sekat agama, etnis, budaya, negara dan bangsa. Mungkin karena itu sehingga Gus Dur begitu gigih membela kalangan minoritas seperti Tionghoa dan nonmuslim, karena ia melihat semua harus diayomi. Gus Dur memang sangat antidiskriminasi.
Gus Dur melihat umat Islam Indonesia, khususnya warga Nahdliyin, masih lemah di bidang ekonomi. Di perdesaan dan perkotaan banyak yang dililit rentenir. Untuk itu ia menekankan perlunya kemitraan bank dengan masyarakat menengah – bawah. Gus Dur menolak jika jasa bank dianggap riba. Menurutnya, riba itu ada jika terjadi hubungan eksploitatif antara bank dengan nasabah, yang satu untung dan yang lain rugi. Jika terjadi simbiosis mutualis, bank untung dan masyarakat untung, itu bukan riba. Tetapi agar kemitraan bank-masyarakat benar-benar konstruktif, Gus Dur mengusulkan pentingnya pinjaman bank tanpa bunga atau hanya berbunga rendah. Dari sini sektor riil akan bergerak, ekonomi masyarakat lebih berdaya, sampai saatnya tidak ada lagi kesenjangan sosial. Kerusuhan sosial bagi Gus Dur lebih disebabkan kesenjangan dan miskomunikasi.
Di antara hal yang paling berkesan, penguasaannya akan tradisi keislaman klasik. Ketika ia dengan fasih melafalkan shalawat badar, syair Abu Nuwas, dll, hati kita terasa sejuk. Ketika ia dengan fasih mengucapkan kata-kata hikmah dari timur (Islam) atau dari Barat, kita merasa mendapatkan percerahan. Tulisan-tulisan dan ceramah Gus Dur terutama di masa relatif muda sangat rasional, argumentatif dan mengarah kepada kemajuan. Gus Dur yang tidak mementingkan diri sendiri, tidak mau berhitung untung rugi buat dia dan kariernya, menjadi nilai tambah ketokohannya. Rasa percaya diri dan keberaniannya yang besar juga patut diacungi jempol. Gus Dur tidak pendendam. Walau pernah ada gesekan, ia gampang akrab kembali. Dengan Pak Harto, Amien Rais, Mega, SBY, dll, ia tidak mengambil jarak. Ia mudah mengeritik dan terbuka pula terhadap kritik. Kalau berseberangan hanya dari segi ide, gerakan dan pemikiran. Gus Dur hanya melawan pemikiran, bukan memusuhi orangnya. Sifat Gus Dur ini mirip dengan founding fathers negeri ini. Seperti dalam proses perumusan dasar negara: Islam, Piagam Jakarta, Pancasila dan UUD 1945, mereka tak segan bersitegang urat leher, berdebat mempertahankan pendiriannya. Tapi dalam kehidupan keseharian mereka berteman akrab dan saling menolong dengan penuh ketulusan.
Kini Gus Dur telah tiada. Nabi Muhammad saw bersabda: uzkuru mahasina mautakum wa kuffu an masawihim (sebutlah kebaikan-kebaikan orang-orang yang meninggal di antara kamu, dan jangan kau sebut keburukannya). Banyak kebaikan yang Gus Dur lakukan dan sebagai manusia biasa tentu ada pula kekurangannya. Tugas generasi berikutnya meneruskan kebaikannya.
Banyak doa, simpati, ucapan dukacita dan ziarah spontan dari berbagai elemen bangsa, lintas etnis dan agama, dalam dan luar negeri. Sampai detik akhir hidupnya ia all out mengurus masyarakatnya, tapi tak pernah merasa repot mengurus dirinya, penyakitnya, bahkan kematiannya pun dihadapi dengan tenang dan lapang. Semoga itu semua jadi indikator Gus Dur wafat dalam husnul khatimah. Amin.
(Pemerhati sosial keagamaan, tinggal di Banjarmasin, Ar. Jl. Jenderal Ahmad Yani km 4,5 RT 30 RW 10 No. 37 Pekapuran Raya, Telp. (0511) 3251177 – 0813 51145826, e-mail: barjie_b@yahoo.com).