Melindungi Warga Sipil
Oleh: Ahmad Barjie B
Perang Libya saat ini masih menimbulkan tanda tanya besar. Apa hak dasar negara-negara Koalisi membombardir dengan senjata mutakhir yang meluluhlantakkan persenjataan Libya. Apa pula hak negara-negara yang bertemu di London memutuskan rezim Khadafi harus segera diganti karena sudah kehilangan legitimasi. Bahkan Italia sudah mewacanakan agar Khadafi diasingkan ke luar Libya. Apakah legitimasi suatu negara diukur oleh pihak asing yang sejak awal memang tidak suka atau tergantung dari dalam negeri yang masih bisa diperdebatkan.
Bolehkah pihak asing mencampuri urusan dalam negeri negeri lain yang berdaulat sebegitu jauh. No fly zone memang dipayungi oleh Resolusi PBB nomor 1973, namun batasan ini sudah sangat jauh dilanggar, karena yang terjadi Koalisi justru menghancurkan instalasi, pesawat militer Libya, bahkan kompleks perumahan Khadafi, bukan sebatas melarang terbang. Koalisi juga kentara memihak pemberontak, mereka memantik perang saudara. Seolah Libya milik asing dan ingin dipecah belah.
Libya sudah merdeka dari penjajahan Italia sejak puluhan tahun silam. Sama dengan Indonesia, kemerdekaan Libya bukan diberi, melainkan direbut dengan darah dan nyawa pejuang dan rakyat. Jika anda ingat film Leon of the Dessert (Singa Padang Pasir), kepahlawan Omar Mochtar yang memperjuangkan Libya merdeka, yang diperankan oleh Anthony Quinn sungguh luar biasa. Ketika Omar Mochtar yang sudah tua tertangkap dan kemudian digantung oleh penjajah, ia bepesan kepada rakyat Libya agar terus berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan, apa pun taruhannya. Sudah sepantasnya kemerdekaan yang diraih dengan sangat mahal tersebut dihargai dunia.
Setiap negara berdaulat berhak mengatur urusan dalam negerinya sendiri. Masalah suksesi, kepemimpinan negara, model politik yang dianut, mau kerajaan, kesultanan, sosialisme, demokrasi, presidensial, perlementer, semuanya tergantung histori, tradisi, kondisi dan kemauan rakyat. Tidak satu pun sistem politik kenegaraan yang unggul tanpa cacat. Semua ada kelebihan dan kekurangannya. Termasuk demokrasi yang diagungkan sekarang, teramat banyak cacat celanya, karena belum terbukti berhasil menyejahteraan rakyat. Jadi apapun alasannya, asing tidak boleh mencampuri terlalu jauh. Asing hanya boleh membantu, tetapi bukan mengintervensi ke dasar persoalan. Apabila intervensi terjadi, secara fisik, politik, apalagi militer, kemerdekaan suatu bangsa sudah ternoda.
Korban sipil
Di awal perang Libya, alasan yang santer dikemukakan PBB dan Koalisi adalah rezim Khadafi banyak mengorbankan sipil saat menumpas oposisi bersenjata. Berapa jumlah korban sipil itu kita tidak tahu persis. Dalam versi asing jumlahnya enam ribuan. Tetapi tindakan Khadafi itu bisa dipahami. Menurut Dr Evi Fitriani, pengajar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, di negara mana pun jika ada pemberontak bersenjata, tentu juga akan diperangi oleh pemerintahnya.
Dari perspektif hukum Islam, masalah ini ada legitimasinya. Dalam teori politik Islam kelompok oposisi disebut mu’aradhah. Ia dibolehkan (masyru’ah) asalkan sekadar mengeritik penguasa karena ingin memperbaiki negara, tidak untuk kepentingan pribadi, kelompok, mendongkel pemerintah dan tidak pula bersenjata. Kalau sudah bersenjata dan ingin mengganti pemerintahan, namanya al-baghyu (pemberontakan), hukumnya haram dan pelakunya (al-bughat) wajib diperangi.
Kalau ingin melindungi warga sipil, caranya harus menghindari peperangan. Sejak Libya bergolak hingga sekarang, eksodus penduduk terus terjadi. Ada yang pulang ke negara asal dan ada yang tinggal di pengungsian. Berapa banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Warga sipil pro Khadafi takut serangan pemberontak, begitu juga sebaliknya. Bahkan bombardir pesawat Sekutu juga memaksa banyak warga sipil Libya mengungsi ke tempat yang dirasa aman. Sejumlah lelaki tua, wanita dan anak-anak terpaksa meninggalkan rumahnya karena takut. Itu artinya serangan dan campur tangan Koalisi, tidak menimbulkan rasa aman, justru sebaliknya.
Menyerahkan perlindungan warga sipil kepada pasukan Koalisi atau pun Nato yang menyerang Libya saat ini sangat tidak tepat. Sebab selama ini mereka sudah banyak mengorbankan sipil di negara lain, bagaimana mau melindungi sipil Libya.
Laporan Tahunan PBB 2010 mengatakan bahwa korban sipil yang tewas di Afghanistan naik 15 % dibanding tahun 2009. Sebanyak 2.777 warga sipil tewas pada 2010, sebagian besar anak-anak dan wanita. Korban sipil terus berjatuhan sejak AS menggulingkan Taliban 2001. Dalam empat tahun terakhir operasi militer multinasional pimpinan AS tidak kurang 9.000 sipil Afghanistan tewas. Saking banyak dan seringnya warga sipil jadi korban, sampai-sampai Presiden Hamid Karzai yang didukung AS sendiri menolak permintaan maaf dari Menhan AS Robert Gates serta komandan militer AS Jendral David Petraeus.
Menurut laporan UNRWA, rakyat sipil Palestina yang tewas akibat blokade dan serangan Israel yang didukung AS cs sejak 2007 mencapai 1.400 orang, menghancurkan 50 ribu rumah, 200 sekolah dan 800 unit industri. Belum lagi ketika Intifada semasa mendiang Yasser Arafat hidup. Jalur Gaza adalah penjara raksasa di dunia, karena diblokade Israel dari segala penjuru, hingga untuk berhubungan ke luar warga Palestina harus membuat terowongan. Mengapa bukan masalah ini yang segera ditangani karena sudah 60 tahun warga sipil Palestina menderita akibat pendudukan Israel.
Tambahan lagi agresi militer AS di Irak mengorbankan lebih 100.000 warga sipil. Menurut al-Muzammil Yusuf, politisi PKS di DPR-RI, angka ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan korban sipil rakyat Libya yang dituduhkan mencapai 6.000 orang. Baginya, tangan AS cs sudah sangat berlumuran darah warga sipil, jadi tidak berhak berbicara perlindungan warga sipil di Libya atau di mana pun.
Aksi Indonesia
Jika PBB ingin dipercayai dunia internasional, perlu melakukan tekanan dan pendekatan kepada rezim Khadafi dan pemberontak agar segera berunding, sehingga warga sipil tidak menjadi korban. Paling rasional menempatkan pasukan perdamaian, sambil mengupayakan solusi damai kepada kedua pihak yang bertikai.
Indonesia yang selama ini netral dan punya hubungan baik dengan Libya perlu mengambil peran aktif. Meskipun terlambat bersuara, Indonesia sudah menyatakan sikapnya menolak cara-cara kekerasan dalam penyelesaian krisis Libya. Banyak pihak meminta pemerintah Indonesia berperan lebih jauh, tak hanya bersikap, tapi proaktif mencarikan solusi damai. Misalnya menggalang Liga Arab dan OKI agar sama-sama mendekati kedua pihak yang bertikai agar mengakhiri perang saudara. Pasukan perdamaian perlu ditempatkan di medan konflik, sambil mencarikan upaya penyelesaian yang win-win solution. Solusi paling memungkinkan adalah menolak invasi asing, kemudian memberi kesempatan kepada kubu oposisi untuk ikut mengendalikan kekuasaan, dengan tetap mempercayakan Khadafi memimpin Libya sampai ia bersedia mundur secara legowo.
Peran Indonesia juga bisa mengikutsertakan para ulama, karena banyak ulama dan tokoh Indonesia yang selama ini kenal dan akrab dengan Khadafi. Indonesia tidak perlu ikut skenasio asing yang ingin mendongkel Khadafi sekarang juga. Bagaimana pun selama 40 tahun memerintah, di tengah kontroversinya Khadafi cukup berhasil memajukan dan menyejahterakan rakyatmya. Masih banyak rakyat yang menyintai dan siap mati untuknya. Menyerang Libya secara all-out, menyuruh Khadafi turun, lalu mengasingkannya, tidak segampang yang dikira dan itu pasti bukan solusi tepat.
Dulu dikira Saddam Hussein sumber masalah di Irak. Ia dianggap menyimpan senjata pemusnah massal dan melindungi al-Qaeda. Jauh setelah Saddam digantung dan masuk kubur, semua tuduhan tetap tidak terbukti. Yang terbukti nyata AS cs memang ingin menjatuhkan Saddam dan mengobok-obok Irak saja. Setelah Saddam jatuh, Irak justru tetap tidak stabil hingga harini.
Pengamat sosial keagamaan, tinggal di Banjarmasin