Antara Tunisia, Mesir dan Indonesia
Oleh: Ahmad Barjie B
Adakah persamaan antara ketiga negara ini?. Tentu saja ada, tidak saja karena sebagian besar penduduknya muslim, juga dilihat dari konstelasi politiknya relatif banyak kesamaan.
Sejak merdeka dari jajahan Perancis, Tunisia dipimpin oleh Presiden Habib Borguiba. Orang kuat ini berkuasa puluhan tahun sampai diganti oleh Ahmad Ben (bin) Bella, selanjutnya digantikan lagi oleh Zein al-Abidin Ben (bin) Ali, yang baru saja turun dan minta suaka politik ke Arab Saudi.
Entah karena terinspirasi oleh negara tetangganya itu, rakyat Mesir kini bergolak. Mereka ingin melengserkan Presiden Hosni Mubarak sekarang juga, padahal masa jabatannya masih tersisa hingga September mendatang. Walau Mubarak berjanji tidak akan mencalonkan diri lagi, tapi tekanan oposisi kelihatannya sangat kuat. Kelompok pro Mubarak lebih kecil dibanding yang kontra, yang setiap berdemo mencapai jutaan orang.
Posisi Mubarak strategis bagi para pemimpin Arab. Mubarak yang istrinya Suzanne, berdarah Mesir-Inggris dapat menjembatani hubungan negara – negara Arab dengan Uni Eropa dan AS. Bagi AS Mubarak juga penting, karena dapat memoderasi radikalisme negara-negara Arab anti Israel. Mubarak dan Mesir adalah sekutu penting AS di Timur Tengah.
Tetapi sebagaimana sifat pragmatisme AS selama ini, seorang pemimpin akan didukung jika masih kuat, tapi kalau sudah terdesak, AS juga akan ikut mendesaknya turun. Hal sama dilakukan oleh 27 pemimpin negara Uni Eropa, mereka ramai-ramai mendesak Mubarak turun secepatnya, padahal mereka pula sekutu dekat Mubarak/Mesir selama ini. Kalau reputasi Mubarak jatuh di mata rakyat Mesir, itu juga karena andil AS cs.
Seperti mendiang Pak Harto dulu, saat orde baru pimpinan Pak Harto berhasil menurunkan Soekarno dan menggulung Komunisme, dukungan AS/Barat sangat kuat. tapi giliran Pak Harto terjepit, AS/barat tidak mendukungnya lagi. Jasa Pak Harto menghancurkan Komunisme, yang juga musuh ideologis AS cs, tidak diingat lagi. AS dan Barat-benar benar-benar tidak memiliki persahabatan abadi.
Sebenarnya Mubarak masih kuat memimpin dan punya karisma. Walau usianya sudah 82 tahun, fisiknya masih sehat, rambutnya belum beruban, dan ia tergolong kepala negara tampan di jajaran pemimpin dunia saat ini. Tokoh oposisi selevel Mubarak pun belum begitu menonjol. Muhammad el-Baradei, yag konon didukung ikhwan al-muslimn (IM), meski cukup populer karena sempat menjadi Ketua Pengawas Nuklir Internaisonal (IAEA) dan peraih Nobel Perdamaian, namun lebih banyak berkarier di luar dan belum punya akar politik di Mesir. IM sebagai kelompok oposan terkuat kelihatannya tidak berambisi menggantikan Mubarak. Sekjen Liga Arab Emir Moesa, justru kolega Mubarak sendiri. Kalau ia mewarisi jabatan presiden tentu penolakan tetap kuat. Begitu juga wakil pesiden Omar Suleiman, masih kalah populer dibanding Mubarak sendiri. Sanggupkah Mubarak bertahan, kita lihat saja nanti.
Ekspor revolusi
Jauh sebelum kedua negara bergolak, sebenarnya di beberapa negara Timur Tengah mengalami hal sama. Revolusi Islam Iran meletus 1979, dan saat itu Iran berambisi mengekspor revolusi ke negera-negara tetangga, seperti Arab Saudi dan beberapa negara Teluk lainnya. Ternyata ekspor revolusi kurang laku. Hal ini disebabkan beberapa negara itu berhasil memakmurkan rakyatnya. Selain itu muslim Iran lebih banyak beraliran Syiah, sedangkan di negara-negara Islam lainnya umumnya Sunni.
Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, secara politik bukanlah negara demokrasi. Begitu juga Libya, Kolonel Moammar Khaddafi sudah berkuasa sejak 1969. Artinya rakyat di negara-negara itu beralasan untuk melakukan revolusi.Tetapi karena rakyat di negara-negara itu relatif makmur, bahkan tergolong kaya, maka mereka tidak merasa perlu melakukan revolusi. Kalaupun berevolusi, waktunya belakangan. Berbeda dengan Iran, semasa Shah Reza Pahlevi berkuasa selain tidak demokratis, Iran terlalu pro AS, juga ekonomi rakyat buruk. Maka rakyat pun bergolak hingga Shah Reza turun dan lari ke sejumlah negara sampai meninggal di Mesir.
Potret seperti ini terjadi di Tunisia dan Mesir. Meski selama ini negara itu relatif stabil secara politik, namun demokrasinya payah. Dalam rentang waktu lama, tidak banyak presiden yang memerintah Mesir. Selepas revolusi yang berhasil menggulingkan Raja Farouk, Mesir dipimpin oleh Jendral Muhmmad Najib, selanjutnya Jendral Gemal Abdel Nasser, dan setelah itu Jendral Anwar Sadat. Terbunuhnya Sadat 1981 membuka peluang bagi Hosni Mubarak yang juga berasal dari militer (AU). Jadi boleh dikata semua presiden Mesir berasal dari kalangan militer. Adalah wajar jika prinsip-prinsip demokrasi kurang berkembang. Hak-hak politik rakyat kurang mendapat tempat yang layak dan oposisi cenderung ditekan. Ketika tekanan politik berpadu dengan masalah ekonomi yang menimpa sebagian besar rakyat, maka terjadilah revolusi.
Kecenderungan penguasa militer di banyak negara kurang respek terhadap demokrasi. Apabila hal ini berbanding lurus dengan kemakmuran ekonomi, tidaklah terlalu jadi masalah. Sebab demokrasi bukanlah kebutuhan pokok manusia dan tidak mengenyangkan. Tetapi jika di saat yang sama ekonomi tidak menggembirakan, maka di situlah api revolusi akan menyala.
Pemgakuan para WNI yang pulang ke tanah air, ekonomi Mesir dua tahun terakhir memang menurun. Harga bahan pangan semakin mahal, lapangan kerja menyempit dan penganggurna membengkak. PNS pun menuntut kenaikan gaji, sementara ekonomi negara lagi sulit. Jadi pergolakan politik di Mesir saat ini juga banyak dipicu oleh variabel ekonomi.
Bandingan Indonesia
Sama halnya dengan era Presiden Soeharto yang berkuasa lebih 30 tahun. Di masa jayanya, Pak Harto berhasil melakukan stabilisasi sosial ekonomi dan politik yang mantap. Banyak rakyat merasa hidup aman dan nyaman. Tetapi ketika terjadi krisis ekonomi moneter, maka gerakan prodemokrasi (reformasi) menguat, hingga akhirnya Pak Harto turun.
Lord Acton mengatakan, the power tends to corrupt. Kekuasaan Mubarak yang begitu lama meniscayakan terjadinya KKN di kalangan keluarga, partai National Democratic yang berkuasa dan di tubuh pemerintahannya. Situs Daily Telegraph mensinyalir kekayaan Mubarak mencapai Rp 287 triliun. Hal sama dituduhkan pada Ben Ali yang kini terpaksa hengkang dari negaranya, karena pemerintahannya dianggap korup. Saat Pak Harto jatuh dulu, beliau juga dituduh melakukan KKN, meski sampai meninggal pengadilan kesulitan membuktikannya. Jadi pemerintahan yang korup dan ketidakmampuan mengatasi korupsi dapat menjadi pemicu jatuhnya sebuah pemerintahan.
Kesamaan lain antara ketiga negara ini adalah di segi sistem politik. Meski merupakan negara muslim, Tunisia bukanlah negara Islam, Borguiba dan penggantinya cenderung menganut sistem sekuler. Sama dengan Mesir, meski negara itu merupakan pusat kebudayaan Islam dan mercusuar dunia Islam dengan adanya Universitas al-Azhar yang sudah berusia lebih 1000 tahun, namun Mesir juga bukan negara Islam. Kalau Indonesia bukan negara sekuler, bukan pula negara agama. Ada yang bilang Indonesia ”negara bukan-bukan”.
Mesir sangat pro Barat, yaitu AS, Inggris, cs. Mesir yang bukan negara petro dollar secara ekonomi banyak dibantu Barat. Boleh jadi kompensasinya adalah, Mesir jangan terlalu pro Islam. Buktinya, meski bersama negara-negara Arab, Mesir pernah berperang melawan Israel, Mesir sejak era Anwar Sadat nekad membuka hubungan diplomatik dengan Israel. AS ingin agar sepeninggal Mubarak hubungan segitiga Mesir, AS, Isreal, tetap terjaga. Karena itu AS berkepentingan untuk ikut menngendalikan revolusi kali ini. AS sebagaimana disuarakan Presiden Obama, meminta transisi politik berlangsung damai. AS khawatir kalau Mesir ke depan dikuasai kaum fundamentalis yang anti AS.
Sebagai salah satu negara terbesar dan memimpin negara-negara Arab, Mesir tidak sungguh-sungguh membela Palestina mencapai kemerdekaannya. Bahkan bantuan relawan asing yang hanya Mesir sebagai pintu utamanya, sangat sulit masuk ke Palestina. Hal ini cukup mengesalkan banyak kalangan, dan tak mustahil juga dari dalam negerinya sendiri. Artinya, rakyatnya pro Palestina, tapi pemerintahannya pro Barat (As cs) sehingga tidak bisa bersikap tegas terhadap Israel. Masalah ini turut memicu ketidakpuasan terhadap Mubarak. Sadat dulu terbunuh justru karena bersedia berdamai dengan Israel pasca Perjanjian Camp David.
Merugikan para pihak
Apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir dapat disebut sebagai revolusi. Dalam kajian sosiologis peristiwa ini dinamakan perubahan cepat yang tidak direncanakan (unplanned change) dan tentunya juga tidak dikehendaki (unintended) oleh pemerintahan Ben Ali dan Mubarak. Perubahan begini bila tidak terkendali dapat membawa akibat berupa chaos, konflik sosial politik dan bahkan perang saudara yang merugikan dan membahayakan bagi para pihak yang terlibat. Warga asing pun akan terkena akibatnya.
People power terbukti banyak berhasil menggulingkan penguasa, seperti di Filipina era Marcos, Indonesia era Pak Harto serta Thailand era PM Thaksin Sinawatra. Gerakan untuk menggulingkan Hosni Mubarak saat ini cukup massif dan eskalatif. Jadi kemungkinan berhasil juga ada. Tetapi costnya sosial politiknya mahal. Ekonomi lumpuh, terjadi kepanikan dan evakuasi warga asing, dan korban jiwa sudah berjatuhan. Jika Mubarak bersikeras tidak mundur dalam waktu dekat, eskalasi kekerasan akan terus terjadi.
Posisi Mesir sangat penting, karena Terusan Suez yang menghubungkan antara Laut Tengah (Meditrerania) dengan Laut Arab berada di Mesir. Jadi Mesir merupakan perlintasan barang dan jasa global antarbenua. Jadi dunia berpekentingan agar suasana di Mesir segera stabil. Kalau instabilitas Mesir terlalu lama, otomatis akan mengganggu perekonomian dunia. Lebih-lebih Indonesia yang secara historis-emosional dekat dengan Mesir dan mahasiswa kita banyak kuliah di sana. Evakuasi dan eksodus ke tanah air dalam suasana darurat seperti saat ini bukan persoalan sederhana.
Agar suasana di Mesir kondusif, para pihak dituntut mengendalikan diri. Amien Rais menilai, Mesir adalah negeri tertua di dunia dan berperadaban tinggi. Di Mesir pernah ada firaun, tetapi juga ada Nabi Yusuf, Musa dan Harun. Sejumlah Rasul pernah singgah di Mesir. Alangkah baiknya para elit Mesir dan rakyatnya tetap berpegang pada agamanya, sabar dan terkendali dalam menuntut perubahan.
Penting juga belajar dengan revolusi yang terjadi di negara lainnya. Tumbangnya Presiden Irak Saddam Hussein setelah invasi AS, ternyata tidak menjadikan Irak sekarang lebih baik. Indonesia pun pasca jatuhnya Pak Harto tidaklah begitu baik dan kondusif. Reformasi yang dulu bagai angin surga ternyata sekarang banyak mengecewakan. Kehidupan ekonomi rakyat masih berat. Yang agak merasa enak di masa reformasi ini hanya kalangan pejabat, elit politik dan PNS yang kesejahteraannya terus diperhatikan. Sementara nasib rakyat banyak payah, untuk menyambung hidup saja susah. Tak heran jika banyak rakyat merasa lebih enak hidup zaman dulu.
Jadi alangkah baiknya transisi dan suksesi politik di Mesir berjalan damai. Dengan begitu risikonya tidak terlalu berat, baik bagi pemerintah yang berkuasa maupun rakyat dan warganegara asing yang banyak menjalani hidup di Mesir.
Pengamat sosial keagamaan tinggal di Banjarmasin. E-mail: Barjiekalua@gmail.com.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar