Urang Banjar
dan Ojek Hajar Aswad
Oleh: Ahmad Barjie B
Kalau di Indonesia ada ojek sepeda motor, sepeda, jukung dan
perahu (getek), lanting serta ojek payung, di Mekkah justru ada ojek Hajar
Aswad, dan ini tentu satu-satunya di dunia.
Mereka ini menjual jasa berupa tenaga dan keahlian untuk
mengawal, mendampingi dan menggiring para jamaah haji dan umrah untuk bisa
mencium Hajar Aswad. Jasa tersebut tentu
bersifat komersial, dari yang relatif murah sampai tergolong mahal. Bahkan ada
yang dikenai biaya sampai 400-500 riyal setiap kali berhasil mencium Hajar Aswad.
Uang segitu tentu sangat besar, sebab sama nilainya Rp 1000.000,- lebih.
Rata-rata Rp 1.000.000 senilai 400-410 riyal Saudi.
Bagi jamaah yang tidak tahu atau kurang waspada, bisa saja
merasa tertekan dan tertipu, tetapi tidak kuasa melawan karena sudah terlanjur.
Tak jarang para pengojek itu akan mengambil sendiri dan menguras isi dompet
jamaah, dengan atau tanpa persetujuan pemiliknya. Premanisme tidak hanya ada di
tanahair, tapi juga di tanahsuci.
Cara mereka, tak jauh beda dengan juru foto di lereng Jabal
Rahmah sekitar Padang Arafah yang suka memaksa memoto dan minta dibayar sesuai
keinginan mereka. Bedanya, juru foto di Jabal Rahmah kelihatannya semuanya urang Arab, khususnya Arab badui (pedalaman)
yang kehidupannya tidak semakmur Arab perkotaan.
Beberapa waktu lalu, running
tex sejumlah
televisi nasional memberitakan bahwa banyak dari tukang ojek (joki) Hajar Aswad
tersebut yang ditangkap polisi Arab Saudi. Penangkapan tersebut sebenarnya sudah
sekian kali dilakukan, tetapi praktik serupa selalu terulang.
Bagi kita, fenomena ini patut digarisbawahi. Pertama, tidak
sedikit jamaah asal Banjar yang pernah menyewa pengojek Hajar Aswad tersebut,
baik dengan bayaran wajar maupun setengah tertipu. Kedua, kebanyakan para
tukang ojek itu justru orang Banjar sendiri. Mereka telah lama bermukim di Mekkah,
baik legal maupun ilegal dan mungkin karena kesulitan mencari pekerjaan atau
merasa menjadi pengojek Hajar Aswad penghasilannya lebh besar, akhirnya memilih
menjalani profesi ini.
Hal itu berlangsung bertahun-tahun dan menjadi pekerjaan
rutin setiap hari. Tidak pernah sunyinya jamaah umrah dah haji, menjadikan
usaha ini terus digeluti. Sepanjang tidak ada kesadaran untuk menghentikannya
dan selama tidak tertangkap petugas, mereka akan terus menikmatinya.
Sulitnya Medan
Ketika
saya bersama M Bushairie Ahmad melaksanakan ibadah umrah atas biaya Haji Achmad
(Ketua Umum Badan Pengelola Masjid At-Taqwa) dan Haji Fauzian Noor (owner PT
Riyal Tunggal Banjarmasin), bersama jamaah PT Riyal Tunggal pimpinan Ustadz
Ahmad Rijani (Tanjung) dan Ustadz Ahmad Subki (Pelaihari) kami menginap di Hotel
Retaj, yang berdampingan dengan Tower Zamzam dengan ikonnya jam raksasa.
Kami sering mengamati dan melakukan
obrolan dengan siapa saja. Satu kesempatan kami ngobrol dengan dua orang, satu
asal Banjar dan satu dari Jawa, keduanya berdomisili di Arab Saudi secara
illegal. Yang satu mengungkapkan pengalamannya bertahun-tahun sebagai pengojek
Hajar Aswad,. Katanya, pekerjaan itu digeluti karena terdesak. Mau berdagang kaki lima, risiko kena razia lebih besar, sebab
nyaris tiap hari aparat melakukan razia. Polisi Arab Saudi mudah sekali
mengenali mereka, baik dari tampangnya yang Indonesia, maupun wajah ragu,
waspada dan ketakutan di tampilan mereka. Kalau sudah razia, mereka lebih
menyelamatkan diri daripada barang-barang dagangannya. Barang-barang itu
dibiarkan tertinggal dan berhamburan, kadang dipungut oleh jamaah lain secara
gratis.
Menjadi tukang ojek Hajar Aswad
lebih aman, karena jamaah yang thawaf dan ingin mendekati Ka’bah dan mencium
Hajar Aswad sangat berjubel, berdesak dan berhimpitan. Kalau kita amati, tak
sedikit jamaah yang semula ingin mencium, memilih mundur, karena tak mau ambil
risiko. Kondisi sulit inilah yang dimanfaatkan para pengojek, mereka lebih tahu
caranya karena sudah menguasai medan.
Dalam kondisi demikian, petugas polisi yang ada setiap saat
kesulitan untuk mengejar dan menangkap pengojek tersebut, meskipun tentunya
mereka kenal karena tiap hari melihatnya. Di antara polisi itu mungkin juga ada
yang kasihan dan berusaha memaklumi orang-orang mencari makan di situ. Apakah
ada kolusi antara polisi dengan pengojek itu, saya lupa mencari tahu.
Tetapi, karena sering dihantui rasa khawatir,
akhirnya pengojek yang satu ini menghentikan kegiatannya, dan memilih menjadi
PRT biasa, meski dengan gaji relatif sedikit dbanding pengojek Hajar Aswad.
Kini ia sudah 15 tahun tinggal di Arab Saudi, namun tetap dengan status tenaga
kerja ilegal, karena majikannya tak mempersoalkan statusnya itu.
Meski ada yang sadar, tetapi lebih banyak lagi yang tidak mau
berhenti. Kebanyakan terus dengan praktik usahanya sebagai pengojek. Selama
yang membutuhkan masih besar, selama itu pula mereka akan menjalaninya. Mereka
sudah tahu siapa yang akan jadi sasaran. Orang Indonesia dan Banjar yang selama
ini sangat menggandrungi Hajar Aswad tentu menjadi sasaran empuk.
Daya Tarik
Hajar Aswad memang menjadi salah satu daya tarik jamaah
mendekati Ka’bah. Hajar Aswad terletak
di sudut sisi tenggara Ka’bah, tingginya 1,5 meter dari permukaan tanah. Meski namanya berarti batu hitam, tetapi ada
nuansa warna putih, kuning dan kemerah-merahan. Ukuran lebarnya 28 cm, tinggi
38 cm, dengan bingkai (amban) yang terbuat dari perak.
Menurut Cyrill Glasse dalam The Concise Encyclopaedia of Islam, diriwayatkan bahwa Nabi Adam
adalah orang pertama yang meletakkan Hajar Aswad di Ka’bah. Belakangan batu ini
tersimpan di pegunungan Abul Qais Mekkah, dan ketika Nabi Ibrahim dan Ismail
membangun kembali Ka’bah, Jibril memberitahu dan membantunya mengeluarkan Hajar
Aswad dari gunung dan meletakkan kembali ke sisi Ka’bah.
Saat Nabi Muhammad di usianya 35 tahun
bersama kaum Quraisy merenovasi Ka’bah pascabanjir dan meletakkan kembali Hajar
Aswad di tempatnya, batu ini masih utuh. Tetapi tahun 64 H/683 M terjadi
peperangan antara pasukan Bani Umaiyah dengan pasukan Abdullah bin Zubeir di
Mekkah. Sebagian Ka’bah terbakar terkena
kobaran api pelontar (manjaniq)
tentara. Hajar Aswad retak menjadi tiga bagian disertai sejumlah kepingan.
Tahun 317 H/930 M sekte Qaramithah/Qarmatians (yang merupakan
bagian dari kelompok Syiah) menjarah Mekkah, mereka membawa Hajar Aswad ke Hasa-Bahrein.
Mereka menawarkan sejumlah uang sebagai tebusannya. Tetapi atas bujukan sekte
Fathimiyah (bagian yang lain dari kelompok Syiah), mereka mengembalikan Hajar
Aswad ke tempatnya semula (Ka’bah) tahun 430 H/951 M, tanpa uang tebusan. Saat
mengembalikan Hajar Aswad sudah retak menjadi tujuh bagian, dan mereka
menuliskannya: “Kami mengambil atas perintah dan mengembalikannya atas
perintah”. Perintah siapa, tidak diketahui pasti. Tampaknya ada unsur politik dan propaganda
dari pengambilan dan pengembalian Hajar Aswad tersebut.
Dari cerita di atas, tampak bahwa Hajar Aswad adalah batu
khusus yang memang sudah sangat tua dan jadi rebutan. Tapi ia juga benda mati
yang tidak terlepas dari gangguan dan keretakan akibat ulah manusia. Nabi
Muhammad saw memang menciumnya. Para sahabat
juga melakukannya, tetapi mereka tidak fanatik. Suatu ketika saat thawaf, Umar
bin Khattab berkata: “Aku tahu, engkau adalah batu yang tidak dapat membawa
manfaat dan mudarat, sekiranya aku tak melihat Nabi menciummu, aku tak akan
menciummu”.
Kaum muslimin sekarang (jamaah haji dan umrah) mestinya tidak
terlalu mengkultuskannya. Tak perlu memaksakan diri, berjejal, berhimpit,
terinjak-injak apalagi sampai membayar mahal hanya untuk mencium Hajar Aswad.
Bagi yang dapat melakukannya silakan, bagi yang tidak dapat cukup melihat dari
jauh atau memberi isyarat.
Para petugas haji dan umrah
hendaknya selalu memberitahukan hal itu kepada jamaah bimbingannya. Dan bagi
para pengojek (joki) Hajar Aswad, kalau mau menolong dengan upah juga silakan,
tetapi sebaiknya alakadarnya saja, jangan sampai terkesan memeras. Mengambil
kesempatan di tengah kesempitan.
Sekretaris Umum Yayasan & Badan
Pengelola Masjid At-Taqwa Banjarmasin.
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: Oktober 2012