Sultan Banjar di Tanah Deli
Oleh: Ahmad Barjie B
Merantau ke Deli, itulah salah satu novel Buya
Hamka. Hamka berasal dari Maninjau-Padang Sumatra Barat, yang jaraknya ke Deli
tidaklah terlalu jauh, tidak sampai 1000 kilometer. Novel Hamka itu menunjukkan
betapa tingginya animo orang Minang dulu merantau ke Deli, termasuk perantau
Jawa dan Kalimantan.
Deli masa lalu memang cukup terkenal. Wilayahnya
mencakup Kota Medan dan sebagian besar kabupaten/kota di Sumatra Utara yang
kini berjumlah 33 buah. Deli pernah mengalami masa kejayaan dan kemakmuran
setelah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Deli, yang masih ada kaitan dengan
Kesultanan Aceh, Samudra Pasai dan Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Di antara bekas peninggalan kejayaan Kesultanan
Deli adalah bangunan megah Istana al-Maimun dan Mesjid Raya al-Mahsun, yang
hingga kini masih menjadi ikon dan daya tarik wisata kota Medan.
Meskipun Deli pernah dikuasai Belanda, namun
Kesultanan Deli beserta istananya tidak dihancurkan, dan tidak pula dibubarkan
sebagaimana nasib Kesultanan Banjar. Kesultanan Deli dan Belanda lebih memilih
menjalin kerjasama atas dasar saling menguntungkan.
Perantau Banjar
Salah satu kelebihan tanah Deli adalah wilayahnya
yang luas dan tanahnya subur untuk pertanian dan perkebunan. Ketika dan sesudah
Perang Banjar (1859-1906) dulu, banyak rakyat Banjar di Kalimantan hidup dalam tekanan. Meski Kalimantan alamnya
luas, tetapi mereka tidak bisa konsentrasi berusaha/bertani karena keadaan
negeri tidak stabil.
Tekanan penjajah secara fisik dan mental
menjadikan mereka tidak nyaman. Keadaan ini mendorong mereka merantau, mencari
daerah pemukiman baru. Maka terjadilah migrasi urang Banjar ke luar Kalimantan,
ada yang ke Tembilahan Riau, Jambi, Palembang, SemenanjungMalaka (Malaysia), termasuk
juga ke Deli Sumatra Utara.
Saat ini komunitas terbanyak urang Banjar ada di Kabupaten
Langkat, Kabupaten Deli Serdang dan Serdang
Bedagai. Tetapi menurut Effendi Sadli, pengurus Paduan Masyarakat Kulawarga
Kalimantan (PMKK), urang Banjar ada di 33 kabupaten/kota, dengan jumlah
populasi mencapai 400 ribu jiwa lebih.
Sejak dulu, urang Banjar yang merantau ke Sumatra
lebih banyak bekerja sebagai petani kebun dan sawah. Ada juga yang menjadi
buruh perkebunan tembakau, tebu, karet dan kelapa sawit. Hal ini diakui oleh
Gubernur Sumatra Utara Gatot Pujo Nugroho dan Bupati Serdang Bedagai Tengku
Eryy Nuradi (keduanya terpilih sebagai pemenang pilkada Sumut) ketika menyambut
Sultan Banjar Khairul Saleh dalam acara peresmian Rumah Adat Banjar ”Lampau
Banua” di Stabat ibukota Kabupaten Langkat beberapa waktu lalu, yang
mendapatkan sambutan dan liputan luas sejumlah media besar yang terbit di Medan.
Karena itu pihaknya sangat menghormati dan
berterima kasih kepada perantau Banjar yang berjasa dalam mengolah alam untuk keperluan
perkebunan dan pertanian, sehingga kebutuhan pangan daerah ini cukup terjamin.
Dalam mengolah alam, perantau Banjar menerapkan prinsip ramah lingkungan dan
bersahabat dengan alam, sehingga aktivitas pertanian mereka tidak merusak alam
setempat.
Jarang Pulang
Perantau dan keturunan Banjar di Sumatra jarang
bahkan ada yang tidak pernah sama sekali pulang dan menjenguk tanah leluhurnya
di banua Banjar. Tidak seperti perantau Jawa yang masih pulang secara rutin
bahkan sering mengajak keluarganya lagi ke Kalimantan. Perantau Banjar bersifat
permanen alias madam.
Ketidakpulangan perantau Banjar disebabkan: pertama, dengan statusnya sebagai pemadam
permanen, mereka seolah putus dalam hal hubungan keluarga. Dari wawancara
dengan sejumlah orang dan dari bahasa yang digunakan, diketahui leluhur mereka
ada yang berasal dari Martapura, Rantau Kandangan, Barabai, Amuntai, Kelua-Tabalong
dan sebagainya. Tetapi mereka kesulitan menunjukkan siapa keluarganya, sehingga
kalau pulang ragu menuju ke mana.
Kedua, mereka kebanyakan berprofesi sebagai
petani, sebagaimana ditekankan oleh Gubernur. Dengan profesi itu mereka sangat
terikat dengan usaha pertanian (kebun dan sawahnya) dan sulit meninggalkannya.
Mungkin juga hasil pertaniannya hanya cukup untuk makan dan hidup sederhana di
rantau orang, sehingga tidak memungkinkan untuk bulik ke Banjar yang cukup menyita waktu dan biaya.
Ketiga, kebanyakan urang Banjar tidak berprofesi
sebagai pedagang dan pegawai yang menuntut moblitas tinggi. Hal ini diakui juga oleh Bupati Langkat Haji
Ngogesa Sitepu. Mengingat jasa urang Banjar membangun daerah, ia ingin membalas
dengan mengangkat urang Banjar sebagai pejabat di lingkungan pemerintah
kabupaten. Tetapi ia kesulitan, sebab tidak banyak PNS etnis Banjar yang
golongan pangkatnya tinggi.
Keempat, perantau Banjar sudah menjadikan
kediamannya sekarang sebagai kampung halaman sendiri. Hal ini pulalah yang
ditekankan oleh Sultan Banjar Khairul Saleh ketika menyambangi warga Banjar di
perantauan. Urang Banjar merasa cocok, karena merasa senasib sepenanggungan,
ditopang peribahasa: di mana duduk
taampar di situ kakulaan tabina. Mereka juga mampu menyesuaikan diri dengan
penduduk asli, di mana bumi dipijak di
situ langit dijunjung. Mereka tak mau menyulut konflik dan ingin berkuasa,
sesuai peribahasa rumput kada maalahakan
banua.
Kemampuan beradaptasi dan rasa cocok dengan kediaman
sekarang, sambil tetap memelihata adat tradisi budaya Banjar, tidaklah menghapus
kerinduan mereka terhadap tanah leluhur banua Banjar. Karena itu urang Banjar
di sana sangat bahagia ketika Sultan Banjar yang mereka juluki Tuanku Baginda
Sultan Khairul Saleh al-Mu’tashim Billah berkenan mememuhi undangan mereka
untuk meresmikan Rumah Adat Banjar sekaligus bersilaturahim dengan bubuhan
Banjar. Sultan juga diminta datang lagi meresmikan pembangunan Gedung
Sekretariat PMKK yang sudah diletakkan batu pertamanya.
Membangun Relasi
Agar antara perantau Banjar dengan banua Banjar
tetap terjalin hubungan yang intens dan mesra, mereka mengharapkan para pejabat,
tokoh, pengusaha dan ulama Banjar berkenan datang ke sana, atau mereka diminta
datang ke Banjar dengan saling memfasilitasi kunjungan tersebut.
Menurut Drs H Abdul Ghani Fauzi MM, Kabid Budaya
Disbudpora Banjar yang mendampingi kunjungan Sultan Banjar, hubungan yang
lancar antara Banjar dengan perantau Banjar luar daerah akan mendatangkan nilai
positif, tak hanya di segi sosial budaya tetapi juga ekonomi. Beberapa seni
budaya Banjar di sana ketika menyambut tamu dan perayaan maulid nabi seperti aruh/kenduri
maulid antarkampung, persembahan shalawat, baasalai
(baayun anak), ketan berhias, baturai pantun, makan dengan lauk-pauk bertalam dan
kekuatan mempertahankan pakaian dan bahasa Banjar patut diapresiasi. Agen
sasirangan perlu dibuka di sana supaya etnis Banjar atau siapa saja yang
berminat dapat membeli produk kain khas Banjar tersebut. Begitu juga bika Ambon
atau kuliner lainnya sebagai cirikhas Medan perlu dikembangkan produksinya di
Banjar, sebab di daerah ini pun banyak orang Medan-Sumatra Utara berdomisili. Semakin luas wilayah silaturahim akan semakin
menambah relasi dan rezeki.
Memang selama ini urang Banjar kesulitan
mengunjungi keluarga di banua, karena komunikasi antarkeluarga yang sudah
relatif terputus. Jadi relasi yang ingin dibangun adalah relasi kolektif atau rombongan,
dan ini hanya mampu dilakukan oleh pejabat, pengusaha dan organisasi/paguyuban.
Apa yang sudah dilakukan oleh Sultan Banjar selama ini perlu terus diperluas
dan ditingkatkan intensitas dan kualitasnya. Keterbatasan waktu, jarak, uang
dan ruang, tidak boleh menjadikan kita terpisah antarsesama.
(Radar Banjarmasin, 20 April 2013).