Caleg Bernuansa Syariah
Oleh: Ahmad Barjie
B
Sekretaris Umum Yayasan & Badan Pengelola
Masjid at-Taqwa Banjarmasin
Front Pembela Islam
(FPI) yang selama ini dikesankan sebagai organisasi radikal dan berjuang secara
inkonstitusional, ternyata amat menguasai persoalan konstitusi. Dalam sebuah
ceramah di Banjarmasin, seorang Ketua FPI Pusat yang merupakan lulusan
Lemhannas, menegaskan bahwa perjuangan mereka menegakkan syariat dan
antimaksiat selama ini justru sebagai bagian dari upaya mengamalkan sila pertama
Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terkait
dengan Pemilu, FPI juga menganjurkan rakyat pemilih agar proaktif memilih,
tidak golput. Cuma FPI menganjurkan agar
pemilih lebih memilih caleg yang memperjuangkan ajaran Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Untuk itu dibentuk Forum Caleg Syariah (FCS) yang jika
terpilih akan memperjuangkan kehidupan yang lebih religius, yang diikat dengan
Pakta Integritas: Menjadikan NKRI lebih bersyariah; Membuat UU dan Perda yang
lebih sejalan dengan syariat; Mengamandemen atau merevisi UU dan Perda yang
tidak sesuai; Antikorupsi, antimaksiat dan sebagainya.
Imam
Besar FPI Habib Rizieq Shihab menekankan siapa pun dan dari partai mana pun,
apabila punya misi menegakkan syariat, para caleg tersebut patut didukung. Pihaknya
menghimbau berbagai ormas Islam besar dan kecil mendukung hal tersebut, karena
semakin banyak caleg terpilih makin baik.
Payung Hukum
Dijadikannya
energi agama untuk mendukung kesuksesan Pemilu, memilih pemimpin nasional dan
daerah dan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan hal positif.
Hal itu jauh lebih baik ketimbang energi itu digunakan di luar koridor,
misalnya melalui cara-cara kekerasan dan inkonstitusional.
Umat
Islam tidak boleh acuh tak acuh, masa bodoh apalagi pesimistik terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Alm Hadratus Syekh Tadjul Arifin (Abah Anom)
berpesan, bangsa ini telah diperjuangkan kemerdekaannya oleh darah dan nyawa
banyak ulama, jadi generasi kemudian harus ikut menjaga, merawat dan memperbaikinya.
Memperjuangkan
syariat sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Di situ sudah ditegaskan bahwa
negara menjamin kemerdekaan dan kehidupan beragama serta hak tiap-tiap agama
untuk mengamalkan dan mengembangkan agamanya. Hidup dalam negara pluralistik agama
seperti Indonesia
bukan berarti kita menihilkan agama ke titik nol dan hanya menjadikannya
sebagai urusan pribadi. Justru agama tetap harus menjadi warna kehidupan,
sehingga terwujud kehidupan yang sosialistik dan nasionalistik-religius.
Dihilangkannya
tujuh kata dalam Piagam Jakarta tentang kewajiban umat Islam menjalankan
syariatnya, bukan berarti syariat itu ditinggalkan. Syariat tetap saja hidup
dan menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara. Dr KH Ideham Chalid, salah
seorang saksi sejarah menegaskan bahwa ketika Bung Karno mengeluarkan Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959 tentang kembalinya NKRI kepada UUD 1945 setelah
Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 tidak berhasil menjalankan tugasnya, Bung
Karno juga menegaskan Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945.
Dengan
adanya penegasan itu maka Masyumi dan NU yang saat itu menjadi parpol beserta
berbagai ormas dan kekuatan umat Islam bersedia menerima Dekrit Presiden.
Seandainya isi Piagam Jakarta
tidak dijadikan sebagai jiwa UUD 1945, boleh jadi Dekrit itu pun akan ditolak.
Kekuatan umat kala itu besar, buktinya mereka sanggup menolak diangkatnya
menteri kabinet dari Partai Komunis Indonsia (PKI) walaupun saat itu PKI juga
beroleh suara signifikan.
Penting dan Strategis
Duduknya
para wakil rakyat yang mau dan mampu memperjuangkan syariat sangat penting,
sebab banyak masalah kehidupan bangsa saat ini yang tidak sejalan dengan
syariat. Pengelolaan sumber daya alam yang dikuasai asing dan swasta nasional
dan belum diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat, layanan pendidikan dan
kesehatan yang masih mahal, eksploitasi pekerja, perdagangan manusia, maraknya
korupsi, prostitusi, miras, narkoba dan berbagai kemaksiatan adalah beberapa
contoh fenomena kehidupan yang bertentangan dengan syariat.
Memperjuangkan
semua itu sulit dengan hanya mengandalkan dakwah. Biar berbusa-busa ulama
berdakwah tidak akan ngaruh. Dan kekuatan masyarakat pun tak akan
efektif. Bahkan rentan menimbulkan anarkisme, main hakim sendiri dan benturan horisontal.
Justru dalam hal ini diperlukan kehadiran pemerintah dan daerah, berupa adanya
aturan dan sanksi yang tegas, serta aparat eksekusi di lapangan.
Contoh
kecil di Kota Banjarmasin terdapat banyak tempat hiburan malam (THM) yang
bernuansa maksiat, dan beroperasi tidak jauh dari masjid, mushalla, sekolah,
perkantoran dan pemukiman penduduk. Aneh dan miris melihat jamaah masjid pulang
shalat dan pengajian sudah berbauran dengan penikmat THM. Terjadi penurunan
moralitas di kalangan masyarakat, termasuk generasi muda. Para
orang tua semakin tidak berdaya. Terjadi pemborosan uang yang seharusnya
digunakan untuk hal-hal produktif.
Beberapa
Ormas sudah mencoba menempuh perjuangan secara damai dan prosedural melalui
gugatan Class Action (CA). Melalui Putusan Sela Pengadilan Negeri
Banjarmasin gugatan dikabulkan, tapi hasil akhirnya tetap saja gagal. Pelaku
usaha hiburan malam tetap merasa usahanya legal karena memiliki izin dan ada
Perda yang menjadi payung hukumnya. Artinya, jika ingin menggugat, harus juga
dengan menggugat Perdanya yang telah dikeluarkan oleh kepala daerah dan DPRD.
Tampak
bahwa perjuangan ekstraparlemen sangat melelahkan, panjang dan seperti membuang
waktu dan energi. Sekiranya kepala daerah dan DPRD punya misi syariat tentu
masalahnya tidak serumit itu.
Kita
berharap, kepala daerah dan DPRD ke depan seyogyanya memiliki komitmen untuk
menegakkan syariat, minimal dalam lingkup wilayah masing-masing. Hal ini harus
dimulai dan dipersiapkan dari sekarang.
Even
pemilu adalah sarana mempersiapkan kepala daerah dan wakil rakyat. Kepala
daerah bisa berasal dari kalangan DPRD, dan DPRD bersama kepala daerah memiliki
kewenangan besar, termasuk membuat, melaksanakan dan mengawasi Perda.
Sayang sekali hari h pemilunya sudah makin dekat,
tetapi misi kampanye yang bernuansa syariat masih belum terdengar. Hangar bingar
Pemilu saat ini justru pada hal-hal teknis seperti pelanggaran aturan serta
aroma politik uang yang makin terasa. Padahal itu hanya masalah kulit dan
temporal.
Lebih
substansial dari segalanya justru kita harus memastikan dan meminta para wakil
rakyat benar-benar berjuang untuk rakyatnya. Menegakkan kebenaran, keadilan dan
kesejahteraan dalam arti sebenarnya.