Tentang Profesor Rhoma Irama
Oleh: Ahmad Barjie
B
Keperluan
apakah biasanya orang cenderung menyebutkan gelar akademik atau kesarjanaannya?.
Kalau dijawab ketika menulis di koran
atau buku jelas salah, sebab banyak penulis tidak mau menyantumkan gelar akademiknya,
kecuali yang baru memperoleh gelarnya. Bahkan salah satu ketentuan penulisan
ilmiah; makalah, skripsi, tesis dan disertasi, gelar akademik penulis buku
tidak perlu dicantumkan.
Kalau
jawabannya ketika membuat kartu undangan perkawinan, jawabannya bisa ya dan
tidak. Memang sering terjadi
pasangan menyebutkan titelnya jika mempelai pria dan wanita sama-sama punya
titel. Sering pula keluarga yang turut mengundang disebut semuanya
lengkap dengan titelnya yang berjejer. Tetapi tidak sedikit orang dalam mengundang
juga enggan menyertakan gelarnya, mungkin bagian dari sikap tawadlu, rendah
hati,
Apalagi
ketika upacara kematian, si mati jelas
tidak akan mencantumkan gelarnya, sebab setinggi dan sepanjang apa pun gelar
kesarjanaannya, tidak lagi berguna. Yang mencantumkan paling keluarga atau
pihak lain yang bersimpati.
Kondisi
dan keperluan di mana orang-orang hampir pasti menyebutkan gelar akademiknya
adalah ketika mencalonkan diri sebagai calon legislatif dan/atau kepala daerah.
Dalam kondisi begitu nyaris tidak ada orang yang menyembunyikan titelnya.
Apakah
gelarnya diperoleh melalui kuliah reguler, eksekutif, bahkan tak mustahil cara
instan, semua ditampakkan. Hal ini terlihat dari spanduk, baliho, kartu nama
dan sebagainya menjelang Pemilu ini, hampir selalu ada gelar yang menyertai. Kalau
di zaman dulu orang meyakinkan masyarakat pemilih dengan pengabdiannya, kini
kalau bisa lewat gelar dan tampilannya.
Profesor Rhoma
Begitu
juga halnya dengan Rhoma Irama. Selama ini nyaris tak ada orang, termasuk dangdut
mania sekalipun, yang tahu bahwa Raja Dangdut ini diberi gelar Profesor. Ternyata
di musim Pemilu dan menjelang Pilpres ini muncul nama Profesor Rhoma Irama.
Di
salah satu kawasan Jakarta Selatan, dan mungkin ada juga di tempat lain,
terpampang baliho bertuliskan “Profesor Rhoma Irama, Presiden Kita
Bersama”. Baliho tersebut tentu dipasang
oleh Tim Sukses Rhoma, yang sejak beberapa bulan terakhir membentuk posko Rhoma
Irama for Republic Indonesia (Rifori). Bagi penggemar dan pengagumnya, Rhoma
digadang menjadi salah satu kandidat Calon Presiden PKB, di samping Jusuf Kalla
dan Mahfud MD.
Kontan
saja masalah ini menjadi kontroversi. Banyak pihak mengecam, mempertanyakan dan
tak sedikit yang mendukung dan menganggap biasa. Kementerian Pendidikan
Nasional sebagaimana dikatakan oleh Mendiknas M Nuh, mengaku tidak tahu kalau
selama ini Rhoma diberi gelar profesor. Menurutnya seharusnya gelar itu diuji
dan disetarakan dulu di Indonesia. Jika memenuhi syarat barulah diakui.
Selama
ini untuk memperoleh gelar profesor (guru besar), memang melalui prosedur yang
lama dan panjang. Selain melalui kuliah reguler, juga yang bersangkutan
memiliki karya ilmiah, pengabdian, mengajar, penelitian dan sebagainya.
Rhoma
sendiri dalam sebuah wawancara televisi mengatakan, gelar profesor itu sudah
lama diberikan oleh American University of Hawaii,
tepatnya Januari 2005. Tanpa diminta, dan tidak membayar sepeser pun, kala itu
ada tiga profesor yang mendatanginya saat di Taman Mini, lalu memberikan gelar
tersebut. Spesifikasi gelarnya adalah Professor in Music.
Alasannya
karena Rhoma telah mengabdi dan berkaya lama sekali dalam bidang musik,
karyanya diakui dunia dan memberi banyak pencerahan. Karena di bidang musik,
maka Rhoma merasa gelar yang diberikan padanya hal yang wajar saja sebagai apresiasi.
Meski sudah lama, namun Rhoma sendiri tidak pernah memublikasikan, memakai dan
menggunakan gelar itu untuk keperluan apa pun. Baru jelang Pilpres ini ada tim
sukses yang memasangnya.
Bagi
Ki Joko Bodo, gelar yang diberikan pihak luar kepada Rhoma dianggapnya wajar,
setelah melihat pengabdian, reputasi, kapasitas dan polularitas Rhoma sebagai penyanyi
dangdut. Seharusnya, menurut Ki Joko, yang memberi gelar itu adalah universitas
dalam negeri, bukan pihak luar.
Sebatas Penghormatan
Gelar
profesor yang disandang Rhoma sebaiknya dianggap sebagai dan sebatas
penghargaan saja. Tidak perlu dikait-kaitkan dengan dunia perguruan tinggi,
karena memang tidak berkaitan. Tidak perlu pula dipandang dari perspektif UU No.
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta UU No. 14/2005 tentang Guru
dan Dosen.
Di
sini memang diatur, yang namanya profesor (guru besar) adalah orang yang
mengajar di perguruan tinggi, dengan golongan pangkat tertentu, waktu yang lama
disertai karya ilmiah/buku, penelitian, atau pengabdian pada masyarakat. Kalau
parameternya UU maka penyandang gelar yang tidak sah dapat dikenai sanksi
pidana kurungan 6 tahun dan/atau denda Rp 500 juta.
Masalah
gelar selama ini memang masih kontroversial, mulai dari orangnya hingga
perguruan tinggi (PT) yang memberinya. Dulu Prof Dr Buya Hamka diberi gelar
Doctor Honoris Causa oleh Universitas al-Azhar Mesir dan gelar Profesor oleh
Universitas Moestofo Beragama Jakarta, orang tidak ribut. Itu karena baik
Hamkanya maupun universitas pemberinya dikenal.
Giliran
Rhoma yang diberi gelar serupa orang ribut. Ini mungkin karena lembaga
pemberinya, yang konon tidak terakreditasi, tidak dikenal. Terkait dengan Rhoma
sendiri, kalau digelari Professor in Music tentu wajar saja, sebab
reputasinya di bidang ini diakui luas dan tak tertandingi. Namun sebaiknya gelar
itu jangan profesor, cukup misalnya King of the King dan sejenisnya seperti disandang
King of Pop mendiang Michael Jackson.
Tetapi di Indonesia tak cuma itu persoalannya.
Ada orang yang lama dan lelah kuliah di sebuah PT Islam Timur Tengah, tapi
gelarnya tidak diakui, sementara temannya yang lain di PT yang sama tidak
dipersoalkan memakai gelarnya. Jadi mana yang benar, apakah hebat kita dalam
negeri atau luar negeri.
Daripada terbelit kontroversi, sebaiknya menjauhi
hal-hal kontroversial. Meski elektabiltasnya menurut survei turun naik, Rhoma
merupakan kandidat Capres paling populer. Bocah ingusan hingga kakek sepuh
kenal dengannya. Biasanya di negeri ini popularitas berbanding lurus dengan
elektabilitas. Asalkan popularitas itu murni alami, tidak dipaksakan sementara
sang pemimpin belum teruji berhasil memimpin.
Tim sukses Rhoma sebaiknya
menggunakan kapasitas Rhoma sebagai pedangdut, ulama, dan tokoh publik saja. Karena
di ranah itu pun penggemarnya sangat banyak dan potensial. Tak perlu diberi
embel profesor segala, karena bisa kontraproduktif. Di tengah persaingan ketat,
hal-hal begini bisa jadi pintu masuk orang saling menjatuhkan.
kelinci99
BalasHapusTogel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino