Tradisi Konflik Parpol Islam
Oleh: Ahmad Barjie B
Beberapa waktu lalu publik
menyaksikan konflik internal PPP, partai berasas Islam dan mengklaim sebagai
Rumah Besar Umat Islam. Di
saat persatuan dan koalisi semakin dibutuhkan, PPP mempertontonkan sebaliknya.
Meski sudah diselesaikan lewat islah, konflik tsb patut
disesalkan. Dikhawatirkan konflik akan tetap terjadi, dengan akibat goyahnya
pundasi rumah besar dan tumbuhnya apatisme masyarakat terhadap partai Islam.
Isu terakhir, massa Rhoma
Irama bakal menarik dukungannya kepada PKB, karena PKB tidak kunjung menjadikan
Rhoma sebagai capres ataupun cawapres. Bahkan PKB cenderung berkoalisi dengan
partai dan capres lain.
Pendukung Rhoma yakin
kemenangan PKB karena Rhoma Effect, dan mereka sudah berkeringat. Jika
masalah ini tidak dimanage dengan baik, tak mustahil PKB juga akan tertimpa
keretakan, minimal ditinggalkan simpatisan yang kecewa.
Mengulang Sejarah
Konflik parpol satu sisi
mengejutkan karena terlalu prematur. Tetapi jika ditengok sejarah, konflik
bukan baru bahkan cenderung menjadi tradisi, stereotip dan penyakit kambuhan.
Pascamerdeka, Presiden
Soekarno dan Wapres Bung Hatta mengeluarkan Maklumat X, isinya mendorong
lahirnya partai-partai politik sebagai saluran legal ideologi politik dan corak
budaya bangsa Indonesia yang majemuk. Lahirlah PNI mewakili kalangan
nasionalis, Masyumi mewakili umat Islam, Parkindo mewakili umat Kristen dan
Katolik, PKI mewakil i penganut komunisme
dsb.
Awalnya NU belum menjadi
partai politik dan hanya menyandarkan aspirasinya melalui Masyumi. Ulama NU
umumnya duduk di lembaga Syuriah (Penasihat), sedangkan pelaksana harian
diduduki kalangan non NU. Belakangan NU terpaksa memilih berdiri sendiri
sebagai partai politik, karena banyak aspirasi sulit disalurkan kalau hanya
bersandar pada Masyumi. Kala bercerai dengan Masyumi, NU sempat dituding
pemecah belah umat Islam.
Kedua parpol Islam dan
berbasis massa umat Islam ini, berbeda terkait kebijakan dalam maupun luar
negeri. Masyumi menghendaki Indonesia menjadi Negara Islam dengan hukum-hukum
Islam berlaku secara eksplisit, sementara NU lebih realistik dan merasa cukup
dengan Negara Religius-Nasionalis di mana ajaran Islam berlaku secara implisit.
Pendirian NU ini didukung kalangan nasionalis.
Masyumi memilih ikut Mutual
Security Act (MSA), pertahanan dan keamanan Indonesia berada dalam jaminan
dan pengawasan AS dan Inggris. Keuntungannya Indonesia akan beroleh bantuan Barat
yang sangat dibutuhkan karena Indonesia ingin membangun ekonomi pascamerdeka.
Sebaliknya, PKI ingin Indonesia berkiblat ke Uni Soviet dan RRC, dua negara
yang juga bersedia membantu, namun disertai penetrasi ideologi.
NU menolak kedua pihak. Yang
pertama konsekuensinya Indonesia akan menjadi Blok Barat, berada di bawah pengaruh
negara besar dan kehilangan kedaulatan sebagai negara merdeka. Ikut yang kedua, Indonesia akan menjadi
Negara Komunis, ini juga berbahaya dan rentan resistensi dengan umat Islam.
Ulama NU dikecam dengan
sindiran tradisional-konservatif. ”Ulama yang kerjanya hanya membaca kitab
kuning dan mengurus pengajian mana tahu masalah politik dalam dan luar negeri
dan pembangunan ekonomi”. Tetapi ulama dan partai NU yakin dengan pendiriannya.
Bagi NU Indonesia harus menjadi negara mandiri, ”la gharbiyyah wa la
syarqiyyah” (bukan barat bukan timur).
Ternyata pendirian NU
didukung pemerintah dan partai nasionalis. Melalui Konferensi Asia Afrika (KAA)
di Bandung 1955 dipimpin PM Ali Sastroamijoyo dari PNI, yang oleh rival PNI + NU
disebut Konferensi Apa-Apaan, yang sukses dan dilanjutkan Konferensi Islam Asia
Afrika (KIAA) 1965 dipimpin Waperdam II Ideham Chalid dari NU, Indonesia
meneguhkan dirinya sebagai Negara Non Blok. Peran sebagai penggagas, pendiri
dan anggota Negara-negara Non Blok yang dominan menjadikan Indonesia di masa Bung
Karno dan Pak Harto disegani dan dihormati dalam pergaulan internasional.
Partai NU juga dikecam
ketika mendukung pemerintah. Bersama Menteri
Agama KH Masykur, ulama Muhammadiyah dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah)
dilakukan pertemuan Cipanas 1954. Isinya, organisasi besar ini mengakui
pemerintah Presiden Soekarno dan lembaga-lembaga tinggi negara sebagai penguasa
yang sah dan memiliki kekuasaan waliyyul amr ad-daruri bis-syaukah.
Menurut
Ideham Chalid, konsep ini dimaksudkan mengesahkan pemerintah yang ada, sebab kalangan
separatis menuduh Indonesia pemerintah kafir dan banyak PNS ragu menerima gaji
karena dianggap haram atau syubhat, sehingga tak sedikit yang berhenti sebagai
PNS. Juga agar Kemenag berwenang sebagai wali hakim bagi perempuan yang menikah
tanpa wali. Kalau pemerintah dianggap tidak sah, wali hakimnya juga tidak sah. Bagaimana
menikahkan orang yang tak ada wali nasabnya?
Lebih Pragmatis
Tampak
Partai Masyumi dan Partai NU pernah pecah dan bercerai, karena ada nuansa
perbedaan ideologis. Namun tetap ada irisan yang mengandung persamaan, keduanya
masih bisa berkoalisi, terlebih ketika menghadapi PKI sebagai musuh bersama.
Bedanya NU melawan dari dalam pemerintahan dan Masyumi yang sudah dibubarkan
Bung Karno memusuhinya dari luar.
Di
awal Ordebaru Partai NU juga terbelah, NU Politik dan NU Ormas Keagamaan. Rezim
Orba yang tak ingin melihat Partai NU besar mendukung NU Ormas. NU Politik
ditekan berfusi menjadi PPP bersama Parmusi, PSII dan Perti. Jaelani Naro dari
Parmusi melakukan de-NU-nisasi dengan menggusur jabatan Presiden Partai yang
diduduki Ideham Chalid dan Majelis Syura yang diduduki ulama NU. Akibatnya banyak
massa NU yang kecewa dan PPP di masa-masa awal rentan konflik karena ada
subideologi dan kelompok interes yang berbeda.
Apa
yang terjadi di tubuh PPP kemaren tidak dipicu persoalan ideologis, tetapi
lebih pada pragmatisme politik untuk berkoalisi. Ada yang cenderung ke Prabowo (Gerindra),
Jokowi (PDIP), ARB (Golkar), atau membangun poros sendiri sesama parpol Islam.
Selebihnya akar kisruh karena miskomunikasi, gaya kepemimpinan, prosedur dan
multitafsir terhadap AD/ART serta dalam mengevaluasi hasil Pileg. Perbedaan
begini ringan saja dan tidak terlalu mendasar. Masalahnya dapat diselesaikan
dengan duduk bersama dan islah, dan ini sudah dilakukan dengan baik.
Ke
depan, perlu sekali dipastikan Pileg dan Pilpres serempak, dengan meniadakan
aturan Presidential Threshold 20-25 % suara. Dengan begitu semua partai
yang punya kursi dan ikut pemilu boleh mengajukan capresnya dari awal, tanpa
harus berkoalisi. Selain efisien, ini menggairahkan pemilu karena ada banyak
pilihan capres, dan sesungguhnya bangsa ini banyak punya tokoh alternatif,
tidak sekadar 3-4 capres yang ada sekarang. Koalisi satu sisi
menyatukan antarpartai, namun terasa semu dan pragmatis karena morifnya
kekuasaan. Bahkan koalisi rentan meretakkan internal partai seperti sempat terjadi
di PPP dan mungkin juga akan dialami PKB dan partai lain.
Apa pun
pemicunya, konflik internal partai hendaknya dihindari. Rakyat merindukan
persatuan, bukan perpecahan.
kelinci99
BalasHapusTogel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino