Guru dan Karya
Tulis
Oleh: Ahmad Barjie B
Sebuah media edisi 16 Juli 2012 memberitakan “Guru Wajib
Bikin Karya Tulis”. Permenpan No. 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru
dan Angka Kreditnya menjadi dasar diwajibkannya guru menulis. Kalau dulu ketentuan
ini berlaku untuk guru yang akan naik pangkat dari IVa ke IVb, kini dari IIIb
ke IIIc. Menurut Ketua Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) Kalsel Muhammad
Marwani, bentuk karya tulis dimaksud adalah artikel di koran dan karya ilmiah
lainnya.
Media massa
sudah sering menyoroti langkanya guru berkarya tulis. Hal ini menghambat
peluang mereka menjadi guru berprestasi daerah dan nasional. Banyak guru juga
kesulitan mencapai golongan pangkat tinggi karena terbentur masalah ini. Padahal
bersama kualifikasi dan sertifikasi guru, kemampuan menulis tidak bisa
diabaikan.
Guru di Kalsel umumnya minim karya
tulis, baik tulisan ilmiah populer di media massa, karya fiksi, laporan penelitian,
apalagi buku. Sebenarnya guru berkarya tulis, termasuk buku, bukan mustahil.
Buktinya, sejumlah buku ajar SD-SLTA karya para guru di Jawa. Mereka aktif
mengajar dan produktif menulis.
Beberapa Kendala
Ada
prakondisi dan kendala sehingga karya tulis guru langka dan kemampuan di bidang
ini rendah. Budaya tulis di masa lalu kalah oleh budaya tutur. Banyak cerita
rakyat dan ungkapan tradisional beredar dari mulut ke mulut, tanpa tahu siapa
penulisnya. Ini berlanjut di tengah membanjirnya televisi dan internet, yang
lahir filming society, bukan writing society.
Taraf hidup sosial ekonomi masyarakat, termasuk guru dulu relatif
rendah karena gaji minim, fokus pikiran hanya mengajar dan mendapatkan
penghasilan tambahan. Saren Kiergekaart mengatakan, primum vivere deinde philosophare (hidup dahulu baru berpikir).
Menulis menuntut energi ekstra, serius
dan fokus, kurang kondusif jika pikiran kusut oleh urusan perut, kerja dan
nafkah. Tetapi seiring membaiknya kesejahteraan guru dewasa ini, alasan perut
tidak lagi tepat. Guru harus mencoba dan berusaha menulis. Kalau alasan ekonomi
dan waktu terus dijustifikasi, sampai mati pun tidak sempat menulis.
Guru belum memahami tuntutan kompetensi secara komprehensif. Pasal
10 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menuntut empat
kompetensi guru: kompetensi kepribadian berupa akhlak dan moral terpuji agar
bisa diteladani; kompetensi profesional berupa kemampuan menguasai materi pelajaran
secara luas dan mendalam; kompetensi paedagogis kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik; dan kompetensi sosial ditandai kemampuan berinteraksi
dan berkomunikasi dengan kalangan eksternal, termasuk masyarakat.
Guru hakikatnya mendidik dan mengajar di sekolah dan luar
sekolah. Lewat karya tulis guru menuangkan aspirasi dan pemikirannya untuk
perbaikan, pencerahan dan kemajuan peradaban. Belum bisa dikatakan guru
seutuhnya jika hanya tenggelam dalam rutinitas mengajar di sekolah tanpa
berkarya yang lebih bernilai abadi. Sesuai akar historis guru, yaitu Mpu atau
Batara Guru. Tepat ungkapan, verba volent
scripta manent, pembicaraan akan lenyap, tulisan akan abadi.
Faktor lain kurangnya
motivasi eksternal. Lomba karya tulis yang digelar selama ini hadiahnya kecil,
jauh beda dengan lomba lain seperti olahraga, seni, modeling dan kontes
kecantikan. Guru yang berhasil membuat karya tulis belum beroleh penghargaan
memadai. Kredit poinnya relatif kecil, padahal perjuangan menyelesaikan sebuah
tulisan cukup berat, harus banyak membeli, membaca dan menelaah buku serta
sumber informasi lainnya. Tulisan guru yang muncul di media massa juga kurang direspon atasan dan sesama
guru. Kepala Sekolah cuek saja ketika ada anak buahnya menulis,.padahal untuk
bisa dimuat juga berat. Mestinya dimotivasi agar guru-guru lain terangsang
menulis.
Masih ada media yang belum
menghargai karya tulis. Ini menghambat motivasi menulis. Sebagian guru, bahkan guru
besar dan pakar lebih senang berceramah dan mengisi seminar sebab insentifnya
besar dan instant, ketimbang menulis yang belum tentu dimuat dan kalaupun dimuat
ada yang tanpa honor.
Saran Masukan
Kalau selalu dicari, ada sederet alasan untuk tidak menulis.
Tetapi alangkah bijaknya jika kita berusaha menulis, bagaimana pun caranya. Perlu ditanamkan motivasi internal, menulis itu penting bagi diri
sendiri dan orang lain. Apalagi guru senior, tentu sarat pengalaman suka dan duka
yang berguna bila mau berbagi cerita. Motivasi tidak harus berupa materi dan
uang. Hindari suka melecehkan dan meremehkan karya orang. Cobalah menikmati tulisan
sendiri dan orang lain, sehingga tumbuh rasa butuh dan apresiasi. Diharapkan,
menulis yang semula beban berubah menjadi kebutuhan. Kalau sudah butuh, waktu
menulis pasti akan ada. Umumnya penulis aktif karena kebutuhan, mereka menikmati
relaksasi dan orgasme intelektual lewat tulisan. Terus membaca dan menulis
membuat kita rendah hati, kita merasa bodoh karena begitu banyak yang kita
tidak tahu. Malas membaca dan menulis, membuat kita seolah merasa pintar,
padahal sebenarnya bodoh.
Banyak membaca memberi penguatan dan pengayaan ilmu. Membaca
berbanding lurus dengan menulis. Jepang banyak menghasilkan karya tulis karena
bangsa Jepang gemar membaca. Idealnya guru punya perpustakaan mini di rumah.
Bacaan tidak terbatas materi ajar sekolah, juga masalah lain yang terkait atau
dianggap penting untuk memperluas wawasan. Selama ini guru-guru minim yang mau
berlangganan koran, majalah, jurnal dan membeli buku secara teratur dari uang
sendiri. Bahkan buku gratis pun tidak dibaca optimal. Semakin banyak membaca
otomatis mendorong menulis. Ibarat air yang dituang ke gelas, menulis adalah
limpahan dari membaca. Pada saat sama guru perlu melakukan riset sederhana pada
materi asuhannya. Hasil penelitian memotivasinya menuangkan dalam karya tulis.
Secara private guru-guru dapat belajar menulis pada siapa
saja, tanpa perlu merasa malu dan terlambat. Sekolah dan dinas pendidikan
hendaknya meningkatkan pelatihan tulis-menulis populer dan ilmiah, penelitian tindakan
dan sejenisnya, dengan memanfaatkan SDM yang ada di kalangan guru maupun dari
luar. Juga memiliki media sendiri yang dapat memfasilitasi karya tulis guru,
yang diterbitkan mingguan, bulanan, dst. Menulis di media massa besar mungkin seleksinya ketat, media
sendiri akan lebih memungkinkan. Kerjasama dengan media agar tulisan guru lebih
diberi peluang juga penting.
Era otonomi dengan dana pendidikan yang meningkat, guru-guru
hendaknya dirangsang menulis buku bernuansa kedaerahan dan difasilitasi
penerbitannya. Tidak saja muatan lokal, juga mata pelajaran wajib dan pilihan.
Misalnya sejarah, selama ini terlalu nasional sentris, sehingga sejarah lokal
kurang terakomodasi. Buku-buku karya penulis daerah yang sudah ada perlu
dijadikan bahan ajar. Diharapkan dunia penulisan dan perbukuan di daerah akan
bersemangat.
Penulis freelance dan penulis buku, tinggal
di Banjarmasin.
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: September 2012