Jumat, 18 November 2011

Idham Chalid Pahlawan Nasional

Pahlawan Nasional dan Daerah

Oleh: Ahmad Barjie B
Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2011 lalu menjadi kado istimewa bagi Banua Banjar. Melalui Keppres No. 113/TK/2011 Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional (PN) kapada tujuh tokoh, salah satunya Dr KH Ideham Chalid. Tokoh lainnya Syafruddin Prawiranegara, Buya Bamka, Paku Buwono X, Ki Sarmidi Mangunsarkoro, IG Ketut Puja, dan Ignatius Joseph Kasimo.
Pemberian gelar PN untuk Ideham Chalid terbilang cepat, karena beliau baru saja meninggal dunia 11 Juli 2010 lalu. Hal ini karena ulama-politisi kelahiran Satui Tanah Bumbu ini sangat dikenal luas oleh pemerintah dan masyarakat, sejak era kemerdekaan, orde lama dan orde baru. Dengan track recordnya tidak sulit bagi pemerintah menimbang kelayakan Ideham Chalid sebagai PN.
Menurut mantan Gubernur Kalsel HM Said, tokoh daerah yang berkiprah di kancah nasional memang lebih memungkinkan dan lebih cepat diproses menjadi PN. Sementara tokoh yang berjuang di daerah meskipun jasanya besar, agak lambat. Apalagi jika ada sisi sejarah yang kontroversial, penganugerahan gelar menjadi alot.  
Gelar ini menambah jumlah PN asal Kalsel menjadi tiga, menyusul Pangeran Antasari dan Hassan Basry. Berarti tinggal dua usulan gelar pahlawan yang hingga kini belum diamini pusat, yaitu Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Mohammad Noor. 
Dibanding daerah lain, katakanlah ranah Minang, Kalsel masih ketinggalan. Meski penduduk Minang hanya 2,7 % dari penduduk Indonesia, Minang menjadi salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Tempo edisi khusus 2000 mencatat, 6 dari 10 tokoh penting Indonesia abad ke-20 orang Minang, dan 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau. Rata-rata mereka sudah ditetapkan sebagai PN.
Bagi Kalsel hal ini perlu disyukuri. Tentu tetap memperjuangkan sejumlah tokoh lain yang layak menjadi PN. Semakin banyak daerah memiliki PN, semakin baik dan berwibawa. Berarti daerah punya kontribusi besar dalam perjuangan dan kehidupan berbangsa bernegara. Namun yang lebih penting hal ini memberi inspirasi agar semakin banyak putra daerah yang mampu berkiprah di tingkat nasional. Semakin banyak tokoh dimaksud semakin positif, sebab laju pembangunan daerah banyak ditentukan perjuangan para tokoh di pusat.

Semakin fair
            Hal yang cukup menggembirakan di era reformasi, pemberian gelar pahlawan semakin fair. Kalau di era orde baru masih ada unsur suka dan tidak suka serta pertimbangan politik subyektif penguasa, kini semakin cair. Buktinya Syafruddin Prawiranegara dijadikan PN, padahal mantan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini selain berjasa besar juga diindikasikan pernah terlibat pemberontakan PRRI/Permesta karena kecewa terhadap pemerintahan Bung Karno.
Mohammad Natsir juga diberi gelar PN 2008 lalu, padahal beliau bersama Syafruddin dianggap tokoh PRRI. Walaupun para tokoh PRRI telah diamnesti oleh Presiden Soekarno, namun hubungan mereka tetap kurang baik, karena sikap para tokoh tersebut cenderung menjadi oposan pemerintah. Mereka juga termasuk tokoh Petisi 50, mengalami cekal dan pengebirian hak-hak politik dan perdata lainnya. Buya Hamka juga ulama dan tokoh kritis yang sempat dipenjara rezim orde lama dan tidak selalu akur dengan orde baru.
Ini artinya pemerintah sudah bisa berpikir jernih, bahwa yang namanya pahlawan itu adalah orang yang berjiwa idealis, bersikap kritis. Pengabdiannya bukan untuk penguasa, bukan mengejar harta dan kedudukan, tetapi untuk rakyat sesuai agama dan ideologi yang diyakininya. Karena sikap kritisnya itu mereka tidak bisa tinggal diam. Ada saatnya mereka menegur penguasa secara keras. Namun itu tak dimaksudkan memisahkan diri dari NKRI atau menggulingkan pemerintah, tetapi lebih sebatas koreksi atas kekeliruan.
Keterbukaan dan fair flay pemerintah menilai PN patut diapresiasi. Satu saat diharapkan, tokoh BPUPKI/PPKI/Panitia Sembilan dan perumus Piagam Jakarta Abdul Kahar Muzakkar yang memberontak di Sulsel atau tokoh lainnya yang masih kontroversial perlu direhabilitasi untuk kemudian juga dijadikan PN. Tentu disertai penjelasan agar publik mengetahui jasanya sekaligus “kekeliruannya’.
Kalsel juga memiiki Ibnu Hajar cs, anak buah Hassan Basry yang memberontak melalui Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT) karena kecewa terhadap pusat pasca Konferensi Meja Bundar yang dianggap merugikan pejuang. Kita harapkan mereka itu juga bisa direhabilitasi, minimal tidak dicap secara permanen sebagai pemberontak. Stigma negatif tanpa akhir berakibat jasa besar mereka merebut dan mempertahankan kemerdekaan menjadi hilang, dan ini tidak adil.
Rehabilitasi para tokoh yang berseberangan penting untuk rekonsiliasi. Kita jangan menganggap PN itu orang yang serba sempurna, selalu loyal dan tak pernah keliru. Apalagi kehidupan bangsa ini di masa awal sangat sulit. Dan penulisan sejarah kadang juga tak lepas dari kepentingan politik penguasa. Jadi, semua pihak dituntut berpikir jernih dan objekitif, sebab tidak semua kisah dan fakta sejarah terungkap dan berisi kejujuran.
Bukan mengobral
Menurut Jimly Ash-Shiddieqy dari Dewan Gelar, jumlah total PN hingga November 2011 sebanyak 167 orang. Ada pengamat menyatakan, Indonesia terlalu mengobral gelar PN, sehingga jumlahnya melebihi negara lain semisal AS 37 orang, India 45 orang bahkan Malaysia hanya 4 orang.
Kita berharap jumlah PN semakin diperbanyak, dan tidak perlu dibandingkan dengan negara lain. Masalahnya, perjalanan sejarah dan cara kita merdeka sangat berbeda. Bangsa Indonesia dijajah begitu lama, dan kemedekaan yang kita raih adalah hasil perjuangan bersenjata yang teramat banyak menelan korban harta benda, darah dan nyawa anak bangsa.
Diplomasi yang dilakukan berjalan seiring dengan perang fisik. Sesudah merdeka pun negara kita tetap bergolak, karena Sekutu dan penjajah (NICA) ingin kembali. Belum lagi pergolakan internal akibat gejolak dan pemberontakan dalam negeri.  Walau kini banyak elit dan penguasa kita terlihat enak, tetapi para pejuang dan pendiri bangsa ini benar-benar hidup getir.
Berbeda dengan sebagian negara lain yang kemerdekaannya lebih banyak diberi penjajah, menunggu restu  atau ada campur tangan PBB. Kompleksitas sejarah dan perjuangan bangsa kita, wajar PN yang kita miliki lebih besar daripada negara lain. Jumlah yang ada sekarang pun menurut saya masih sedikit, sebab masih banyak tokoh pejuang lain yang belum diakomodasi, terutama dari daerah.

Pahlawan daerah
Salah satu daerah yang masih kurang akomodasi pusat terkait gelar PN adalah Kalsel. Hingga kini Pangeran Hidayatullah, salah seorang tokoh Perang Banjar tak kunjung dijadikan PN padahal sudah lama dan dua kali diajukan. Meski teman seperjuangan beliau Pangeran Antasari sudah lama di-PN-kan (1968), ternyata status Hidayatullah masih dibantarkan  hingga harini.
Kita tahu Perang Banjar adalah perang terlama di Nusantara (1859-1905). Tak sedikit pejuang yang terbunuh, dihukum mati, serta dibuang penjajah seperti Tumenggung Abdul Jalil, Haji Buyasin, Penghulu Abdul Rasyid, Antaluddin, Demang Lehman, Panglima Wangkang, Panglima Batur, Sultan Muhammad Seman, Ratu Zalecha, dan banyak lagi. Korban di pihak Belanda, rakyat dan pejuang sangat besar. Para pejuang yang sudah mengorbankan segalanya termasuk nyawanya itu berhak dijadikan pahlawan nasional, sebab jasanya sangat besar untuk kemerdekaan, sama dengan lainnya. Bukankah Pattimura, Sisingamangaraja XII, Tjut Nyak Dien dll, yang notabene sudah ditetapkan sebagai PN juga berjuang di daerah.
Jimly menegaskan, pusat sebenarnya tetap memperhatikan aspirasi daerah. Ia menyontohkan, walaupun Jakarta kurang mengenal seorang tokoh atau pejuang Papua misalnya, tetapi jika memang rakyat Papua menganggapnya sangat berjasa, maka pusat juga tak keberatan memberi gelar PN. Ini artinya para pejuang Banjar juga memiliki prospek yang sama.  Jadi Kalsel tetap perlu gigih memperjuangkan para tokoh pejuang dari daerah, tentu dengan menjernihkan sisi kontroversi yang menjadi kendala serta semakin melengkapi persyaratannya agar lebih meyakinkan.
Namun jika penganugerahan gelar itu begitu berat, karena ada kontroversi atau mereka bukan tokoh nasional yang terkenal, dan ada prosedur panjang yang mesti dilewati, perlu dicarikan solusi lain. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, bahkan Kesultanan Banjar pimpinan Pangeran Khairul Saleh perlu diberi wewenang untuk menjadikan mereka sebagai pahlawan daerah. Kita tidak perlu menghiba-hiba kepada pusat untuk memberi anugerah gelar PN, tapi daerah sendiri yang menganugerahkannya secara resmi.
Walau selama ini nama-nama mereka sudah banyak diabadikan, misalnya sebagai nama jalan, jembatan, gedung, rumah sakit, sekolah, pesantren, dll, tetapi pengenugerahan gelar pahlawan daerah tetap penting. Diharapkan semangat kejuangan di daerah terus bergelora seperti para pejuang itu.  Berjuang tak hanya di era penjajahan dan awal kmerdekaan, tapi sekarang pun tak kalah penting.
   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar