Nagari Sastrawan dan Seniman Nasional
Oleh: Ahmad Barjie B
Dunia sastra tanah air tentu tidak asing dengan sejumlah karya sastra besar, seperti Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) karya Marah Rusli, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka, Salah Asuhan karya Abdul Muis, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana, dan Robohnya Surau Kami karya Ali Akbar Navis, dll. Novel-novel karya sastrawan Minang tersebut telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia. Tak sedikit karya sastra asal Minang dijadikan kisah film kolosal, serial dan sinetron, bahkan sampai ke tingkat dunia.
Wikipedia menyebutkan, penulis Minang banyak memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, Hamka, dan A.A Navis berkarya melalui novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang, tercatat sebagai penulis novel Indonesia paling produktif. Chairil Anwar dan Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi. Sutan Takdir Alisjahbana, novelis sekaligus ahli tata bahasa, melakukan modernisasi bahasa Melayu-Indonesia sehingga menjadi bahasa persatuan nasional.
Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan jurnalis Minang, antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Abdul Rivai yang dijuluki Perintis Pers Indonesia, dan Rohana Kudus yang menerbitkan Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.
Banyak pula orang Minang sukses di dunia hiburan, sebagai sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal yang bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan karya. Tidak kurang 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkan Arizal. Film-film karya sineas Minang seperti Lewat Djam Malam, Gita Cinta dari SMA, Naga Bonar, Pintar-pintar Bodoh, dan Maju Kena Mundur Kena, menjadi film terbaik yang banyak digemari penonton.
Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal di antaranya Ade Irawan, Eva Arnaz, Nirina Zubir, dan Titi Sjuman. Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Karyanya seperti kuis Berpacu Dalam Melodi, Gita Remaja, Siapa Dia, dan Tak Tik Boom menjadi acara favorit keluarga Indonesia.
Dorongan karya sastra
Mengapa di ranah Minang karya-karya sastra begitu hidup, dan kemudian merambah ke tingkas nasional bahkan regional, sehingga sangat terkenal. Hal ini diduga disebabkan beberapa faktor. Sambil ngobrol di sebuah rumah makan, tidak jauh dari Istana Si Linduang Bulan Pagaruyung Batusangkar Tanah Datar, saya mendiskusikan hal ini kepada budayawan Kalsel Adjim Arijadi, mantan Rektor Unlam Prof Kustan Basri dan DCH Taufik Arbain.
Di antara praduga kami, karena karya sastra mereka itu memiliki ketinggian dan kehalusan bahasa. Hasilnya, pembaca sangat tersentuh dan sangat menjiwai isi cerita. Menurut Kustan Basri di masa mudanya dahulu, sampai-sampai orang yang membaca novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck atau novel lainnya tak bisa tidur.
Orang Minang lebih dahulu mengenal dan menggunakan bahasa Melayu, sebagai akar bahasa Indonesia. Karena itu mereka mudah melahirkan karya sastra dengan bahasa yang sama. Tambahan lagi, dunia sastra nasional di masa itu sedang booming, sehingga karya sastra selalu dibaca dan dinanti kehadirannya. Kalau tak bisa membeli, minimal orang antri meminjam dari perpustakaan atau teman .
Patut pula diduga, budaya Minang yang khas, seperti sistem matrilinier yang kadang memunculkan konflik internal keluarga dan adat, keterbatasan pergaulan muda-mudi, serta rumah gadang yang menuntut remaja putra tak lagi tinggal di rumah tapi bermalam di surau, ikut mendorong satsrawan untuk berkarya dengan mendramatisasi konflik yang terjadi. Roman Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sabai Nan Aluih dan sejenisnya, boleh jadi didorong faktor ini.
Kecenderungan orang Minang merantau juga memacu banyaknya karya sastra. Banyak melihat, mendengar dan mengalami pahit manis kehidupan, mendorong orang mengaktualisasikannya dalam karya sastra. Hamka dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Salah Asuhan Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang, dalam hal ini persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang berhasil.
A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halaman yang banyak ditinggal pergi merantau. Gara-gara asyik merantau surau di kampung ada yang roboh. Dari pengamatan kami, memang banyak masjid dan surau yang secara fisik kurang representatif. Beda dengan banua Banjar di mana banyak masjid dan surau yang bangunan fisiiknya mewah, belum usang direhab lagi. Novel yang bercerita tentang adat dan perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang yang sebagian dianggap konservatif.
Panorama alam yang indah juga memacu sastrawan lokal dan nasional berkarya. Panoroma alam Bukit Barisan, Gunung Singgalang, Merapi, Lembah Anai, Ngarai Sianok, Pantai Muara (ingat legenda Malin Kundang), makam Siti Nurbaya, pelabuhan Teluk Bayur dll, memang sangat inspiratif.
Di kota besar dan kecil terdapat banyak taman budaya yang aktif dengan kegitan kesastraan. Pagelaran seni, tari, lukis, sandiwara, drama, baca puisi dll, banyak dilakukan. Selain didorong SDM sastrawan muda dan senior, juga karena pemerintah daerah menaruh perhatian, dengan menyediakan dana APBD untuk pengembangannya.
Khazanah Kalsel
Apabila Kalsel, termasuk Kesultanan Banjar ingin memajukan sastra dan seni daerah, iklim yang kondusif perlu dihidupkan, misalnya dengan menyediakan dana melalui APBD provinsi dan kabupaten/kota. Jika itu diwujudkan maka kekurangan dana operasional untuk penyelenggaraan aruh sastra ataupun pemberian hadiah-hadiah untuk karya sastra dan seni bermutu, tak akan terkendala seperti sering dikeluhkan selama ini. Kondisi yang kondusif memotivasi para sastrawan lebih kreatif dan produktif.
Banua Banjar sebenarnya kaya dengan cerita menarik, baik yang sifatnya historis aktual, legenda maupun cerita rakyat yang cukup edukatif. Dalam obrolan sambil makan pagi di Hotel Pangeran Pekanbaru, beberapa anggota rombongan Kesultanan Banjar seperti Pangeran H Khairul Saleh, HM Said, Gt Tamrani, Gt Rahmadi, Gt Ruspan Noor dan penulis, mengakui bahwa banua Banjar sebenarnya memiliki banyak peristiwa yang patut diangkat ke permukaan, baik melalui tulisan, bahkan film.
Raja Muda Banjar Pangeran Khairul Saleh misalnya setuju jika tenggelamnya Kapal Onrust selama perang Banjar - Barito difilmkan karena sangat heroik dan dramatik. HM Said menekankan, peristiwa itu merupakan strategi perang yang hebat, hasil kolaborasi antara pejuang Banjar dengan Dayak, sehingga mengakibatkan banyak sekali serdadu Belanda tewas. Peristiwa itu memaksa Kerajaan Belanda menjadikannya hari berkabung nasional. Jarang sekali ada perang sebesar itu terjadi di masa penjajahan dulu. Apabila peristiwa demikian bisa difilmkan, tentu akan mengangkat citra daerah (Kalsel dan Kalteng) ke tingkat nasional. Perang Diponegoro (Pahlawan Goa Selarong), Padri (Tuanku Imam Bonjol), Aceh (Tjut Nyak Dien) dll, umumnya sudah difilmkan.
Eksistensi Lembaga Adat Kekerabatan dan Kesultanan Banjar saat ini kita harapkan dapat mendorong perkembangan sastra dan seni daerah. Tentu dengan membangun sinergisitas dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, Taman Budaya, Disporabudpar, Museum Wasaka dan Lambung Mangkurat, dan para pihak terkait. Kerjasama budaya antarprovinsi dan kabupaten/kota juga penting dilakukan. Kita harapkan akan lahir banyak karya sastra dan seni dari daerah. Minimal bisa menjadi tuan di daerahnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar