Minang Nagari Budaya
Oleh: Ahmad Barjie B
Ranah Minang boleh dikata nagari budaya. Bahkan budaya Minang dianggap sebagai budaya yang sangat dominan dan terbesar kedua di Nusantara sesudah Jawa. Orang Minang baik yang menetap di daerahnya maupun yang tersebar di sejumlah kota di Nusantara termasuk Banjarmasin Kalsel, bahkan hingga ke Singapura dan Malaysia dikenal sangat kuat memegang adat istiadatnya. Banyak yang menjadi pejabat, pengusaha, ulama, penulis/pengarang, seniman dan cendikiawan, tetapi mereka tidak kehilangan jatidiri bahkan tetap mempertahankan budaya leluhurnya.
Berbagai aspek kehidupan masyarakat sangat kental dengan nuansa budaya. Mulai bentuk atau arsitektur bangunan rumah dan gedungnya, kehidupan sosial ekonomi, seni budaya hingga agama. Kesemuanya diberi buhul dalam satu relasi dan ikatan: dengan ungkapan: Adat basandi syara’ dan syara’ basandi kitabullah. Adat yang hidup di tengah masyarakat dijadikan subordinat untuk merealisasikan ajaran syariat. Ungkapan mereka: Syara’ mengato, adat memakai.
Asal sebutan
Sebutan Minangkabau terdiri dari beberapa versi. Di antaranya ada yang menyebut Minangkabau berasal dari kata “menang” dan “kerbau’. Ada suatu legenda khas Minang, konon pada suatu masa dulu satu kerajaan asing (kemungkinan Majapahit) datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduk kecilnya. Dalam adu kerbau, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut dan akhirnya kerbau besar itu kalah dan lari.
Kemenangan anak kerbau itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan 'manang kabau' (artinya menang kerbau). Namun pewaris Kerajaan Pagaruyung Rajo Mudo Mahkota Alam Muhammad Taufik Taib, dalam pidatonya menyambut rombongan Kesultanan Banjar pimpinan Pangeran H Khairul Saleh kurang setuju dengan asal-usul nama ini. Ia lebih setuju dengan versi, bahwa Minang Kabau ini berasal dari istilah Mu’minan kan-Nabawiyah, artinya orang Minangkabau itu semuanya beragama Islam dan berusaha untuk menuruti pola hidup Nabi (sirah Nabawiyah).
Nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Versi lainnya, “Minang" adalah kerajaan Minanga, hal itu disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 M dan berbahasa Sansekerta. Dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga". Kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri. Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama 1365 M, menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya.
Adanya perbedaan versi ini wajar saja. Tak berbeda dengan sebutan Banjarmasin. Ada yang menyebutnya berasal dari istilah Bandar Masih (kota pelabuhan yang dahulu dipimpin oleh Patih Masih). Ada juga yang menyebut kota ini kalau banjir airnya masin, menjadi Bandjermasin, lalu oleh lidah Belanda disebut Bandjermash, atau Bandjermassing, dll.
Sebutan nagari
Istilah lain yang menonjol di ranah Minang adalah nagari (negeri). Pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah: Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto, dan seterusnya menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.
Adanya tingkatan sebutan suatu kawasan ini mendorong warganya berlomba meningkatkan status dan martabatnya. Taratak tak lebih sekadar ladang untuk bertani atau berkebun. Orang yang tinggal di Taratak belum berhak membangun rumah gadang, dengan arsitektur khas Minang (rumah dengan atap bagonjong/tanduk kerbau). Tanduk kerbau ini bermakna doa dengan mengangkat kedua belah tangan ke langit. Mereka berusaha agar daerahnya semakin tertib, teratur, tertata, baik lingkungan fisik maupun nonfisik, termasuk budaya dan agama.
Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan penghulu atau datuk bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama.
Kedudukan para penghulu atau datuk sangat kuat. Pada banyak daerah ada balai kerapatan adat, yang dibangun khusus untuk melaksanakan rapat atau musyawarah yang berkaitan dengan masalah keluarga dan kemasyarakatan. Jadi di sana peran tokoh informal sangat menonjol, dan kelihatannya melebihi pejabat formal pemerintahan, khususnya di lingkungan nagari. Para pemimpin nonformal itu berusaha agar berperilaku arif supaya ucapannya didengar dan dapat diteladani. Menaati adat sangat penting dan sebutan tidak beradat atau menyalahi adat menjadi pukulan psikologis yang berat bagi setiap warga dan keluarga. Apalagi kalau sampai pindah agama, maka dia dianggap bukan orang Minang lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar