Nagari Banyak Tokoh Nasional
(Radar Banjarmasin, 29 Oktober 2011)
Banyak daerah di Indonesia punya tokoh yang mampu berkiprah di kancah nasional, sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Tetapi di antara sejumlah daerah itu, ranah Minang termasuk yang terbanyak.
Wikipedia mencatat, periode 1920 - 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, tahun 1923 Tan Malaka (nama aslinya Sutan Ibrahim) terpilih menjadi wakil Komunis Internasional wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, pelopor Sumpah Pemuda 1928 yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda dan tokoh BPUPKI/PPKI jelang merdeka.
Di dalam Volksraad (DPR era kolonial), politisi asal Minang paling vocal, antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim dan Abdul Muis. Mohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Dekat Jam Gadang Bukititinggi sekarang terdapat Istana Bung Hatta. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai pejabat presiden (Mr Assaat), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), dan seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh). Beberapa museum dan perkantoran di Sumatra Barat juga memajang foto para tokoh tersebut.
Di era ordebaru ada puluhan orang Minang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal Emil Salim, Azwar Anas dan Fahmi Idris. Emil Salim menjadi orang terlama duduk di kementerian RI. Minang, salah satu dari dua etnis selain Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet. Selain di pemerintahan, di masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi politisi Minang. Mereka tergabung ke dalam aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis. Di era refromasi tercatat Mendagri Gamawan Fauzi, mantan gubernur Sumbar dan bupati Solok.
Di samping menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat, orang-orang Minang juga duduk sebagai gubernur provinsi lain. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Daan Jahja (Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani (Sumatera Selatan), Eni Karim (Sumatera Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).
Beberapa partai politik didirikan politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Deliar Noer, oposan ordebaru dan pendiri Partai Umat Islam yang banyak menulis buku politik keislaman juga berdarah Minang.
Selain mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku yang menjadi bacaan wajib aktivis pergerakan. Buku-buku bacaan utama itu antara lain, Naar de Republiek Indonesia, Madilog, dan Massa Actie karya Tan Malaka, Alam Pikiran Yunani dan Demokrasi Kita karya Hatta, Fiqhud Dakwah dan Capita Selecta karya Natsir, serta Perjuangan Kita karya Sutan Sjahrir.
Di luar negeri, orang Minangkabau juga dikenal kontribusinya. Di Malaysia dan Singapura, antara lain Tuanku Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), dan Sheikh Mudzaphar Shukor (astronot pertama Malaysia). Di negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, satu-satunya orang Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota parlemen. Di Arab Saudi, hanya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, orang non-Arab yang pernah menjadi imam besar Masjidil Haram, Mekkah.
Ulet dan Idealis
Menurut Wikipedia, orang Minang terkenal sebagai kelompok terpelajar. Sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan mancanegara dalam berbagai macam profesi dan keahlian; politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Meski jumlah populasi relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minang menjadi salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Majalah Tempo edisi khusus 2000 mencatat, 6 dari 10 tokoh penting Indonesia abad ke-20 orang Minang, dan 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.
Mengapa banyak putra Minang menjadi tokoh nasional dan regional, ada banyak penyebabnya. Mereka lebih dahulu terpelajar di segi pendidikan umum dan agama, banyak yang menguasai bahasa asing (Arab, Belanda, Inggris). Ketika rombongan Kesultanan Banjar melewati dan singgah di beberapa kota di ranah Minang, seperti Padang, Padang Panjang, Maninjau, Bukittinggi, dll, suasana pendidikan cukup terasa. Anak-anak remaja berpakaian sederhana, menutup aurat, banyak yang berjalan kaki pergi dan pulang sekolah/kuliah. Tak tampak berHP ria atau tampil keren seperti anak /remaja Banjar. Kalau berhibur mereka memilih yang tidak mengeluarkan biaya.
Adat Minang yang melarang keras menjual harta pusako tinggi (harta bawaan milik keluarga besa), tetapi untuk kepentingan sekolah tinggi harta itu boleh digadaikan. Nanti kalau sudah bekerja dan berhasil maka prioritas utama adalah menebus harta yang tergadai itu. Perantau Minang yang sukses di perantauan juga diminta mengirim sebagian rezekinya agar keluarga di kampung asal bisa sekolah tinggi. Berbeda dengan perantau Banjar yang banyak madam (perantau permanen) yang putus hubungan dengan kampung halaman), perantau Minang masih menjalin hubungan dengan daerah asal. Orang Minang tidak pragmatis dan cepat merasa puas dengan keberhasilan yang ada lalu menikmatinya sendiri. Sebagian orang Banjar yang berhasil, cenderung sugih saurangan, enggan membantu keluarga yang miskin, baik bantuan ekonomi maupun pendidikan.
Orang Minang lebih berani meninggalkan kampung halaman. Sosiolog Dr Mochtar Naim (penulis pernah mewawancarainya tahun 1999 di Banjarmasin) menyatakan, tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatra Barat. Tahun 1971 meningkat menjadi 44 %. Berdasarkan sensus tahun 2010, etnis Minang yang tinggal di Sumatra Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir separuh orang Minang berada di perantauan.
Perantau Minang ada yang memilih menjadi pedagang/pengusaha dan ada yang menjadi aktivis, ulama, cendikiawan. Sebagai perantau etos kerja dan etos belajar mereka lebih tinggi daripada orang tempatan. Walau dengan modal materi awal pas-pasan, karena keuletan akhirnya mereka sukses. Kaum pria dewasa yang secara adat tidak mendapatkan harta warisan, kecauli sebatas harta pusaka rendah hasil kerja ayahnya, mendorong mereka mencari penghidupan di daerah lain.
Mereka loyal sekaligus kritis terhadap pemerintah. Dulu ketika RI diserang Belanda melalui agresi I dan II dan ibukota pindah ke Yogyakarta, para tokoh Minang mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Bukittinggi sebagai ibukotanya. Dan ketika Presiden Soekarno dianggap tidak konsisten dengan Pancasila dengan mengusung konsep Nasakom yang memberi angin kepada PKI, mereka juga sempat memberontak melalui PRRI/Permesta. Pemberontakan itu tidak dimaksudkan untuk memisahkan diri dari NKRI, tetapi memberi pelajaran kepada pemerintah agar konsisten. Meski begitu Partai Masyumi yang didirikan dan banyak diisi tokoh Minang tetap dibubarkan Soekarno. Keinginan mendirikan kembali Masyumi di era awal orde baru usai jatuhnya Bung Karno tetap tidak direstui.
Tampak bahwa idealisme bagi orang Minang sama pentingnya dengan kemajuan dan kesejahteraan hidup. Karena itu idealisme masih dipelihara agar hidup lebih maju dan bermanfaat bagi banyak orang. Idealisme itu pulalah yang menyemangati para putra Minang gigih berkiprah di kancah nasional sejak era penjajahan. Kita semua termasuk orang Banjar perlu saling belajar, antarorang, antarkelompok, antarsuku dan antarbangsa. Kekurangan yang kita miliki perlu diperbaiki dan kelebihan yang dimiliki pihak lain tidak salahnya kita jadikan masukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar