Panas Dingin Indonesia
–
Malaysia
Oleh: Ahmad Barjie B
Hampir setiap
bangsa serumpun yang membentuk dua negara atau lebih selalu diwarnai hubungan
yang tidak harmonis bahkan perang saudara. Amat banyak contohnya, seperti India - Pakistan dan Bangladesh, Irak
- Iran dan Kuwait, Korea Utara dan Korea Selatan, Vietnam - Laos dan Kamboja, Serbia dan Bosnia
Herzegovina, dan terakhir Sudan dan Sudan Selatan yang oleh barat diprovokasi
dan dipisah menjadi dua negara.
Itu sebabnya sejumlah negara besar seperti RR Cina
sangat kuat dan fanatik mempertahankan integritas wilayahnya. Menyusul Hongkong
dan Makao yang sudah bergabung setelah terpisah sekian lama, Cina tetap
mengupayakan agar Taiwan juga bersatu dalam Cina Daratan. Sampai kiamat, pemerintah
Cina seperti tidak akan pernah mau melepaskan Taiwan dan sejumlah wilayah yang juga
sering bergolak seperti Tibet dan Sinkiang (Uighur).
Hubungan Indonesia dengan Malaysia termasuk
kategori ini. Sejak orde lama, kedua bangsa serumpun ini sudah ”bermusuhan”,
bahkan terlibat peperangan yang disebut konfrontasi Indonesia - Malaysia.
Presiden Soekarno memang berobsesi menyatukan kedua bangsa serumpun dalam satu
negara: Indonesia Raya. Soekarno menuduh, Malaysia yang ingin berdiri sendiri
sebagai antek kolonialisme Inggris dan Amerika, sehingga saat itu muncul slogan
permusuhan: Ganyang Malaysia, Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme-imperialisme).
Proyek Ganyang Malaysia ini rencananya ditangani
oleh Angkatan V, yaitu lima juta rakyat akan dipersenjatai atas bantuan RR
Cina, hal mana sangat ditentang oleh para jenderal TNI-AD. Belum kesampaian,
proyek ini justru dimanfaatkan oleh PKI untuk persiapan kudeta G 30 S PKI 1965.
Latihan semimiliter di sekitar bandara Halim semula dikira pembekalan untuk
menghantam Malaysia, tak tahunya justru untuk membunuh para jenderal (Ahmad
Yani cs).
Keinginan Soekarno agar di Malaysia Timur (Sabah
dan Serawak) dilakukan referendum, supaya rakyatnya diberi kebebasan memilih
ikut Indonesia atau Malaysia, juga ditolak Malaysia. Konon banyak rakyat Malaysia
di Semenanjung Malaka, Sabah dan Serawak bersedia bergabung, karena sama
seagama dan sama serumpun (Melayu). Tetapi elitnya tidak mau, mereka khawatir
kalau bergabung hanya orang Jawa yang akan berkuasa. Hal ini menjadikan Soekarno
makin marah, akibatnya permusuhan terus terjadi hingga akhir kekuasaannya.
Tetap Berlanjut
Dulu orang mengira, naiknya Pak Harto yang memilih
merehabilitasi dan menormalisasi hubungan kedua negara, akan mengakhiri nuansa
permusuhan. Prakiraan ini ada benarnya, karena di masa Pak Harto memang relasi
kedua negara cukup bahkan sangat harmonis. Hal ini disebabkan Pak Harto sendiri
merupakan presiden yang kuat dan disegani. Dia tidak banyak bicara, tetapi di
balik senyumnya dunia menganggap Indonesia memiliki kekuatan. Orang Malaysia
pun banyak belajar ke kita.
Sementara di Malaysia sendiri juga terjadi
pergantian tampuk kekuasaan. Selepas Perdana Menteri (PM) Tun Abdurrahman yang
bermusuhan dengan Soekarno, Malaysia dipimpin oleh sejumlah PM yang lebih
bersahabat seperti Tun Hossein Onn, Tun Abdul Razak, Mahathir Mohammad dan
seterusnya. Bahkan Mahathir sangat berteman baik dengan Pak Harto hingga akhir
hayatnya.
Tetapi
belakangan, setelah turunnya Pak Harto, kembali nuansa perseteruan menyeruak.
Penyebabnya sangat kompleks, mulai dari masalah perbatasan dan perebutan
sejumlah pulau yang dipersengketakan seperti Simpadan, Ligitan dan Ambalat,
pencuriaan ikan oleh nelayan Malaysia atau sebaliknya, masalah cukong kayu, hingga
tenaga kerja. Tidak terhitung TKI kita yang tewas, dihukum, diusir dan
dilecehkan di Malaysia. Belum lagi soal seni budaya yang juga diklaim Malaysia.
Terakhir isunya adalah penghinaan oleh mantan
Menteri Penerangan Malaysia Zainuddin Maidin, terhadap mantan Presiden BJ Habibie
yang dianggapnya pengkhianat bangsa, dan anjing imperialis barat karena
bersedia melepaskan Timor Timur, yang itu berarti juga mengkhianati Pak Harto
yang telah berjuang mengintegrasikannya dalam NKRI. Belakangan, Gus Dur juga
menjadi objek cercaan Maidin atas pemikiran pluralisme agama yang tak saja
ditawarkan Gus Dur di Indonesia juga Malaysia.
Hari-hari ini, walau SBY berkunjung ke Malaysia
dan disambut dengan hangat oleh pemerintah setempat, bahkan diberi gelar Doktor
Honoris Causa, nuansa perseteruan tetap ada. Lebih-lebih karena Zainuddin
Maidin menolak minta maaf dan seolah merasa benar dengan tuduhannya yang
menyakitkan dan berlebihan itu. Di televisi, anggota DPR Teguh Juwarno dan
Maidin pun terlibat perang kata-kata.
Sikap Kita
Haruskah kita berperang dengan negara tetangga ini?.
Tentu saja tidak perlu, karena tidak ada gunannya. Dilihat dari segi agama dan
kedekatan teritorial, perang fisik kedua bangsa/negara sangat tidak
menguntungkan.
Lantas bagaimana agar hubungan kedua negara tidak diwarnai
suasana tegang?. Pertama, kita perlu memahami psikologis rezim penguasa
setempat. Partai UMNO yang berkuasa puluhan tahun di Malaysia tidak menyukai
adanya tokoh oposisi yang berpengaruh seperti Anwar Ibrahim. Kenyataannya Anwar Ibrahim begitu diterima
dan memiliki banyak sahabat di Indonesia seperti Akbar Tanjung, Amien Rais, BJ
Habibie dan lainnya. Karena itu pertemuan Habibie – Anwar, meski atas undangan
Anwar tetap saja disikapi dengan sebal oleh sebagian elit Malaysia. Tulisan
Maidin yang menyerang Habibie sangat mungkin karena faktor ini, sebab dia salah
seorang tokoh UMNO. Anwar menyebut sikap itu sebagai arogansi kekuasaan yang
masih banyak menghinggapi elit pemerintah Malaysia.
Kedua, sependapat dengan Jusuf Kalla, kalau kita
tak mau berperang, maka pernyataan keras di sebuah koran harus dibalas dengan
pernyataan keras pula di koran yang sama. Pernyataan keras yang bersifat
klarifikasi menjadikan tulisan yang bernada menghina itu akan kehilangan
kredibilitas di mata publik pembaca Malaysia.
Ketiga, kita perlu memiliki persenjataan yang
kuat, baik angkatan darat, laut maupun udara. Tujuannya bukan untuk beperang
dengan Malaysia atau negara manapun, tetapi sebatas untuk menjaga kedaulatan
dan harga diri bangsa. Mengapa AS begitu ditakuti dunia, padahal negaranya tak
sebesar Cina, Rusia dan gabungan negara muslim, tentu karena power army AS yang belum tertandingi. Indonesia
negara besar, tetapi alat utama sistem senjata (alutsista) lemah dan
ketinggalan zaman. Negara-negara lain tahu itu, sehingga negara kita kurang
disegani.
Keempat, keberadaan TKI/TKW di luar negeri
termasuk Malaysia sudah waktunya dikurangi. Banyaknya buruh migran, menjadikan
mereka rentan pelecehan dan negara asal mereka (Indonesia) kurang dihormati.
Anak saya sering berfisbuk dengan orang luar negeri, ketika mengenalkan diri
dari Indonesia, mereka bilang: Oh, Indonesia yang negerinya para PRT itu ya,
katanya. Jadi ada stereotip yang merugikan.
Sudah waktunya pemerintah, pengusaha dan segenap
pihak membuka lebar peluang kerja dan usaha, agar kecenderungan mencari kerja
di luar negeri berkurang. Hanya sektor yang padat teknologi saja, sehingga
orang kita yang ahli lebih aman, terjamin dan terhindar dari pelecehan. Tak
mungkin Indonesia yang begitu luas dan kaya tak mampu memberi makan rakyatnya
sendiri. (Banjarmasin Post, 24 Desember
2012).